Tesis Lucu tentang Nazaruddin
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SAYA tergelak dan spontan tertawa ketika mahasiswa saya, Halili, datang kepada saya untuk mengajukan judul tesis yang akan ditulisnya. “Saya ingin menulis tesis tentang peranan Nazaruddin dalam membangun ketakwaan,” katanya.
Ada-ada saja. Masak ada tesis berjudul seperti itu? Tapi sebagai dosen saya tidak serta-merta menyalahkan atau menolak judul itu.
Kepada Halili saya tanyakan, Nazaruddin siapa? Apakah seorang sufi atau juru dakwah besar dari suatu negara? “Bukan, Pak,” jawabnya. Apakah Nasaruddin Umar sang imam besar Masjid Istiqlal itu? “Bukan, ini Nazaruddin yang sekarang ada di Penjara Sukamiskin, yang dihukum karena kasus korupsi,” jawabnya mantap. Loh, bagaimana seorang narapidana korupsi bisa berdakwah agar orang bertakwa?
Ternyata Halili punya alasan yang di dalam metodologi penelitian disebut sebagai latar belakang masalah. Katanya, berdasar temuan awal dari observasi yang dilakukannya, ternyata sepak terjang Nazaruddin membuat para koruptor yang belum tertangkap menjadi lebih bertakwa, takut kepada Allah, dan mendekati atau ber-taqarrub kepada-Nya.
Sebelum melanjutkan tawar-menawar dengan Halili tentang judul tesis itu, saya perlu menjelaskan dulu arahan saya tentang penulisan tesis kepada mahasiswa di mana Halili menjadi salah satunya.
Saya bilang, kalau akan menulis tesis harus dimulai dengan semacam masalah akademik dulu untuk dinilai kelayakannya. Jadi setiap mahasiswa yang akan menulis tesis harus sudah punya stok masalah untuk ditetapkan sebagai judul dan masalah penelitian.
Suatu hari Halili yang berasal dari Madura ini datang kepada saya dan mengatakan akan menulis tesis karena orang tuanya dari kampung memintanya segera menikah dan sudah disiapkan untuknya seorang putri Madura. Dia bertanya kepada saya tentang tesis yang harus ditulisnya dan dia meminta judul tesis kepada saya. Saya jawab bahwa judul tesis itu dibuat sendiri oleh yang akan menulis, bukan diminta kepada dosen.
Caranya, sambung saya, temukan dulu satu masalah, kemudian formulasikan dalam sebuah judul dan diskusikan dengan dosen pembimbing, apakah layak jadi tesis atau tidak. “Kamu harus menentukan dulu masalahnya apa, barulah tesismu bisa berjalan. Sekarang, masalahnya apa?” tanya saya kepada Halili.
Waktu itu pun jawabannya membuat saya terpingkal. “Masalahnya, saya tidak menemukan masalah,” jawabnya sambil tersipu malu.
Saat itu saya mengatakan bahwa masalah untuk penelitian itu dicari sendiri, bukan diminta kepada dosen. Sebab yang dianggap masalah oleh dosen belum tentu masalah bagi yang akan meneliti. Yang merupakan masalah menurut dosen belum tentu dimengerti oleh mahasiswa yang akan meneliti.
Saya meminta dia menggali masalah itu melalui bacaan-bacaan di buku, koran, internet, berita televisi, media sosial, dan peristiwa-peristiwa faktual yang ada di lapangan. Saya meminta Halili pulang dulu dan bisa datang lagi kepada saya jika sudah menemukan masalah.
Itulah latar belakang cerita di awal tulisan ini. Karena disuruh menggali masalah dengan latar belakangnya, kali ini Halili benar-benar membawa masalah yang sekaligus dijadikan judul penelitian, “Peranan Nazaruddin dalam Membangun Ketakwaan”.
Dalam latar belakang yang diuraikannya secara singkat itu Halili mengatakan, banyak pejabat berubah sikap menjadi agamais sejak Nazaruddin sering dipanggil ke KPK atau dihadirkan sebagai saksi di Pengatilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Seperti diketahui, setiap dipanggil KPK, entah untuk diperiksa atau untuk memberi kesaksian di Pengadilan Tipikor, Nazaruddin sering tiba-tiba menyebut nama pejabat yang menjadi mitranya untuk melakukan korupsi. Banyak yang disebut dan banyak pula yang sudah dijebloskan ke penjara.
