Efektivitas Satgas Pangan
A
A
A
Ichsan Firdaus
Anggota Komisi IV DPR RI/Fraksi Partai Golkar
RAMADAN dan Idul Fitri merupakan momentum tahunan yang sangat ditunggu oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Tidak mengherankan jika pada momentum ini perekonomian menjadi meningkat, terutama didorong oleh meningkatnya konsumsi masyarakat. Secara ekonomi, jika kondisi ini tidak diantisipasi dengan baik, akan menimbulkan inflasi yang berujung pada berkurangnya daya beli masyarakat secara umum.
Menghadapi masalah ketersediaan pangan, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang merupakan sinergi antara Polri, Kemendag, Kemendagri, KPPU, Bulog, dan Kementan. Mengikuti kebijakan tersebut, di setiap daerah juga dibentuk satgas pangan yang dipimpin oleh para direktur reserse kriminal khusus (dirkrimsus) yang bekerja sama dengan dinas pertanian, dinas perdagangan, dinas dalam negeri, dan KPPU. Dibentuknya satgas pangan di daerah-daerah tersebut konon ditujukan sebagai langkah preventif sampai penegakan hukum.
Dibentuknya satgas pangan merupakan sebuah kebijakan yang telah mencuri perhatian publik. Pertanyaannya, apakah keberadaan satgas pangan ini sudah efektif dan efisien dalam menanggulangi lonjakan harga pangan menjelang Ramadan dan Idul Fitri?
Menimbang Supply dan Demand
Meningkatnya permintaan pangan yang disebabkan oleh kenaikan daya beli masyarakat akan menyebabkan peningkatan harga jika tidak diimbangi oleh sisi supply. Jika tidak, kenaikan daya beli akan menyebabkan kerugian masyarakat secara riil.
Dari sisi supply, ketersediaan pangan menjelang Ramadan dan Idul Fitri, menurut Kementerian Pertanian, posisinya masih aman. Kementan menyebutkan bahwa sudah ada 2 juta ton lebih stok beras, 130 ribu ton stok jagung, 1.000 ton stok bawang putih, 2.000 ton stok bawang merah, dan 40.000 ton stok daging. Artinya, atas informasi ketercukupan ini pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pembentukan satgas pangan yang sampai saat ini sudah mulai berjalan di beberapa daerah. Dengan kata lain, munculnya kebijakan pembentukan satgas pangan dilandasi oleh kekhawatiran pemerintah terhadap adanya permainan curang dari sisi supply, dalam hal ini kartel dan mafia pangan yang bertujuan untuk mendapatkan super normal profit.
Seperti halnya baru-baru ini terjadi di Bogor, yaitu disitanya 17 ton bawang putih impor asal China dan Selandia Baru yang diduga ditimbun. Di Makassar, Satgas Pangan Sulawesi Selatan berhasil mengungkap penyimpangan gula rafinasi. Penggerebekan yang dilakukan pada 20 Mei 2017 tersebut berhasil menyelamatkan 107.360 sak gula rafinasi yang masing-masing memiliki berat 50 kg atau sekitar 5.300 ton. Pelaku diduga melanggar ketentuan yang diatur dalam UU Perdagangan dan UU Perlindungan Konsumen.
Kasus lainnya, Satgas Pangan Lombok Tengah berhasil mengungkap produsen makanan mi berformalin. Satgas Pangan Lombok Tengah berhasil menyita 185 kg mi kuning, satu botol formalin, dan baskom tepung terigu. Pelaku diduga melanggar ketentuan di dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan. Demikian halnya Satgas Pangan Jabar pun mulai beroperasi ke pasar-pasar tradisional untuk mengantisipasi potensi penimbunan bahan-bahan pokok menjelang Ramadan dan Idul Fitri yang kerap kali terjadi.
Mengukur Efektivitas Satgas Pangan
Pembentukan Satgas Pangan ini mengesankan bahwa pemerintah memiliki tekad kuat menyelesaikan masalah ketersediaan pangan selama Ramadan dan Idul Fitri. Namun, benarkah pengerahan berbagai lembaga tersebut telah menjawab berbagai masalah yang ada?
