Problematika Eksekusi Putusan TUN
A
A
A
Prof Amzulian Rifai, PhD
Ketua Ombudsman RI
LAPORAN dugaan malaadministrasi ke Ombudsman terus meningkat. Jika pada 2015 terdapat 6.859 laporan, pada 2016 menjadi 9.030. Untuk tahun 2017 diperkirakan berjumlah lebih dari 15.000 laporan. Di antara laporan itu terkait dengan tidak dieksekusinya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Keseriusan Indonesia memastikan adanya perlindungan hak-hak warga negara di antaranya dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kebijakan ini untuk menjamin warga negara terlindungi dari putusan sewenang-wenang dari mereka yang sedang memegang kekuasaan.
PTUN adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara.
Dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5/1986 dinyatakan bahwa sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian.
Indonesia adalah negara hukum yang di antaranya dicirikan oleh kehadiran pengadilan TUN. Melalui pengadilan ini setiap warga negara dapat melakukan perlawanan terhadap putusan penguasa yang mungkin dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan wewenang.
Bahkan di era sekarang ini juga perlawanan terhadap putusan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance). Cukup luas cakupan kebijakan yang masuk kategori ini.
Namun, dalam realitanya kerap kali putusan pengadilan TUN justru terkendala dalam eksekusinya. Di antara putusan TUN menjadi "macan ompong" karena tidak dijalankan oleh pihak yang kalah.
Akibatnya, wibawa putusan TUN sering rendah. Bahkan tidak jarang memunculkan persoalan baru setelah putusan. Laporan masyarakat kepada Ombudsman, di antaranya oleh advokat, juga cenderung meningkat terkait putusan TUN yang tidak dieksekusi.
Upaya pelapor sudah mentok, sudah melapor ke mana-mana namun putusan TUN yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) tetap tidak dijalankan. Publik tidak memahami problematika eksekusi itu, faktanya putusan TUN itu tidak dijalankan.
Problematika Putusan TUN
Persoalan utama pada putusan TUN adalah pada tataran eksekusinya. Di seluruh Indonesia banyak putusan TUN, bahkan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sekalipun, yang tidak dapat dieksekusi atau secara terang-terangan tidak dilaksanakan oleh pihak yang kalah.
Ada beberapa penyebab mengapa putusan TUN sering tidak dapat dieksekusi. Pertama, karena putusan tersebut semata-mata didasarkan dan hanya mempertimbangkan aspek formal, padahal ada fakta yang sudah berubah.
Dalam kasus-kasus pemberhentian kepala daerah yang tanpa melalui proses di DPRD, misalnya, sering sudah ada pejabat pengganti.
Memang apabila pelaksana tugas kepala daerahnya adalah pejabat struktural kementerian, mungkin tidak masalah. Problemnya, apabila pelaksana tiga kepala daerah adalah wakilnya, maka potensi masalah lebih besar. Sering kali hubungan kepala daerah dan wakilnya semakin meruncing mendekati pilkada kedua.
Memang pemberhentian itu dapat tanpa melalui mekanisme DPRD jika seorang kepala daerah didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI (Pasal 83 [1] UU Pemda).
Ada kepala daerah langsung diberhentikan tanpa melalui mekanisme DPRD, padahal tidak terlibat di antara tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 83 (1) tersebut.
Pengadilan TUN pasti memenangkan kepala daerah yang diberhentikan tanpa melalui proses DPRD karena tidak masuk kategori pidana tersebut. Namun, muncul persoalan karena lazimnya sudah ada kepala daerah dengan status pelaksana tugas atau malah pengganti yang sudah definitif yang sering dilingkari parpol pendukungnya.
Sekalipun putusan TUN memenangkan penggugat, dapat dipastikan sulit mengembalikannya dalam jabatan semula.
Implikasinya
Setidaknya ada dua implikasi penting akibat sulitnya mengeksekusi putusan TUN tersebut. Pertama, wibawa dan kepercayaan publik terhadap peradilan TUN rendah. Kondisi ini memperburuk citra peradilan secara umum. Padahal, sudah sejak lama institusi-institusi negara, termasuk pengadilan, belum memperoleh kepercayaan publik sebagaimana yang diharapkan.
