Keniscayaan Presidential Threshold 0%
A
A
A
Moh Nizar Zahro
Anggota Pansus RUU Pemilu
BEBERAPA minggu belakangan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang- Undang Pemilu (RUU Pemilu) sedang mengejar target penyelesaian RUU tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi titik perdebatan serius dalam pansus. Salah satunya yang sangat krusial adalah mengenai ambang batas pencalonan presiden yang biasa kita kenal dengan istilah presidential threshold.
Dalam RUU Pemilu di Pasal 190 disebutkan mengenai aturan presidential threshold. Bunyi dari pasal tersebut adalah, ”Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.”
Pasal itu tentu menimbulkan perdebatan di kalangan anggota pansus yang merupakan perwakilan dari para anggota fraksi di DPR RI. Dalam perkembangan politiknya, tujuh fraksi, yakni Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi PKS, Fraksi PPP, dan Fraksi Hanura mengusulkan besaran presidential threshold 0%.
Adapun tiga fraksi lain, yakni Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, dan Fraksi Nasdem tetap ngotot besaran presidential threshold sama seperti sebelumnya, yakni 20% jumlah kursi DPR RI atau 25% dari suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Tentu sekalipun DPR adalah ranah politik, harus selalu ada landasan pemikiran dan landasan akademis yang kuat atas setiap usulan. Ada beberapa alasan dari Fraksi Gerindra dalam mengusulkan presidential threshold 0% dalam pemilihan capres-cawapres.
Pertama, mengacu pada UUD 1945. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Sebagai konstitusi tertinggi di negara ini, UUD ini tidak mengharuskan adanya besaran persentase untuk presidential threshold. UUD 1945 memberikan ruang bebas kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi baik memilih maupun dipilih dalam pemilihan umum presiden.
Karenanya jangan sampai RUU Pemilu memberikan syarat persentase besaran threshold dalam pemilihan presiden. Sebab hal itu akan memberikan diskriminasi terhadap warga negara yang memiliki kompetensi untuk menjadi calon presidenmaupun calon wakil presiden. Oleh sebab itulah RUU Pemilu jangan sampai menjadi alat diskriminasi terhadap warga negara.
Kedua, pilpres dan pileg digelar serentak. Di Pasal 190 RUU Pemilu, besaran presidential threshold didasarkan pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Ini menimbulkan tanda tanya, sebab pilpres dan pileg pada 2019 akan digelar secara serentak. Jadi frasa berdasarkan pileg sebelumnya tidak bisa dijadikan acuan untuk mengusung capres-cawapres.
Pilpres dan pileg serentak tersebut merupakan putusan dari Mahkamah Konstitusi No 14/ PUU-XI/2013. Maka dari itu, dengan digelarnya pemilu legislatif (pileg) dan pilpres secara serentak, aturan presidential threshold lemah secara konstitusional bila dipaksakan besarannya seperti sebelumnya, yakni 20% kursi legislatif atau 25% suara pileg.
Apalagi sebelumnya hasil pemilu anggota DPR tahun 2014 sudah dijadikan dasar besaran presidential threshold pada Pilpres 2014. Apa mungkin hasil Pileg 2014 kembali dijadikan acuan besaran presidential threshold pada 2019?
Jelaslah tidak mungkin. Sebab, dalam lima tahun terakhir dari 2014 hingga 2019, bisa saja telah terjadi pergeseran pilihan masyarakat dari satu parpol ke parpol lain sehingga perolehan suara pun akan juga berubah. Karena itulah ketiadaan presidential threshold merupakan keniscayaan bila pileg dan pilpres digelar serentak pada 2019.
Ketiga, presidential threshold menimbulkan diskriminasi terhadap partai politik. Pemilihan presiden-wakil presiden haruslah menjadi sarana untuk memunculkan negarawan-negarawan yang berkontribusi bagi bangsa dan negara. Dan partai politik sebagai wadah untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa memiliki kewajiban moral. Apalagi adanya besaran presidential threshold merupakan bentuk dari diskriminasi terhadap partai-partai kecil yang dengan sendirinya bisa diartikan sebagai diskriminasi juga terhadap warga negara.
Jika membaca Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan teliti dan bijak, pasangan calon presiden-wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Jika membaca dan menganalisis ketentuan tersebut, sesungguhnya konstitusi memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap partai yang telah dinyatakan menjadi peserta pemilu untuk mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden.
Oleh karena itu, menurut penulis, ketentuan pembuatan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU Pilpres (UU No 42 Tahun 2008) sudah kehilangan relevansinya. Logika frasa ”diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu” seharusnya diterjemahkan bahwa setiap partai yang telah lolos sebagai peserta pemilu memiliki kewenangan yang sama untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden di pilpres tanpa disuguhi syarat berupa presidential threshold.
Jikapun pembuat UU ”memaksakan” adanya presidential threshold, akan sangat sulit mencari dasar penghitungannya seperti yang juga telah dijelaskan di atas. Ketiadaan besaran presidential threshold merupakan solusi dari perdebatan ini.
Manfaat dari ketiadaan presidential threshold lebih besar daripada kerugiannya. Apalagi dengan pilpres dan pileg serentak, aturan 20% kursi legislatif atau 25% suara pileg sudah tidak relevan lagi.
Besaran presidential threshold menimbulkan ketidaksetaraan politik bagi warga negara dan bagi partai politik. Karenanya, berdasarkan UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013, sudah selayaknya besaran presidential threshold ditiadakan.
Dengan tidak adanya besaran presidential threshold, akan banyak capres– cawapres alternatif yang muncul. Masyarakat pun memiliki banyak alternatif pilihan dalam menentukan hak politiknya.
