Merekatkan Politik Kebangsaan
A
A
A
Dave Akbarshah Fikarno Laksono
Anggota Komisi I DPR RI
AKHIR-akhir ini, kebangsaan kita sedang diuji oleh berbagai sikap dan aksi yang menjurus pada perpecahan. Di beberapa sudut negeri ini, muncul berbagai aksi protes dan demonstrasi yang dibungkus dengan nama “kelompok” keagamaan, suku, dan ras. Entah siapa yang menggerakannya. Tapi yang pasti, kemunculannya seiring dengan berbagai aksi pro dan kontra atas putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis dua tahun kepada Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta, atas kasus penodaan agama. Ahok divonis telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama sebagaimana dakwaan primair Pasal 156 a KUHP yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Terlepas dari pro dan kontra yang muncul, yang pasti putusan pengadilan telah dijatuhkan dan telah memberikan kepastian hukum, tidak hanya bagi masyarakat demonstran yang setiap saat melakukan demonstrasi di pengadilan tetapi juga bagi Ahok. Lantas, apakah putusan itu adil bagi Ahok?, Itu pertanyaan hukum yang saat ini sedang diajukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Karena proses hukum sedang berjalan sesuai dengan prosedur hukum acara pidana, maka masyarakat diharapkan jangan melakukan perbuatan yang pada akhirnya merugikan diri sendiri dan melemahkan persatuan di antara sesama anak bangsa yang pada akhirnya dapat mendestruksi tatanan politik kebangsaan yang sudah lama dibangun oleh para pendiri bangsa.
Ancaman
Apa yang akhir-akhir ini kita tonton di televisi adalah aksi-aksi yang dapat mengancam persatuan kita sebagai bangsa yang berpaham negara integralistik. Ada kelompok masyarakat yang berdemonstrasi dengan menggunakan isu agama, suku, dan ras melawan pemerintah. Ada juga kelompok masyarakat lainnya berdemonstrasi menolak kedatangan tokoh-tokoh tertentu. Ada pula kelompok masyarakat menyatakan permusuhan terhadap kelompok lainnya.
Tidak hanya itu, di media sosial muncul berbagai aksi provokasi yang bernada menghina dan mencaci keyakinan dan keagamaan, yang tidak ayal membuat para pelakunya ditetapkan sebagai tersangka.
Apa yang muncul ini adalah akibat dari membuncahnya semangat permusuhan di antara kelompok masyarakat yang tentu saja sangat membahayakan tatanan dan sendi-sendi Pancasila dan NKRI. Kita berada di dalam situasi krisis kebangsaan.
Kita berperilaku, bersikap, dan berkata-kata seolah-olah bukan sebagai suatu bangsa, tetapi hanya sebatas suatu kelompok keagamaan tertentu, kelompok suku, serta kelompok ras tertentu.
Tesis dari Ben Anderson dalam bukunya yang terkenal “Imagined Communities”, bahwa kebangsaaan atau nasionalisme adalah sebuah komunitas politik berbayang yang dibayangkan sebagai kesatuan yang terbatas dan kekuasaan tertinggi, sedang terbukti. Berbayang karena kebangsaan kita seperti bukan kebangsaan yang nyata, karena terpisah oleh sekat-sekat suku, ras, dan agama.
Kita seperti sedang tidak bersatu, padahal kita diikat oleh nilai-nilai kebangsaan yang sama. Kita dipecah oleh isu murahan yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka memecah belah bangsa ini demi kepentingan-kepentingan politik sempit.
Politik pecah belah seperti ini merupakan cara-cara politik klasik yang sudah pernah pernah dilakukan di masa lalu dan tidak pernah akan mati sepanjang NKRI berdiri. Kerukunan yang sudah terjaga di masa kerajaan-kerajaan Nusantara hancur ketika kedatangan bangsa Barat seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Perancis yang menggunakan tipu muslihat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Maka berakhirlah periode Kerajaan Nusantara dan mulailah periode penjajahan yang menindas bangsa Indonesia.
Apa yang terjadi sekarang ini adalah hidupnya kembali politik pecah belah yang dilakukan oleh kelompok-kelompok chauvinis, yaitu kelonpok yang berpandangan bahwa merekalah yang paling benar dan kelompok yang lain salah dan sesat. Sikap seperti ini adalah sikap anti kebangsaan yang tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan pendirian bangsa ini.
Revitalisasi
Melemahnya nilai-nilai kebangsaaan yang dipertunjukan dalam berbagai aksi kelompok harus disikapi secara serius. Hal demikian tidak bisa dibiarkan berkembang masif di berbagai daerah karena akan mengancam integrasi nasional dan membahayakan pluralisme bangsa. Artinya, diperlukan upaya revitalisasi kebangsaan untuk merekatkan secara lebih kuat nilai-nilai kebangsaan demi tegaknya Pancasila dan NKRI.
Nilai kebangsaan tidak hanya dapat dipahami secara teoritis, tetapi juga harus dipraktekkan secara nyata mulai dari diri sendiri, kelompok, masyarakat, hingga pada level pemimpin dan elite.
