Pilkada Jakarta 2017 dan Demokrasi Indonesia

Rabu, 24 Mei 2017 - 10:36 WIB
Pilkada Jakarta 2017 dan Demokrasi Indonesia
Pilkada Jakarta 2017 dan Demokrasi Indonesia
A A A
Herzaky Mahendra Putra
Direktur Pelaksana Lembaga Riset dan Konsultan MANILKA

BEBERAPA komentar negatif sempat bermunculan begitu Pilkada DKI Jakarta 2017 berakhir. Pilkada dengan pertarungan paling brutal di antara pendukungnya. Ada kesan yang timbul, Pilkada DKI 2017 identik dengan menguatnya politik uang dan perilaku penuh intimidasi, berita hoax, maupun politik identitas dengan isu SARA yang dimainkan serta menjadi dominan. Bahkan, berbagai media asing memberikan komentar yang mengesankan demokrasi Indonesia bergerak mundur.

Padahal, jika mencermati lebih dalam, ada beberapa hal baru yang disumbangkan oleh Pilkada DKI 2017 ini untuk pengembangan demokrasi Indo­nesia. Tulisan ini akan mencoba membahasnya.

Tiga Calon, Tiga Cara

Konsep gerilya lapangan merupakan sumbangan pertama bagi demokrasi Indonesia oleh Pilkada Jakarta 2017. Aktivitas yang digagas oleh calon gubernur nomor urut 1, Agus H Yudhoyono, memiliki esensi untuk bertatap muka langsung dengan masyarakat, menyerap aspirasi warga dengan berjalan kaki menyusuri permukiman warga, tanpa ada kesan formal. Tiga ciri khas gerilya lapangan AHY, demikian Agus sering dipanggil, adalah cara menyerap aspirasi, masifikasi, dan intensitasnya.

Pertama, AHY dalam berdialog selalu membawa kertas-kertas kecil dengan pulpen yang menyertainya untuk mencatat setiap masukan. Dia juga berusaha menjalin kontak secara emosional, dengan menyapa, melihat mata warga, dan bersalaman. Kedua, minimal ratusan, bahkan sering ribuan warga, hadir dalam aktivitas gerilya lapangan AHY. Dalam satu kesempatan bahkan AHY pernah menjalani rute sepanjang 7 km dan berinteraksi dengan hampir sepuluh ribu orang.

Masifnya warga yang disapa oleh AHY merupakan ciri khas kedua aktivitas gerilya lapangan. Ketiga, tiap hari minimal ada 6 lokasi yang didatangi oleh AHY. Dan aktivitas ini berjalan hampir 7x24 jam dalam seminggu. Bukan hanya butuh stamina, melainkan komitmen luar biasa dari seorang calon pemimpin sehingga aktivitas ini bisa berjalan secara konsisten.

Konsep berbeda dilakukan oleh Basuki, calon nomor urut 2. Beberapa kali aktivitas turun lapangannya mengalami penolakan oleh unsur masyarakat setempat. Namun, hal ini tak membuat Basuki kehabisan akal. Basuki pun memilih mengoptimalkan Rumah Lembang, posko pemenangannya, sebagai tempat menyerap aspirasi masyarakat. Bagaimana Basuki menyiasati situasi dan tantangan yang muncul dalam usaha menyerap aspirasi masyarakat, perlu dijadikan contoh bagi calon pemimpin yang bakal bertarung di kontestasi pilkada lain sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerap langsung aspirasi masyarakat.

Begitu juga dengan Anies, calon gubernur nomor urut 3. Agenda tatap muka dengan masyarakat kerap kali dilakoni. Sebulan menjelang pemungutan suara, konsep aktivitas menyerap aspirasi masyarakat Anies mengalami sedikit perubahan. Kerap ditemui Anies tanpa pengawalan sama sekali, bahkan hampir tidak ada yang mendampinginya, berkeliling ke tempat-tempat publik, untuk berdialog langsung dengan masyarakat, tanpa ada liputan dari media. Anies melakukan aktivitas blusukan dalam senyap. Ternyata aktivitas ini mengundang respons positif dari warga yang sempat berdialog dengannya.

Tiga kontestan dan tiga bentuk aktivitas menyerap aspirasi masyarakat yang berbeda itu benar-benar pembelajaran yang luar biasa dan berguna dalam pengembangan demokrasi Indonesia.