Kita tahu bahwa antara supply dan demand dalam sebuah pasar memiliki logikanya masing-masing, yaitu supply yang ingin memaksimalkan keuntungan, demand ingin memaksimalkan kepuasan. Dengan logika tersebut, cara pemerintah dalam menaruh kecurigaan secara berlebihan terhadap para pedagang ataupun produsen itu kurang tepat.
Hal itu menunjukkan pemerintah kurang berdaya menghadapi perilaku pasar sehingga harus menggunakan pendekatan yang bercorak represif. Kebutuhan masyarakat terhadap pangan di bulan Ramadan memang menjadi lebih banyak dari biasanya. Hal ini bukan terjadi tahun ini saja, tapi hampir setiap tahun, gejalanya menunjukkan seperti itu.
Demand masyarakat secara nasional terhadap beberapa komoditas pada tahun 2016 yang lalu menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap beras meningkat yaitu 5.626.400 ton, kebutuhan terhadap jagung sebesar 1.750.100 ton, kebutuhan terhadap bawang merah sebesar 175.600 ton, kebutuhan terhadap daging ayam 234.700 ton, dan kebutuhan terhadap telur ayam 253.600 ton.
Hal yang sebaiknya menjadi fokus pemerintah adalah memperbaiki produksi dan produktivitas bahan-bahan kebutuhan pangan sehingga dapat menjawab demand masyarakat dalam jangka panjang. Pendekatan yang bertumpu pada punishment hanya akan melahirkan kegaduhan di masyarakat, meskipun kadang menarik untuk menjadi tontonan publik dan menaikkan citra pemerintah.
Misalnya kasus kartel ayam yang mencuat pada akhir tahun 2016 kemarin, telah memvonis 12 perusahaan karena sudah terbukti melanggar Pasal 11 Undang-undang Nomor 5/1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha. Padahal, di balik adanya kasus kartel pangan tersebut di antaranya karena kekurangberdayaan pertanian dalam negeri sehingga masih kalah kuat oleh beberapa gelintir korporasi saja.
Jika melihat ke belakang, tentunya masih hangat di ingatan publik tentang ketidakberdayaan pemerintah semisal dalam kasus penurunan harga eceran beras dan penurunan harga daging. Dalam hal ini pemerintah tidak mampu secara efektif dan efisien menghadapi kartel ataupun mafia pangan.
Dengan adanya contoh kegagalan tersebut seharusnya para pejabat di pemerintahan mampu melihat fakta lapangan bahwa rangkaian instrumen stabilisasi harga pangan merupakan satu kesatuan strategi yang terintegrasi dan terukur mulai dari kinerja produksi, pengadaan, referensi harga pembelian pemerintah (HPP), manajemen stok, subsidi harga untuk keluarga miskin, sampai pada operasi pasar. Semua rangkaian tersebut tidak dapat dilaksanakan secara parsial.
Karena itu, dalam hal ini pemerintah diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerjanya dalam menyelenggarakan aktivitas berkelanjutan yang berorientasi pada upaya meningkatkan kualitas kesejahteraan petani ataupun memperkuat fasilitas pendukung dalam bertani. Peran pemerintah sebaiknya tetap sebagai regulator saja dan pelaku bisnis sebagai aktor. Pemerintah harus mampu menggandeng para pelaku bisnis untuk membantu para petani di bagian produksi agar dapat meningkatkan produktivitasnya sehingga lebih berdaya saing. Dus, tentunya memotong rantai kartel pangan yang sudah menggurita.
Alhasil, dibentuknya satgas pangan menjelang Ramadan dan Idul Fitri ini merupakan salah satu pertanda tentang masih banyaknya pekerjaan rumah dalam membangun sektor pertanian. Tentu secara jujur pemerintah harus mengakui bahwa kondisi pertanian saat ini masih lemah dari sisi produksi dan produktivitasnya. Persoalan di sektor pertanian memang kompleks. Untuk itu, diperlukan suatu kombinasi kebijakan dan implementasi yang komprehensif, namun tetap harus bisa menyentuh akar masalahnya.