Implikasi kedua, sangat mungkin akibat putusan TUN yang bermasalah dalam eksekusinya justru memunculkan maslah baru. Sudah pasti ada pihak yang dirugikan dalam kondisi tersebut.
Pihak yang menang bahkan sampai pada tingkatan upaya hukum terakhir, gagal mendapatkan haknya sekalipun telah dimenangkan dalam beperkara di pengadilan melalui proses panjang dan mahal.
Masalah baru justru memunculkan ketidakpastian hukum baik bagi pihak yang menang ataupun pihak yang kalah. Jika itu menyangkut suatu jabatan, pihak yang kalah mungkin sudah menduduki jabatannya dan biasanya bersikeras tidak ingin melepaskan jabatan tersebut.
Sebaliknya, pihak yang dimenangkan dalam putusan TUN seharusnya memperoleh kembali jabatan yang "memang haknya." Namun, akibat problem dalam implementasi putusan, kemenangannya hanya di atas kertas. Kondisi ini yang terkadang menimbulkan keributan di lapangan.
Perubahan ke Depan
Bagi mereka yang kecewa, putusan TUN seringkali seperti macan ompong karena lemah penegakannya (enforcement). Mestinya ada terobosan agar kondisi ini berubah di masa yang akan datang dan menghadirkan kewibawaan institusi hukum.
Ada beberapa alternatif langkah yang mungkin dapat dipertimbangkan. Langkah pertama, sebelum mengambil keputusan, hakim harus progresif dengan memperhatikan realitas di lapangan, jangan terlalu legalistik.
Selama ini seakan hakim hanya mempertimbangkan aspek formal, sama sekali tidak memperhatikan realitas dan berbagai perubahan yang sudah terjadi dalam suatu kasus.
Dalam hal seorang kepala daerah diberhentikan, misalnya, pemberhentian ini pastilah menyalahi prosedur apabila dilakukan tanpa melalui proses/mekanisme yang ada di DPRD. Artinya, pemberhentian itu harus atas usulan dari DPRD, kecuali karena terlibat kejahatan korupsi, misalnya.
Bagaimana jika seorang kepala daerah terlibat kejahatan di luar Pasal 83 (1) seperti narkoba dan langsung diberhentikan? Jika hanya berpegang kepada aturan formal, maka tindakan Mendagri salah dan kalah jika di-PTUN-kan. Padahal, narkoba adalah kejahatan luar biasa dan harus dihadapi dengan tindakan luar biasa pula.
Hakim progresif tidak juga asal mengabulkan hanya karena terpenuhinya aspek formal. Misalnya terhadap objek suatu jabatan yang disengketakan yang senyatanya tinggal beberapa hari saja. Artinya, sekalipun dimenangkan, tetapi di saat putusan diterbitkan masa jabatan yang disengketakan itu sudah habis.
Alternatifnya, ada perintah kompensasi terhadap pihak yang menang karena batal menduduki jabatan. Jika pun memenangkan perkara, maka problemnya masa jabatan yang diperebutkan itu sudah lewat waktu.
Pasal 117 Undang-Undang Nomor 5/1986 tentang PTUN telah mengantisipasi kemungkinan ini. Bahwa jika tergugat tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada ketua pengadilan dan penggugat.
Dalam Pasal 117 juga ditentukan bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang telah mengirimkan putusan agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya.
Artinya, pihak yang menang yang telah kehilangan jabatannya sepatutnya mendapatkan kompensasi agar putusan PTUN itu ada wibawanya. Langkah lain dengan cara mengumumkan di media massa siapa pejabat yang melecehkan putusan PTUN.
Mungkin langkah ini efektif jika dapat mempermalukan pejabat tersebut dan sebagai sarana kontrol publik. Apalagi jika publikasi itu menjadi rujukan penilaian oleh atasan pejabat terkait.
