2017: Semakin Kelamnya Dunia?

Senin, 29 Mei 2017 - 08:56 WIB
2017: Semakin Kelamnya...
2017: Semakin Kelamnya Dunia?
A A A
Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang, M.IR, M.MAS

Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, Kandidat Program Doktoral Hubungan Internasional the London School of Economics and Political Science Inggris

SEPANJANG 2016, dunia tak pernah sepi dari konflik dan aksi kekerasan. Bahkan menjelang akhir tahun lalu, dunia sempat dikejutkan dengan insiden di sejumlah negara Eropa. Sebuah aksi teror di Pasar Natal Jerman menewaskan 12 orang. Aksi tersebut dilakukan seorang pemuda asal Tunisia. Anis Amri, sang pelaku, ternyata berada dalam supervisi Kepolisian Jerman sebagai ”teroris potensial” yang kemudian luput dari pengawasan sehingga mampu melakukan aksi terornya. Setelah beberapa hari melarikan diri, ia pun tewas di tangan Kepolisian Italia. Teror tak berhenti di situ saja. Sejumlah aksi teror yang mewarnai awal 2017 terjadi di Prancis hingga Inggris.

Perang Sipil di Suriah juga mendominasi pemberitaan media dalam beberapa waktu terakhir. Perang ini sudah berlangsung selama lima tahun yang menewaskan lebih dari 400.000 orang. Pemerintah Suriah yang didukung oleh Rusia dan Iran bertempur melawan pihak oposisi, pemberontak yang didominasi oleh Free Syrian Army (FSA). Kelompok oposisi ini membeli persenjataan mereka, yang salah satunya dari Amerika Serikat (AS). Pertempuran antara keduanya di Aleppo menjadi salah satu pertempuran berdarah yang juga mengakibatkan korban jiwa di pihak sipil.

Di samping Suriah, pertempuran antara Irak yang didukung oleh Barat melawan ISIS juga menyita perhatian dunia. ”Mosul Offensive” menghajar habis-habisan para anggota dan simpatisan ISIS di Kota Mosul yang menjadi salah satu basis pertahanan terakhir mereka. ISIS menjadi sumber masalah untuk Irak yang juga menyebar ke daerah lain termasuk Suriah.

Aksi ISIS pun bersifat lintas negara di mana ISIS mengeksekusi dua tentara Turki dengan cara dibakar hidup-hidup. Masih hangat juga dalam ingatan kita aksi teror yang didalangi ISIS di Bandara Ataturk, Turki yang menewaskan 42 orang.

Demikian pula aksi bom bunuh diri dengan korban hingga ratusan orang di Karrada, Irak hingga bom Sarinah Jakarta awal 2016, yang diyakini telah dilakukan oleh jaringan teroris yang terkait dengan ISIS.
Sementara di Laut Cina Selatan, sejumlah ketegangan menambah runyamnya permasalahan di wilayah tersebut.

Beberapa kali terjadi insiden antara Republik Rakyat China (RRC) dan negara-negara ”claimant state” seperti Filipina dan Vietnam maupun negara yang berkepentingan seperti AS. Salah satu kejadian adalah dirampasnya Unmanned Underwater Vehicle (UUV) milik Amerika.

Pascakejadian tersebut, RRC melakukan patroli dengan kapal induknya yang diiringi oleh sejumlah kapal perang lain melintas perairan sekitar Taiwan. Namun, baru-baru ini sebuah kapal perusak milik Angkatan Laut Amerika Serikat berlayar memasuki perairan di wilayah Laut Cina Selatan tanpa izin, tepatnya 12 mil dari Mischief Reef.

RRC pun langsung mengirimkan dua kapal fregat untuk memperingatkan dan menghalau kapal milik AS tersebut agar keluar dari wilayah perairan yang masih berada dalam wilayahnya. Tentunya ketegangan-ketegangan seperti ini sangat berpotensi dalam memicu konflik baru di wilayah tersebut, apalagi dengan kehadiran dua negara dengan kekuatan militer dan ekonomi terbesar di dunia.

Mencermati tren yang ada, sangat besar kemungkinan konflik dan aksi kekerasan akan terus mewarnai dunia sepanjang 2017. Konflik skala besar bisa saja terjadi di Laut Cina Selatan antara AS dan RRC. Belum lagi konflik antara Rusia dan Barat termasuk AS di wilayah timur Eropa menjadi sebuah skenario potensial.

Sementara untuk konflik yang melibatkan aktor nonnegara seperti ISIS, juga tidak mudah diselesaikan, terbukti dengan maraknya aksi teror yang didalangi ISIS dalam beberapa waktu terakhir, seperti yang terjadi di Manchester pada 22 Mei 2017 lalu. Perekrutan anggota lintas negara menjadi hal yang perlu diatensi, apalagi ditemukan sejumlah di antaranya adalah simpatisan yang berasal dari Indonesia.

Di Tanah Air sendiri sepanjang 2016 hingga awal 2017, juga telah terjadi sejumlah aksi kekerasan. Bom Sarinah hingga bom yang diledakkan di Gereja Samarinda yang menewaskan seorang anak balita masih hangat dalam ingatan kita. Kelompok jaringan teroris di wilayah Poso pun hingga saat ini masih terus diburu oleh TNI-Polri. Meskipun Santoso telah tertembak mati, masih ada sejumlah pengikutnya yang terus melakukan aksi-aksi terornya. Bahkan pada 24 Mei 2017 lalu, terjadi aksi teror bom bunuh diri yang menewaskan 3 orang polisi serta melukai sejumlah warga sipil di Terminal Kampung Melayu.

Bagi Indonesia, tentunya perlu mengantisipasi skenario-skenario konflik dan kekerasan yang berpotensi terjadi sepanjang 2017. Dengan politik luar negeri bebas aktif, Indonesia memiliki keuntungan tersendiri dalam berperan aktif memediasi pihak-pihak yang bersitegang dalam konflik dunia sehingga penting untuk memelihara potensi dan momentum diplomasi yang selama ini telah dijalankan baik di level regional maupun global.

Komitmen Indonesia dalam mengedepankan diplomasi serta upaya perdamaian dunia tentu memerlukan ”interagency cooperation” yang melibatkan sejumlah stakeholders terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan TNI.

Diplomasi dan upaya perdamaian dunia menjadi kunci bagi Indonesia, namun harus ditopang dengan faktor lain yang melibatkan kesiapan dari sisi pertahanan dan keamanan untuk menjamin terjaganya kepentingan nasional.

Aksi kekerasan yang dilakukan oleh jaringan terorisme global menjadi sebuah potensi ancaman dari luar negara yang membutuhkan respons cepat termasuk militer. Oleh karena itu, payung hukum bagi militer yang mengatur mekanisme operasional menjadi sebuah urgensi terlebih dengan berkembangnya tren perang hibrida (hybrid war) yang sifatnya lebih kompleks.

Dalam upaya mengantisipasi dampak skenario konflik dan kekerasan terhadap Indonesia dibutuhkan kerja sama dari stakeholders terkait yang lebih luas seperti Kemhan, TNI, Kemendagri, Kemenkumham, serta Polri maupun sejumlah kelembagaan lainnya.

Terlepas tren yang akan muncul sepanjang 2017, dengan kesiapan yang matang tentunya konflik dan kekerasan yang terjadi di wilayah dunia lainnya dapat diminimalisasi implikasi negatifnya bagi Indonesia.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6877 seconds (0.1#10.140)