Anggota Komisi IV DPR RI/Fraksi Partai Golkar
RAMADAN dan Idul Fitri merupakan momentum tahunan yang sangat ditunggu oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Tidak mengherankan jika pada momentum ini perekonomian menjadi meningkat, terutama didorong oleh meningkatnya konsumsi masyarakat. Secara ekonomi, jika kondisi ini tidak diantisipasi dengan baik, akan menimbulkan inflasi yang berujung pada berkurangnya daya beli masyarakat secara umum.
Menghadapi masalah ketersediaan pangan, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang merupakan sinergi antara Polri, Kemendag, Kemendagri, KPPU, Bulog, dan Kementan. Mengikuti kebijakan tersebut, di setiap daerah juga dibentuk satgas pangan yang dipimpin oleh para direktur reserse kriminal khusus (dirkrimsus) yang bekerja sama dengan dinas pertanian, dinas perdagangan, dinas dalam negeri, dan KPPU. Dibentuknya satgas pangan di daerah-daerah tersebut konon ditujukan sebagai langkah preventif sampai penegakan hukum.
Dibentuknya satgas pangan merupakan sebuah kebijakan yang telah mencuri perhatian publik. Pertanyaannya, apakah keberadaan satgas pangan ini sudah efektif dan efisien dalam menanggulangi lonjakan harga pangan menjelang Ramadan dan Idul Fitri?
Menimbang Supply dan Demand
Meningkatnya permintaan pangan yang disebabkan oleh kenaikan daya beli masyarakat akan menyebabkan peningkatan harga jika tidak diimbangi oleh sisi supply. Jika tidak, kenaikan daya beli akan menyebabkan kerugian masyarakat secara riil.
Dari sisi supply, ketersediaan pangan menjelang Ramadan dan Idul Fitri, menurut Kementerian Pertanian, posisinya masih aman. Kementan menyebutkan bahwa sudah ada 2 juta ton lebih stok beras, 130 ribu ton stok jagung, 1.000 ton stok bawang putih, 2.000 ton stok bawang merah, dan 40.000 ton stok daging. Artinya, atas informasi ketercukupan ini pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pembentukan satgas pangan yang sampai saat ini sudah mulai berjalan di beberapa daerah. Dengan kata lain, munculnya kebijakan pembentukan satgas pangan dilandasi oleh kekhawatiran pemerintah terhadap adanya permainan curang dari sisi supply, dalam hal ini kartel dan mafia pangan yang bertujuan untuk mendapatkan super normal profit.
Seperti halnya baru-baru ini terjadi di Bogor, yaitu disitanya 17 ton bawang putih impor asal China dan Selandia Baru yang diduga ditimbun. Di Makassar, Satgas Pangan Sulawesi Selatan berhasil mengungkap penyimpangan gula rafinasi. Penggerebekan yang dilakukan pada 20 Mei 2017 tersebut berhasil menyelamatkan 107.360 sak gula rafinasi yang masing-masing memiliki berat 50 kg atau sekitar 5.300 ton. Pelaku diduga melanggar ketentuan yang diatur dalam UU Perdagangan dan UU Perlindungan Konsumen.
Kasus lainnya, Satgas Pangan Lombok Tengah berhasil mengungkap produsen makanan mi berformalin. Satgas Pangan Lombok Tengah berhasil menyita 185 kg mi kuning, satu botol formalin, dan baskom tepung terigu. Pelaku diduga melanggar ketentuan di dalam UU Nomor 18/2012 tentang Pangan. Demikian halnya Satgas Pangan Jabar pun mulai beroperasi ke pasar-pasar tradisional untuk mengantisipasi potensi penimbunan bahan-bahan pokok menjelang Ramadan dan Idul Fitri yang kerap kali terjadi.
Mengukur Efektivitas Satgas Pangan
Pembentukan Satgas Pangan ini mengesankan bahwa pemerintah memiliki tekad kuat menyelesaikan masalah ketersediaan pangan selama Ramadan dan Idul Fitri. Namun, benarkah pengerahan berbagai lembaga tersebut telah menjawab berbagai masalah yang ada?