Pasal 116 UU Nomor 51 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara di antaranya menegaskan dua poin penting.
Pertama, bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya kewajiban.
Kedua, di samping diumumkan di media massa cetak, ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Seharusnya, pengadilan adalah lembaga tertinggi bidang hukum yang harus dipatuhi. Padahal beberapa lembaga negara yang lain "juga mengeluh" karena saran/rekomendasi mereka terkadang tidak dipatuhi oleh menteri/pimpinan lembaga negara.
Kondisi ini juga merefleksikan rendahnya kepatuhan para birokrat kita terhadap hukum. Jangankan sekadar saran/rekomendasi oleh lembaga, bahkan putusan pengadilan saja masih ada yang tidak dipatuhi oleh birokrat kita.
Ketua Ombudsman RI
LAPORAN dugaan malaadministrasi ke Ombudsman terus meningkat. Jika pada 2015 terdapat 6.859 laporan, pada 2016 menjadi 9.030. Untuk tahun 2017 diperkirakan berjumlah lebih dari 15.000 laporan. Di antara laporan itu terkait dengan tidak dieksekusinya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Keseriusan Indonesia memastikan adanya perlindungan hak-hak warga negara di antaranya dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kebijakan ini untuk menjamin warga negara terlindungi dari putusan sewenang-wenang dari mereka yang sedang memegang kekuasaan.
PTUN adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara.
Dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 5/1986 dinyatakan bahwa sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian.
Indonesia adalah negara hukum yang di antaranya dicirikan oleh kehadiran pengadilan TUN. Melalui pengadilan ini setiap warga negara dapat melakukan perlawanan terhadap putusan penguasa yang mungkin dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan wewenang.
Bahkan di era sekarang ini juga perlawanan terhadap putusan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance). Cukup luas cakupan kebijakan yang masuk kategori ini.
Namun, dalam realitanya kerap kali putusan pengadilan TUN justru terkendala dalam eksekusinya. Di antara putusan TUN menjadi "macan ompong" karena tidak dijalankan oleh pihak yang kalah.
Akibatnya, wibawa putusan TUN sering rendah. Bahkan tidak jarang memunculkan persoalan baru setelah putusan. Laporan masyarakat kepada Ombudsman, di antaranya oleh advokat, juga cenderung meningkat terkait putusan TUN yang tidak dieksekusi.
Upaya pelapor sudah mentok, sudah melapor ke mana-mana namun putusan TUN yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) tetap tidak dijalankan. Publik tidak memahami problematika eksekusi itu, faktanya putusan TUN itu tidak dijalankan.
Problematika Putusan TUN
Persoalan utama pada putusan TUN adalah pada tataran eksekusinya. Di seluruh Indonesia banyak putusan TUN, bahkan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sekalipun, yang tidak dapat dieksekusi atau secara terang-terangan tidak dilaksanakan oleh pihak yang kalah.
Ada beberapa penyebab mengapa putusan TUN sering tidak dapat dieksekusi. Pertama, karena putusan tersebut semata-mata didasarkan dan hanya mempertimbangkan aspek formal, padahal ada fakta yang sudah berubah.
Dalam kasus-kasus pemberhentian kepala daerah yang tanpa melalui proses di DPRD, misalnya, sering sudah ada pejabat pengganti.
Memang apabila pelaksana tugas kepala daerahnya adalah pejabat struktural kementerian, mungkin tidak masalah. Problemnya, apabila pelaksana tiga kepala daerah adalah wakilnya, maka potensi masalah lebih besar. Sering kali hubungan kepala daerah dan wakilnya semakin meruncing mendekati pilkada kedua.
Memang pemberhentian itu dapat tanpa melalui mekanisme DPRD jika seorang kepala daerah didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI (Pasal 83 [1] UU Pemda).
Ada kepala daerah langsung diberhentikan tanpa melalui mekanisme DPRD, padahal tidak terlibat di antara tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 83 (1) tersebut.