Oleh sebab itu, kata Halili, orang-orang yang pernah kenal dengan Nazaruddin sekarang selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Agung agar Nazaruddian tak menyebut namanya di persidangan atau di depan pers.
Mereka itu ada yang menteri, dirjen, pengusaha, anggota DPR, rektor, kepala daerah, dan sebagainya. Setiap ada berita Nazaruddin akan dipanggil ke Pengadilan Tipikor, para pejabat itu menjadi bertakwa, berdoa secara khusyuk.
Ada yang mengundang 1.000 orang untuk membaca Surat Yasin, ada yang tahlilan semalan suntuk, ada yang tiba-tiba suka membawa-bawa tasbih dan berkomat-kamit entah membaca apa. Ada juga yang menyulap ruang kerjanya sehingga ada musala untuk sang pejabat melakukan salat dan berdoa.
“Itulah latar belakang judul penelitian saya, Pak,” kata Halili.
“Tapi mereka melakukan itu bukan karena bertakwa, takwa itu bukan karena takut kepada Nazaruddin,” kata saya.
“Loh, namanya penelitian ya ada hipotesisnya, Pak,” bantahnya.
“Apa hipotesisnya?” desak saya.
“Para pejabat korup itu menjadi bertakwa, suka berzikir dan berdoa, memakai hijab dan baju koko bukan karena ikhlas bertakwa, melainkan terpaksa karena ketakutan dan ingin agar Nazaruddin tidak ingat kepada dirinya,” jawabnya.
Akhirnya saya menutup konsultasi itu dengan mengatakan, “Oke, masalah dan latar belakang penelitianmu benar, tetapi saya tak setuju dan tak bersedia membimbing.”
Halili kaget, “Mengapa, Pak? Bukankah secara metodologis sudah memenuhi syarat?” Dia mendesak saya. “Betul, sudah memenuhi syarat tapi itu tesis untuk bidang agama atau sosiologi agama. Kalau saya kan membimbing tesis bidang hukum tata negara.”
“Tapi rencana tesismu bagus juga untuk menyongsong bulan Ramadan yang akan hadir pekan depan. Perlu pencerahan bahwa takwa itu dasarnya ikhlas, bukan karena takut disebut namanya oleh Nazaruddin,” kata saya memungkasi perbincangan.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SAYA tergelak dan spontan tertawa ketika mahasiswa saya, Halili, datang kepada saya untuk mengajukan judul tesis yang akan ditulisnya. “Saya ingin menulis tesis tentang peranan Nazaruddin dalam membangun ketakwaan,” katanya.
Ada-ada saja. Masak ada tesis berjudul seperti itu? Tapi sebagai dosen saya tidak serta-merta menyalahkan atau menolak judul itu.
Kepada Halili saya tanyakan, Nazaruddin siapa? Apakah seorang sufi atau juru dakwah besar dari suatu negara? “Bukan, Pak,” jawabnya. Apakah Nasaruddin Umar sang imam besar Masjid Istiqlal itu? “Bukan, ini Nazaruddin yang sekarang ada di Penjara Sukamiskin, yang dihukum karena kasus korupsi,” jawabnya mantap. Loh, bagaimana seorang narapidana korupsi bisa berdakwah agar orang bertakwa?
Ternyata Halili punya alasan yang di dalam metodologi penelitian disebut sebagai latar belakang masalah. Katanya, berdasar temuan awal dari observasi yang dilakukannya, ternyata sepak terjang Nazaruddin membuat para koruptor yang belum tertangkap menjadi lebih bertakwa, takut kepada Allah, dan mendekati atau ber-taqarrub kepada-Nya.
Sebelum melanjutkan tawar-menawar dengan Halili tentang judul tesis itu, saya perlu menjelaskan dulu arahan saya tentang penulisan tesis kepada mahasiswa di mana Halili menjadi salah satunya.
Saya bilang, kalau akan menulis tesis harus dimulai dengan semacam masalah akademik dulu untuk dinilai kelayakannya. Jadi setiap mahasiswa yang akan menulis tesis harus sudah punya stok masalah untuk ditetapkan sebagai judul dan masalah penelitian.
Suatu hari Halili yang berasal dari Madura ini datang kepada saya dan mengatakan akan menulis tesis karena orang tuanya dari kampung memintanya segera menikah dan sudah disiapkan untuknya seorang putri Madura. Dia bertanya kepada saya tentang tesis yang harus ditulisnya dan dia meminta judul tesis kepada saya. Saya jawab bahwa judul tesis itu dibuat sendiri oleh yang akan menulis, bukan diminta kepada dosen.
