Demokrasi Tanpa Partai Politik
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik FISIP UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute
Maraknya korupsi yang dilakukan politisi Senayan memaksa kita berpikir ulang soal pentingnya partai dalam sistem politik demokratis. Kasus korupsi KTP elektronik yang baru-baru ini menguap menyeret sejumlah nama beken tokoh partai politik.
KPK baru mencokok Senator Miryam S Haryani sebagai pesakitan kasus korupsi KTP elektronik. Praktik korupsi yang terjadi berulang di parlemen ini melegitimasi miskinnya komitmen partai politik dalam jihad melawan korupsi.
Berbeda dengan Orde Baru, parlemen kini menjelma sebagai institusi yang cukup digdaya (legislative heavy) yang melahirkan keputusan politik strategis. Nyaris tak ada keputusan penting tanpa melalui proses politik di gedung dewan. Termasuk perekrutan pejabat publik yang tak bisa dilepaskan dari intervensi dan pengaruh partai politik.
Oleh karena itu, jika diringkus secara sederhana, baik buruknya bangsa ini ditentukan sejauh mana partai politik mendesain kadernya dengan baik untuk ditempatkan dalam pos jabatan-jabatan politik strategis.
Sejauh ini, partai politik menghadapi problem akut yang sama, yakni tidak berfungsinya partai politik sebagai instrumen kepentingan publik. Sebaliknya, partai politik malah menjelma sebagai alat kepentingan kekuasaan belaka.
Jauh sebelum korupsi KTP elektronik, korupsi serupa telah membelit kader terbaik partai politik. Sebut saja misalnya Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Emir Moeis, Andi Mallarangeng, Lutfi Hasan Ishaq, Ratu Atut Chosiyah, Anas Urbaningrum, Patrice Rio Capella, Dewie Yasin Limpo, dan lain sebagainya yang berurusan dengan komisi antirasuah.
Bak mata rantai yang sukar diputus, korupsi melibatkan setiap elemen partai politik lintas fraksi dan komisi. Tak peduli Islam, Nasionalis, maupun Nasionalis Religius, partai politik menjadikan korupsi layaknya ‘ritual’ yang bisa dilakukan kapan saja. Sistemnya pun terbangun kondusif untuk melakukan korupsi.
Belakangan, banyak pertanyaan kritis mengalir deras soal pentingnya partai politik sebagai elemen penting dalam demokrasi. Pertanyaan lain, mampukah demokrasi bersemai indah nir partai politik? Jawabannya mudah. Demokrasi bisa dibangun tanpa partai politik.
Selama ini, kita hidup pasrah dalam kungkungan kuasa ‘rezim’ partai politik. Tanpa partai politik, demokrasi seakan tak bermakna. Sebab itu, tak berlebihan jika dalam studi ilmu politik terdapat satu doktrin bahwa partai politik merupakan pilar penting terwujudnya demokrasi.
Dalam kondisi normal, doktrin politik di atas menemukan relevansinya di berbagai negara selama berabadabad, termasuk di Indonesia. Melalui partai politik, calon-calon terbaik pemimpin masa depan dapat dilahirkan.
Namun, dalam konteks tertentu, doktrin partai politik sebagai kampiun demokrasi perlu dikoreksi ulang. Bukan semata sifatnya yang oligarkis, melainkan lebih pada perilaku koruptif kadernya. Apa guna partai politik jika hanya melahirkan kader korup yang merusak tatanan demokrasi kita.
Pada tahap inilah, penting mewacanakan kembali bagaimana membangun sistem demokrasi tanpa partai politik. Sudah saatnya kita mulai meninggalkan partai politik dalam kehidupan politik.
Dua Skenario
Dalam sistem politik demokratis apa pun bisa terjadi. Termasuk membangun demokrasi tanpa partai politik sangat mungkin bisa dipraktikkan di masa mendatang. Setidaknya ada dua skenario yang bisa dilakukan.