Penguatan nilai kebangsaan diperlukan agar Indonesia tidak oleng oleh sikap-sikap sektariansime yang tidak berpijak pada paham Pancasila dan NKRI. Revitalisasi kebangsaan harus menjadi acuan tata nilai dan semangat kebersamaan agar tidak kehilangan arah dan tercerai berai. Setiap saat, diperlukan upaya untuk melakukan transformasi nilai-nilai kebangsaan agar relevan dengan tuntutan perubahan demi tegaknya keutuhan NKRI.
Untuk itu, perlu sebuah penguatan nilai-nilai kebangsaan dengan komitmen bersama dari seluruh komponen bangsa. Komiten tersebut perlu diekspresikan dan disosialisasikan sehingga internalisasi nilai-nilai kebangsaan dapat tertanam secara kuat dan kokoh.
Semangat tersebut hendaknya ditransformasikan dalam bentuk kerja nyata. Sehingga kebangsaan bukanlah sebuah kata-kata kosong tanpa makna.
Semangat kebangsaan harus mampu merekatkan berbagai macam perbedaan, menumbuhkan spirit patriotisme dan yang terpenting adalah membebaskan manusia Indonesia dari belenggu kesulitan hidup, kemiskinan, dan kebodohan. Sehingga Indonesia bisa tampil secara terhormat dalam kacah pergaulan Internasional.
Partai politik sebagai salah satu komponen demokrasi hendaknya tidak terjebak memanfaatkan sentimen agama, suku, dan ras demi kepentingan politik sesaat. Partai politik harus menjadi jembatan penghubung untuk memperkuat politik kebangsaan bukan politik identitas. Para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan harus mampu memberikan kesejukan, bukan justru malah mengadu domba. Media juga harus berperan untuk menghadirkan berita-berita yang positif, bukan malah menampilkan berita hoax yang provokatif.
Media sosial harus dimanfaatkan secara positif untuk menebarkan rasa persatuan, kecintaan antar sesama, rasa saling hormat, bukan menjadi media yang memproduksi kebencian, kemarahan, dan permusuhan. Para elite politik, baik di pusat dan daerah, harus menjadi tokoh panutan masyarakat dengan menampilkan kepemimpinan yang demokratis, harmonis, dan mengayomi bukan.
Dengan melakukan revitalisasi kebangsaan dari berbagai tingkatan, dengan berbagai metode, bukan sekadar wacana, maka kita akan kembali merekatkan politik kebangsaan secara kuat, tanpa mampu dihancurkan oleh berbagai aksi politik pecah belah.
Anggota Komisi I DPR RI
AKHIR-akhir ini, kebangsaan kita sedang diuji oleh berbagai sikap dan aksi yang menjurus pada perpecahan. Di beberapa sudut negeri ini, muncul berbagai aksi protes dan demonstrasi yang dibungkus dengan nama “kelompok” keagamaan, suku, dan ras. Entah siapa yang menggerakannya. Tapi yang pasti, kemunculannya seiring dengan berbagai aksi pro dan kontra atas putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis dua tahun kepada Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta, atas kasus penodaan agama. Ahok divonis telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama sebagaimana dakwaan primair Pasal 156 a KUHP yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Terlepas dari pro dan kontra yang muncul, yang pasti putusan pengadilan telah dijatuhkan dan telah memberikan kepastian hukum, tidak hanya bagi masyarakat demonstran yang setiap saat melakukan demonstrasi di pengadilan tetapi juga bagi Ahok. Lantas, apakah putusan itu adil bagi Ahok?, Itu pertanyaan hukum yang saat ini sedang diajukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Karena proses hukum sedang berjalan sesuai dengan prosedur hukum acara pidana, maka masyarakat diharapkan jangan melakukan perbuatan yang pada akhirnya merugikan diri sendiri dan melemahkan persatuan di antara sesama anak bangsa yang pada akhirnya dapat mendestruksi tatanan politik kebangsaan yang sudah lama dibangun oleh para pendiri bangsa.
Ancaman
Apa yang akhir-akhir ini kita tonton di televisi adalah aksi-aksi yang dapat mengancam persatuan kita sebagai bangsa yang berpaham negara integralistik. Ada kelompok masyarakat yang berdemonstrasi dengan menggunakan isu agama, suku, dan ras melawan pemerintah. Ada juga kelompok masyarakat lainnya berdemonstrasi menolak kedatangan tokoh-tokoh tertentu. Ada pula kelompok masyarakat menyatakan permusuhan terhadap kelompok lainnya.
Tidak hanya itu, di media sosial muncul berbagai aksi provokasi yang bernada menghina dan mencaci keyakinan dan keagamaan, yang tidak ayal membuat para pelakunya ditetapkan sebagai tersangka.
Apa yang muncul ini adalah akibat dari membuncahnya semangat permusuhan di antara kelompok masyarakat yang tentu saja sangat membahayakan tatanan dan sendi-sendi Pancasila dan NKRI. Kita berada di dalam situasi krisis kebangsaan.