Pengakuan Kekalahan, Tradisi Baru?
Salah satu sumbangan terbesar bagi demokrasi Indonesia oleh Pilkada Jakarta 2017 adalah pengakuan kekalahan. AHY memberikan contoh luar biasa, bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap ketika hasil penghitungan suara menunjukkan pemilihnya tidak sebanyak calon lain. Dengan jiwa ksatria dan lapang dada, demikian AHY menyampaikan, dia menerima kekalahannya. Pidato menerima kekalahan AHY pada 15 Februari 2017 lalu memang mengundang reaksi luar biasa dan sangat positif, bukan hanya dari pendukungnya, melainkan juga pendukung kandidat lain.

Basuki, calon petahana yang takluk dari Anies di putaran kedua, meneruskan contoh positif yang diberikan oleh AHY di putaran pertama. Basuki menyatakan menerima kekalahannya dan menyampaikan niatnya untuk berdiskusi dengan Anies untuk kesinambungan program-program pembangunan Jakarta.

Pengakuan kekalahan ini kita harapkan bisa menjadi kebiasaan tidak resmi, yaitu konvensi, namun selalu dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang mengalami kekalahan di pilkada maupun pilpres. Dengan menjadi suatu norma baru, iklim persaingan di pentas pesta demokrasi di Indonesia akan menjadi lebih sejuk. Mengingat kentalnya budaya patron-klien di Indonesia, di mana sikap pemimpin menjadi rujukan utama bagi para pendukungnya dalam berperilaku, pengembangan demokrasi di Indonesia sedikit banyak tergantung pada berkembangnya tradisi baru ini atau tidak.

Kondisi ini sama dengan apa yang disebut Chantal Mouffe dengan prinsip agonism. Dalam buku berjudul On the Political (2005), Mouffe menjelaskan, ”This means that, while in conflict, they see themselves as belonging to the same political association, as sharing a common symbolic space within the conflict takes place.” Artinya, setelah kontestasi selesai, kubu yang satu dan yang lain kembali menjadi satu bagian dari political association, yaitu DKI Jakarta.

Akses Lebih Terbuka

Pilkada Jakarta kali ini menunjukkan fenomena yang menarik. Ketiga calon gubernur: AHY, Basuki, dan Anies bukan merupakan anggota partai apa pun. AHY baru saja mengajukan pensiun dari dinas militernya begitu diusung oleh koalisi empat partai untuk maju di Pilkada Jakarta 2017, dengan bermodalkan gelar master dari Harvard dan pengalaman segudang di militer.

Basuki, saat diusung oleh PDIP untuk maju, sudah bukan merupakan anggota partai apa pun. Meskipun Basuki aktif di berbagai partai sebelumnya, yaitu Partai Perhimpunan Indonesia Baru (2004), Partai Golkar (2009), dan terakhir Partai Gerindra pada tahun 2012-2014, namun dia diusung ketika tidak menjadi anggota partai mana pun.

Anies R Baswedan kita kenal sebagai inisiator Indonesia Mengajar dan aktivitasnya di dunia kampus, sebelum diusung sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017 oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sosial. Anies memang sempat maju konvensi capres Partai Demokrat pada 2014 dan beralih menjadi pendukung Presiden Jokowi sehingga berbuah posisi menteri sampai dengan reshuffle Juli 2017, namun belum menjadi anggota partai manapun hingga saat ini.

Keberadaan ketiga calon gubernur yang sama-sama bukan merupakan anggota partai, menandakan adanya akses yang lebih terbuka untuk calon-calon pemimpin yang tidak berasal dari partai. Selama memang mereka berkualitas, tidak tertutup kemungkinan partai politik meminangnya menjadi calon di pilkada. Hal ini sangat positif dalam mendukung perkembangan demokrasi di Indonesia.

Demokrasi Bergerak Maju

Demokrasi di Indonesia memang masih seumur jagung dan masih akan terus berkembang. Sangat wajar muncul ekses-ekses negatif dari demokrasi yang telah kita pilih sebagai sistem bernegara. Masyarakat Indonesia sedang berusaha menemukan, sistem demokrasi seperti apa yang lebih tepat untuk mereka.

Tiga kontestan calon gubernur di Pilkada DKI Jakarta 2017 telah menunjukkan perannya, memberikan sumbangan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Tentu, harapan besar diletakkan pada peserta pilkada 2018, dan tahun-tahun selanjutnya, untuk mengikuti jejak ketiga calon gubernur Jakarta agar demokrasi di Indonesia bergerak maju dan semakin matang.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7373 seconds (0.1#10.140)