Pertama, demokrasi bisa dibangun melalui tiga unsur penting, yakni negara (pemerintah), civil society , dan rakyat. Tiga komponen ini bisa menjadi pilar utama bagi pembangunan demokrasi. Jika rakyat tak lagi bisa menitipkan masa depannya kepada partai politik, civil society bisa menjadi saluran alternatif untuk mengomunikasikan kepentingan rakyat dengan pemerintah .
Organisasi formal maupun nonformal berbasis sosial seperti relawan kemanusiaan, ormas, lembaga swadaya masyarakat, media massa, mahasiswa, dan lembaga lain sejenis bisa menjadi penyambung lidah kepentingan rakyat.
Pascareformasi, kehadiran civil society nyatanya lebih terasa ketimbang partai politik dalam menyalurkan aspirasi rakyat. Elemen civil society juga hadir dalam setiap keluh kesah kehidupan rakyat. Bandingkan dengan partai politik yang hadir jelang pemilu saja.
Di luar itu, kita juga memiliki prototipe senator seperti Dewan Perwakilan (DPD) yang bisa mengaksentuasikan kepentingan rakyat secara langsung. Selama ini, partai politik memonopoli agregasi kepentingan yang tak efektif. Ke depan, regulasi kita juga harus diubah untuk mengakomodasi calon pemimpin publik yang bukan dari partai politik.
Meminjam frasa Larry Diamond dan Richard Gunther dalam Political Parties and Democracy (2001), partai politik gagal sebagai agregator kepentingan publik. Dalam sistem demokratis, sejatinya, partai politik menjelma menjadi representasi kepentingan rakyat, bukan malah sibuk menumpuk kekuasaan seraya abai terhadap persoalan kerakyatan.
Kedua, pilihan yang cukup ekstrem, yakni demokrasi cukup dibangun oleh rakyat dan pemerintah. Di tengah kemajuan teknologi informasi, rakyat tak perlu lagi secara birokratis menyampaikan keluh kesah kepada pemerintah melalui partai politik maupun civil society.
Kecanggihan teknologi informasi nyatanya memberikan kemewahan dalam kehidupan politik kita. Rakyat bisa curhat langsung kepada penguasa melalui akun Facebook, Twitter, Instagram, maupun layanan media sosial lain yang tersedia 24 jam.
Fenomena rakyat berkomunikasi langsung dengan penguasa juga terpotret dari kemenangan Joko Widodo (Jokowi) saat pilpres 2014 lalu. Awalnya, Jokowi bukan siapa-siapa, hanya Wali Kota Solo biasa dengan prestasi seadanya. Ia bukan ketua umum partai, bukan pula ningrat. Namun, rakyat telanjur menambatkan pilihan hatinya kepada sosok Jokowi.
Pilihan rakyat secara langsung memaksa politisi gaek bertekuk lutut di bawah pesona Jokowi. Bahkan, mengeliminasi banyak ketua umum partai politik yang berulang kali ngebet ingin jadi presiden.
Artinya, rakyat sudah menjadi aktor utama dalam menentukan keputusan politik nasional. Rakyat tak perlu lagi berada di bawah subordinasi kepentingan partai politik tertentu. Termasuk soal kritik kebijakan bisa disampaikan langsung kepada pemerintah melalui media sosial yang tersedia.
Pada titik ini, partai politik akhirnya hanya menjadi ornamen demokrasi karena sebatas menunaikan kewajiban undang-undang. Sementara eksistensinya mulai diabaikan. Kecuali, kita bisa mengubah regulasi serta menghapus klausul keharusan calon pemimpin dari partai politik. Maka, pada saat itulah partai politik akan punah dengan sendirinya.
Oleh karena itu, selama partai politik belum kembali pada jalur tradisional sebagai alat kepentingan publik, selama itu pula rakyat akan meninggalkan partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika perekrutan kader partai politik tidak didasarkan pada integritas, selama itu pula rakyat akan menghukum partai politik. Jika tidak berbenah, sudah saatnya rakyat membangun demokrasi tanpa kehadiran partai politik.
(pur)