Kebebasan Berpendapat dan Ujaran Kebencian

Kamis, 18 Mei 2017 - 07:41 WIB
Kebebasan Berpendapat...
Kebebasan Berpendapat dan Ujaran Kebencian
A A A
Prof Dr Frans H Winarta, SH, MH
Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional (KHN)

Penodaan agama dan ujaran kebencian (haatzaai artiekelen) merupakan persoalan yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia. Merupakan sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia untuk memahami bahwa sebaiknya tidak seorang pun bermain-main, apalagi menyinggung agama dalam berpolitik.

Hal ini hanya akan menimbulkan situasi yang tidak nyaman, ketersinggungan, serta kerukunan masyarakat pluralis yang tercederai karena kesalahpahaman yang ditimbulkan isu sensitif ini.

Belum lagi ketentuan mengenai penodaan agama terdapat di dalam KUHP sehingga tentunya tindak pidana penodaan agama akan langsung diproses karena dianggap sebagai hukum positif yang harus ditegakkan. Ini merupakan das sollen dan das sein, antara keharusan dan kenyataan.

Konstitusi Indonesia menjamin tiap-tiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat dalam koridor demokrasi. Dan, toleransi dalam perbedaan pendapat sendiri merupakan esensi dari demokrasi. Namun, kesemuanya itu tentunya tidak boleh melanggar hukum dan etika yang berlaku.

Seorang pejabat tinggi (dignitaries) sebagai pelayan masyarakat diharapkan untuk mengayomi seluruh golongan masyarakat sehingga ucapan atau pendapat yang tertutur harus santun, beretika, teduh, dan tidak menyinggung isu-isu sensitif serta menimbulkan kontroversi. Yang bersangkutan harus berhati-hati dalam membuat pernyataan di depan umum karena dapat dikategorikan sebagai menyebarkan kebencian (haatzaai artiekelen).

Kebebasan berpendapat (free speech) dan ujaran kebencian (haatzaai artiekelen) sendiri memiliki perbedaan yang sangat tipis di mana harus ada kepekaan diri terhadap apa yang ditimbulkan dalam masyarakat jika menyinggung isuisu sensitif.

Keberagaman yang ada di dalam masyarakat, seperti perbedaan warna kulit, perbedaan ras, perbedaan agama, perbedaan suku, dan budaya sebaiknya tidak dipertajam karena hal tersebut dapat membahayakan NKRI. Secara alami kita sudah berbeda, kenapa kita harus mempertajam perbedaan itu?

***
Keberagaman yang ada di Indonesia terekat erat dengan persatuan dan kesatuan sesuai dengan bunyi dari sila ketiga Pancasila sehingga keberagaman tersebut harus dipupuk dengan tidak mencampuradukkan agama dengan politik di dalam pemerintahan, karena hal tersebut rentan terhadap perpecahan. Hak-hak dalam beragama telah dilindungi oleh Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia dan wajib dihormati.

Beatty & Walter (1984) dalam bukunya Religious Preference And Practice: Reevaluating Their Impact On Political Tolerance menyebutkan bahwa dampak dari afiliasi agama terhadap sikap politik seperti toleransi sangat bergantung pada tingkat komitmen atau intensitas kepercayaan dan praktik mereka masing-masing.

Ikatan batin seseorang dengan Tuhan sangatlah personal sehingga tidak seharusnya dibahas secara terbuka oleh seorang figur publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, menguraikan persoalan politik dan persoalan agama yang telah tercampur aduk sangatlah sulit dan akan menimbulkan persoalan baru yang tidak terelakan. Solusinya adalah pemisahan antara negara dan agama (scheiding van kerk en staat). Hal ini karena NKRI adalah negara hukum yang demokratis dan bukanlah negara agama. Sistem hukum kita harus dikoreksi yang sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut.

***
Keriuhan dugaan perkara penodaan agama yang terjadi sejak bulan September 2016 lalu telah sampai pada vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas perkara yang menjeratnya tersebut. Seharusnya hal ini menjadi pelajaran bagaimana isu sensitif tidak perlu dibicarakan secara terbuka.

Selain itu, dalam putusannya majelis hakim juga meminta yang bersangkutan untuk segera ditahan. Pertimbangan hukum putusan majelis hakim menyatakan bahwa Pasal 197 ayat 1 huruf (k) KUHAP menyebutkan ‘surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan’.

Jika ma­jelis hakim tidak mengeluarkan perintah penahanan terse­but, putusan hakim terhadap ter­dakwa bisa dinyatakan batal demi hukum. Permintaan penahanan kepada terdakwa merupakan kewenangan hakim sesuai dengan aturan KUHAP sehingga haruslah dihormati semua pihak.

NKRI sebagai negara hukum mengisyaratkan suatu solusi melalui pengadilan demi kepastian hukum dan bukan melalui tekanan massa di jalanan. Kelompok-kelompok masyarakat dari mana pun datangnya sebaiknya menahan diri dari demonstrasi karena selain mengganggu keamanan nasional juga membebani pengeluaran negara serta dikhawatirkan dapat mengintervensi kekuasaan kehakiman.

Harus ada imbauan kepada semua pihak untuk menurunkan tensi sehingga dapat menghindari bentrokan serta mengedepankan persatuan nasional terlebih dari kepentingan kelompok atau golongan. Dalam hal ini, hukum yang mengambil alih perbedaan pendapat karena hukum adalah sarana untuk menemukan kebenaran bukan sarana untuk melindungi kepentingan tertentu.

Proses hukum sedang berjalan sehingga hasil putusan apa pun dari majelis hakim harus dihormati karena ada adagium bahwa apa yang diputus hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate habetur).

Perkara penodaan agama yang terjadi di Jakarta menjadi sorotan, baik secara nasional maupun internasional. Jangan sampai perkara penodaan agama menimbulkan gesekan horizontal lain di dalam masyarakat yang melebar dan berujung kepada ketidakpercayaan masyarakat kepada Pemerintah RI.

Di lain sisi, Pemerintah RI harus mengimplementasikan nawacita dengan menegakkan hukum dan falsafah Pancasila secara konsekuen dan konsisten dan bukan berwacana lagi. Biarkanlah proses hukum berjalan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, di mana saat ini terdakwa juga diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum banding sesuai dengan yang diatur di dalam undang-undang.

Bulan Mei 2017 ini merupakan peringatan 19 tahun reformasi yang diperjuangkan untuk melepaskan diri dari pemerintahan otoriter Orde Baru. Meski­pun tergopoh-gopoh, Republik Indonesia semakin dewasa dalam mewujudkan cita-cita negara hukum (rechsstaat) yang demokratis sesuai dengan amanat UUD 1945.

Sebagai rakyat yang menjunjung ideologi Pancasila, marilah kita dukung keberagaman tersebut dengan semakin mempererat persatuan dan kesatuan NKRI sehingga perpecahan dapat dihindari. Yang terpenting, percayakan seluruh proses hukum kepada para pe­negak hukum di negara ini. Biarkan hukum yang bekerja.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0759 seconds (0.1#10.140)