Kita tahu bahwa antara supply dan demand dalam sebuah pasar memiliki logikanya masing-masing, yaitu supply yang ingin memaksimalkan keuntungan, demand ingin memaksimalkan kepuasan. Dengan logika tersebut, cara pemerintah dalam menaruh kecurigaan secara berlebihan terhadap para pedagang ataupun produsen itu kurang tepat.
Hal itu menunjukkan pemerintah kurang berdaya menghadapi perilaku pasar sehingga harus menggunakan pendekatan yang bercorak represif. Kebutuhan masyarakat terhadap pangan di bulan Ramadan memang menjadi lebih banyak dari biasanya. Hal ini bukan terjadi tahun ini saja, tapi hampir setiap tahun, gejalanya menunjukkan seperti itu.
Demand masyarakat secara nasional terhadap beberapa komoditas pada tahun 2016 yang lalu menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap beras meningkat yaitu 5.626.400 ton, kebutuhan terhadap jagung sebesar 1.750.100 ton, kebutuhan terhadap bawang merah sebesar 175.600 ton, kebutuhan terhadap daging ayam 234.700 ton, dan kebutuhan terhadap telur ayam 253.600 ton.
Hal yang sebaiknya menjadi fokus pemerintah adalah memperbaiki produksi dan produktivitas bahan-bahan kebutuhan pangan sehingga dapat menjawab demand masyarakat dalam jangka panjang. Pendekatan yang bertumpu pada punishment hanya akan melahirkan kegaduhan di masyarakat, meskipun kadang menarik untuk menjadi tontonan publik dan menaikkan citra pemerintah.
Misalnya kasus kartel ayam yang mencuat pada akhir tahun 2016 kemarin, telah memvonis 12 perusahaan karena sudah terbukti melanggar Pasal 11 Undang-undang Nomor 5/1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha. Padahal, di balik adanya kasus kartel pangan tersebut di antaranya karena kekurangberdayaan pertanian dalam negeri sehingga masih kalah kuat oleh beberapa gelintir korporasi saja.
Jika melihat ke belakang, tentunya masih hangat di ingatan publik tentang ketidakberdayaan pemerintah semisal dalam kasus penurunan harga eceran beras dan penurunan harga daging. Dalam hal ini pemerintah tidak mampu secara efektif dan efisien menghadapi kartel ataupun mafia pangan.
Dengan adanya contoh kegagalan tersebut seharusnya para pejabat di pemerintahan mampu melihat fakta lapangan bahwa rangkaian instrumen stabilisasi harga pangan merupakan satu kesatuan strategi yang terintegrasi dan terukur mulai dari kinerja produksi, pengadaan, referensi harga pembelian pemerintah (HPP), manajemen stok, subsidi harga untuk keluarga miskin, sampai pada operasi pasar. Semua rangkaian tersebut tidak dapat dilaksanakan secara parsial.
Karena itu, dalam hal ini pemerintah diharapkan mampu untuk meningkatkan kinerjanya dalam menyelenggarakan aktivitas berkelanjutan yang berorientasi pada upaya meningkatkan kualitas kesejahteraan petani ataupun memperkuat fasilitas pendukung dalam bertani. Peran pemerintah sebaiknya tetap sebagai regulator saja dan pelaku bisnis sebagai aktor. Pemerintah harus mampu menggandeng para pelaku bisnis untuk membantu para petani di bagian produksi agar dapat meningkatkan produktivitasnya sehingga lebih berdaya saing. Dus, tentunya memotong rantai kartel pangan yang sudah menggurita.
Alhasil, dibentuknya satgas pangan menjelang Ramadan dan Idul Fitri ini merupakan salah satu pertanda tentang masih banyaknya pekerjaan rumah dalam membangun sektor pertanian. Tentu secara jujur pemerintah harus mengakui bahwa kondisi pertanian saat ini masih lemah dari sisi produksi dan produktivitasnya. Persoalan di sektor pertanian memang kompleks. Untuk itu, diperlukan suatu kombinasi kebijakan dan implementasi yang komprehensif, namun tetap harus bisa menyentuh akar masalahnya.
(kri)