Kita berperilaku, bersikap, dan berkata-kata seolah-olah bukan sebagai suatu bangsa, tetapi hanya sebatas suatu kelompok keagamaan tertentu, kelompok suku, serta kelompok ras tertentu.
Tesis dari Ben Anderson dalam bukunya yang terkenal “Imagined Communities”, bahwa kebangsaaan atau nasionalisme adalah sebuah komunitas politik berbayang yang dibayangkan sebagai kesatuan yang terbatas dan kekuasaan tertinggi, sedang terbukti. Berbayang karena kebangsaan kita seperti bukan kebangsaan yang nyata, karena terpisah oleh sekat-sekat suku, ras, dan agama.
Kita seperti sedang tidak bersatu, padahal kita diikat oleh nilai-nilai kebangsaan yang sama. Kita dipecah oleh isu murahan yang sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka memecah belah bangsa ini demi kepentingan-kepentingan politik sempit.
Politik pecah belah seperti ini merupakan cara-cara politik klasik yang sudah pernah pernah dilakukan di masa lalu dan tidak pernah akan mati sepanjang NKRI berdiri. Kerukunan yang sudah terjaga di masa kerajaan-kerajaan Nusantara hancur ketika kedatangan bangsa Barat seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Perancis yang menggunakan tipu muslihat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Maka berakhirlah periode Kerajaan Nusantara dan mulailah periode penjajahan yang menindas bangsa Indonesia.
Apa yang terjadi sekarang ini adalah hidupnya kembali politik pecah belah yang dilakukan oleh kelompok-kelompok chauvinis, yaitu kelonpok yang berpandangan bahwa merekalah yang paling benar dan kelompok yang lain salah dan sesat. Sikap seperti ini adalah sikap anti kebangsaan yang tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan pendirian bangsa ini.
Revitalisasi
Melemahnya nilai-nilai kebangsaaan yang dipertunjukan dalam berbagai aksi kelompok harus disikapi secara serius. Hal demikian tidak bisa dibiarkan berkembang masif di berbagai daerah karena akan mengancam integrasi nasional dan membahayakan pluralisme bangsa. Artinya, diperlukan upaya revitalisasi kebangsaan untuk merekatkan secara lebih kuat nilai-nilai kebangsaan demi tegaknya Pancasila dan NKRI.
Nilai kebangsaan tidak hanya dapat dipahami secara teoritis, tetapi juga harus dipraktekkan secara nyata mulai dari diri sendiri, kelompok, masyarakat, hingga pada level pemimpin dan elite.
Penguatan nilai kebangsaan diperlukan agar Indonesia tidak oleng oleh sikap-sikap sektariansime yang tidak berpijak pada paham Pancasila dan NKRI. Revitalisasi kebangsaan harus menjadi acuan tata nilai dan semangat kebersamaan agar tidak kehilangan arah dan tercerai berai. Setiap saat, diperlukan upaya untuk melakukan transformasi nilai-nilai kebangsaan agar relevan dengan tuntutan perubahan demi tegaknya keutuhan NKRI.
Untuk itu, perlu sebuah penguatan nilai-nilai kebangsaan dengan komitmen bersama dari seluruh komponen bangsa. Komiten tersebut perlu diekspresikan dan disosialisasikan sehingga internalisasi nilai-nilai kebangsaan dapat tertanam secara kuat dan kokoh.
Semangat tersebut hendaknya ditransformasikan dalam bentuk kerja nyata. Sehingga kebangsaan bukanlah sebuah kata-kata kosong tanpa makna.
Semangat kebangsaan harus mampu merekatkan berbagai macam perbedaan, menumbuhkan spirit patriotisme dan yang terpenting adalah membebaskan manusia Indonesia dari belenggu kesulitan hidup, kemiskinan, dan kebodohan. Sehingga Indonesia bisa tampil secara terhormat dalam kacah pergaulan Internasional.
Partai politik sebagai salah satu komponen demokrasi hendaknya tidak terjebak memanfaatkan sentimen agama, suku, dan ras demi kepentingan politik sesaat. Partai politik harus menjadi jembatan penghubung untuk memperkuat politik kebangsaan bukan politik identitas. Para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh perempuan harus mampu memberikan kesejukan, bukan justru malah mengadu domba. Media juga harus berperan untuk menghadirkan berita-berita yang positif, bukan malah menampilkan berita hoax yang provokatif.
Media sosial harus dimanfaatkan secara positif untuk menebarkan rasa persatuan, kecintaan antar sesama, rasa saling hormat, bukan menjadi media yang memproduksi kebencian, kemarahan, dan permusuhan. Para elite politik, baik di pusat dan daerah, harus menjadi tokoh panutan masyarakat dengan menampilkan kepemimpinan yang demokratis, harmonis, dan mengayomi bukan.
Dengan melakukan revitalisasi kebangsaan dari berbagai tingkatan, dengan berbagai metode, bukan sekadar wacana, maka kita akan kembali merekatkan politik kebangsaan secara kuat, tanpa mampu dihancurkan oleh berbagai aksi politik pecah belah.
(sms)