Caranya, sambung saya, temukan dulu satu masalah, kemudian formulasikan dalam sebuah judul dan diskusikan dengan dosen pembimbing, apakah layak jadi tesis atau tidak. “Kamu harus menentukan dulu masalahnya apa, barulah tesismu bisa berjalan. Sekarang, masalahnya apa?” tanya saya kepada Halili.
Waktu itu pun jawabannya membuat saya terpingkal. “Masalahnya, saya tidak menemukan masalah,” jawabnya sambil tersipu malu.
Saat itu saya mengatakan bahwa masalah untuk penelitian itu dicari sendiri, bukan diminta kepada dosen. Sebab yang dianggap masalah oleh dosen belum tentu masalah bagi yang akan meneliti. Yang merupakan masalah menurut dosen belum tentu dimengerti oleh mahasiswa yang akan meneliti.
Saya meminta dia menggali masalah itu melalui bacaan-bacaan di buku, koran, internet, berita televisi, media sosial, dan peristiwa-peristiwa faktual yang ada di lapangan. Saya meminta Halili pulang dulu dan bisa datang lagi kepada saya jika sudah menemukan masalah.
Itulah latar belakang cerita di awal tulisan ini. Karena disuruh menggali masalah dengan latar belakangnya, kali ini Halili benar-benar membawa masalah yang sekaligus dijadikan judul penelitian, “Peranan Nazaruddin dalam Membangun Ketakwaan”.
Dalam latar belakang yang diuraikannya secara singkat itu Halili mengatakan, banyak pejabat berubah sikap menjadi agamais sejak Nazaruddin sering dipanggil ke KPK atau dihadirkan sebagai saksi di Pengatilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Seperti diketahui, setiap dipanggil KPK, entah untuk diperiksa atau untuk memberi kesaksian di Pengadilan Tipikor, Nazaruddin sering tiba-tiba menyebut nama pejabat yang menjadi mitranya untuk melakukan korupsi. Banyak yang disebut dan banyak pula yang sudah dijebloskan ke penjara.
Oleh sebab itu, kata Halili, orang-orang yang pernah kenal dengan Nazaruddin sekarang selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Agung agar Nazaruddian tak menyebut namanya di persidangan atau di depan pers.
Mereka itu ada yang menteri, dirjen, pengusaha, anggota DPR, rektor, kepala daerah, dan sebagainya. Setiap ada berita Nazaruddin akan dipanggil ke Pengadilan Tipikor, para pejabat itu menjadi bertakwa, berdoa secara khusyuk.
Ada yang mengundang 1.000 orang untuk membaca Surat Yasin, ada yang tahlilan semalan suntuk, ada yang tiba-tiba suka membawa-bawa tasbih dan berkomat-kamit entah membaca apa. Ada juga yang menyulap ruang kerjanya sehingga ada musala untuk sang pejabat melakukan salat dan berdoa.
“Itulah latar belakang judul penelitian saya, Pak,” kata Halili.
“Tapi mereka melakukan itu bukan karena bertakwa, takwa itu bukan karena takut kepada Nazaruddin,” kata saya.
“Loh, namanya penelitian ya ada hipotesisnya, Pak,” bantahnya.
“Apa hipotesisnya?” desak saya.
“Para pejabat korup itu menjadi bertakwa, suka berzikir dan berdoa, memakai hijab dan baju koko bukan karena ikhlas bertakwa, melainkan terpaksa karena ketakutan dan ingin agar Nazaruddin tidak ingat kepada dirinya,” jawabnya.
Akhirnya saya menutup konsultasi itu dengan mengatakan, “Oke, masalah dan latar belakang penelitianmu benar, tetapi saya tak setuju dan tak bersedia membimbing.”
Halili kaget, “Mengapa, Pak? Bukankah secara metodologis sudah memenuhi syarat?” Dia mendesak saya. “Betul, sudah memenuhi syarat tapi itu tesis untuk bidang agama atau sosiologi agama. Kalau saya kan membimbing tesis bidang hukum tata negara.”
“Tapi rencana tesismu bagus juga untuk menyongsong bulan Ramadan yang akan hadir pekan depan. Perlu pencerahan bahwa takwa itu dasarnya ikhlas, bukan karena takut disebut namanya oleh Nazaruddin,” kata saya memungkasi perbincangan.
(poe)