Anggota Pansus RUU Pemilu
BEBERAPA minggu belakangan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang- Undang Pemilu (RUU Pemilu) sedang mengejar target penyelesaian RUU tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi titik perdebatan serius dalam pansus. Salah satunya yang sangat krusial adalah mengenai ambang batas pencalonan presiden yang biasa kita kenal dengan istilah presidential threshold.
Dalam RUU Pemilu di Pasal 190 disebutkan mengenai aturan presidential threshold. Bunyi dari pasal tersebut adalah, ”Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.”
Pasal itu tentu menimbulkan perdebatan di kalangan anggota pansus yang merupakan perwakilan dari para anggota fraksi di DPR RI. Dalam perkembangan politiknya, tujuh fraksi, yakni Fraksi Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PKB, Fraksi PKS, Fraksi PPP, dan Fraksi Hanura mengusulkan besaran presidential threshold 0%.
Adapun tiga fraksi lain, yakni Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, dan Fraksi Nasdem tetap ngotot besaran presidential threshold sama seperti sebelumnya, yakni 20% jumlah kursi DPR RI atau 25% dari suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
Tentu sekalipun DPR adalah ranah politik, harus selalu ada landasan pemikiran dan landasan akademis yang kuat atas setiap usulan. Ada beberapa alasan dari Fraksi Gerindra dalam mengusulkan presidential threshold 0% dalam pemilihan capres-cawapres.
Pertama, mengacu pada UUD 1945. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Sebagai konstitusi tertinggi di negara ini, UUD ini tidak mengharuskan adanya besaran persentase untuk presidential threshold. UUD 1945 memberikan ruang bebas kepada seluruh masyarakat untuk berpartisipasi baik memilih maupun dipilih dalam pemilihan umum presiden.
Karenanya jangan sampai RUU Pemilu memberikan syarat persentase besaran threshold dalam pemilihan presiden. Sebab hal itu akan memberikan diskriminasi terhadap warga negara yang memiliki kompetensi untuk menjadi calon presidenmaupun calon wakil presiden. Oleh sebab itulah RUU Pemilu jangan sampai menjadi alat diskriminasi terhadap warga negara.
Kedua, pilpres dan pileg digelar serentak. Di Pasal 190 RUU Pemilu, besaran presidential threshold didasarkan pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Ini menimbulkan tanda tanya, sebab pilpres dan pileg pada 2019 akan digelar secara serentak. Jadi frasa berdasarkan pileg sebelumnya tidak bisa dijadikan acuan untuk mengusung capres-cawapres.
Pilpres dan pileg serentak tersebut merupakan putusan dari Mahkamah Konstitusi No 14/ PUU-XI/2013. Maka dari itu, dengan digelarnya pemilu legislatif (pileg) dan pilpres secara serentak, aturan presidential threshold lemah secara konstitusional bila dipaksakan besarannya seperti sebelumnya, yakni 20% kursi legislatif atau 25% suara pileg.
Apalagi sebelumnya hasil pemilu anggota DPR tahun 2014 sudah dijadikan dasar besaran presidential threshold pada Pilpres 2014. Apa mungkin hasil Pileg 2014 kembali dijadikan acuan besaran presidential threshold pada 2019?
Jelaslah tidak mungkin. Sebab, dalam lima tahun terakhir dari 2014 hingga 2019, bisa saja telah terjadi pergeseran pilihan masyarakat dari satu parpol ke parpol lain sehingga perolehan suara pun akan juga berubah. Karena itulah ketiadaan presidential threshold merupakan keniscayaan bila pileg dan pilpres digelar serentak pada 2019.
Ketiga, presidential threshold menimbulkan diskriminasi terhadap partai politik. Pemilihan presiden-wakil presiden haruslah menjadi sarana untuk memunculkan negarawan-negarawan yang berkontribusi bagi bangsa dan negara. Dan partai politik sebagai wadah untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa memiliki kewajiban moral. Apalagi adanya besaran presidential threshold merupakan bentuk dari diskriminasi terhadap partai-partai kecil yang dengan sendirinya bisa diartikan sebagai diskriminasi juga terhadap warga negara.
Jika membaca Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dengan teliti dan bijak, pasangan calon presiden-wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.
Jika membaca dan menganalisis ketentuan tersebut, sesungguhnya konstitusi memberikan kesempatan yang sama terhadap setiap partai yang telah dinyatakan menjadi peserta pemilu untuk mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden.
Oleh karena itu, menurut penulis, ketentuan pembuatan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU Pilpres (UU No 42 Tahun 2008) sudah kehilangan relevansinya. Logika frasa ”diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta pemilu” seharusnya diterjemahkan bahwa setiap partai yang telah lolos sebagai peserta pemilu memiliki kewenangan yang sama untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden di pilpres tanpa disuguhi syarat berupa presidential threshold.
Jikapun pembuat UU ”memaksakan” adanya presidential threshold, akan sangat sulit mencari dasar penghitungannya seperti yang juga telah dijelaskan di atas. Ketiadaan besaran presidential threshold merupakan solusi dari perdebatan ini.
Manfaat dari ketiadaan presidential threshold lebih besar daripada kerugiannya. Apalagi dengan pilpres dan pileg serentak, aturan 20% kursi legislatif atau 25% suara pileg sudah tidak relevan lagi.
Besaran presidential threshold menimbulkan ketidaksetaraan politik bagi warga negara dan bagi partai politik. Karenanya, berdasarkan UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013, sudah selayaknya besaran presidential threshold ditiadakan.
Dengan tidak adanya besaran presidential threshold, akan banyak capres– cawapres alternatif yang muncul. Masyarakat pun memiliki banyak alternatif pilihan dalam menentukan hak politiknya.
(dam)