Pengadilan TUN pasti memenangkan kepala daerah yang diberhentikan tanpa melalui proses DPRD karena tidak masuk kategori pidana tersebut. Namun, muncul persoalan karena lazimnya sudah ada kepala daerah dengan status pelaksana tugas atau malah pengganti yang sudah definitif yang sering dilingkari parpol pendukungnya.
Sekalipun putusan TUN memenangkan penggugat, dapat dipastikan sulit mengembalikannya dalam jabatan semula.
Implikasinya
Setidaknya ada dua implikasi penting akibat sulitnya mengeksekusi putusan TUN tersebut. Pertama, wibawa dan kepercayaan publik terhadap peradilan TUN rendah. Kondisi ini memperburuk citra peradilan secara umum. Padahal, sudah sejak lama institusi-institusi negara, termasuk pengadilan, belum memperoleh kepercayaan publik sebagaimana yang diharapkan.
Implikasi kedua, sangat mungkin akibat putusan TUN yang bermasalah dalam eksekusinya justru memunculkan maslah baru. Sudah pasti ada pihak yang dirugikan dalam kondisi tersebut.
Pihak yang menang bahkan sampai pada tingkatan upaya hukum terakhir, gagal mendapatkan haknya sekalipun telah dimenangkan dalam beperkara di pengadilan melalui proses panjang dan mahal.
Masalah baru justru memunculkan ketidakpastian hukum baik bagi pihak yang menang ataupun pihak yang kalah. Jika itu menyangkut suatu jabatan, pihak yang kalah mungkin sudah menduduki jabatannya dan biasanya bersikeras tidak ingin melepaskan jabatan tersebut.
Sebaliknya, pihak yang dimenangkan dalam putusan TUN seharusnya memperoleh kembali jabatan yang "memang haknya." Namun, akibat problem dalam implementasi putusan, kemenangannya hanya di atas kertas. Kondisi ini yang terkadang menimbulkan keributan di lapangan.
Perubahan ke Depan
Bagi mereka yang kecewa, putusan TUN seringkali seperti macan ompong karena lemah penegakannya (enforcement). Mestinya ada terobosan agar kondisi ini berubah di masa yang akan datang dan menghadirkan kewibawaan institusi hukum.
Ada beberapa alternatif langkah yang mungkin dapat dipertimbangkan. Langkah pertama, sebelum mengambil keputusan, hakim harus progresif dengan memperhatikan realitas di lapangan, jangan terlalu legalistik.
Selama ini seakan hakim hanya mempertimbangkan aspek formal, sama sekali tidak memperhatikan realitas dan berbagai perubahan yang sudah terjadi dalam suatu kasus.
Dalam hal seorang kepala daerah diberhentikan, misalnya, pemberhentian ini pastilah menyalahi prosedur apabila dilakukan tanpa melalui proses/mekanisme yang ada di DPRD. Artinya, pemberhentian itu harus atas usulan dari DPRD, kecuali karena terlibat kejahatan korupsi, misalnya.
Bagaimana jika seorang kepala daerah terlibat kejahatan di luar Pasal 83 (1) seperti narkoba dan langsung diberhentikan? Jika hanya berpegang kepada aturan formal, maka tindakan Mendagri salah dan kalah jika di-PTUN-kan. Padahal, narkoba adalah kejahatan luar biasa dan harus dihadapi dengan tindakan luar biasa pula.
Hakim progresif tidak juga asal mengabulkan hanya karena terpenuhinya aspek formal. Misalnya terhadap objek suatu jabatan yang disengketakan yang senyatanya tinggal beberapa hari saja. Artinya, sekalipun dimenangkan, tetapi di saat putusan diterbitkan masa jabatan yang disengketakan itu sudah habis.
Alternatifnya, ada perintah kompensasi terhadap pihak yang menang karena batal menduduki jabatan. Jika pun memenangkan perkara, maka problemnya masa jabatan yang diperebutkan itu sudah lewat waktu.
Pasal 117 Undang-Undang Nomor 5/1986 tentang PTUN telah mengantisipasi kemungkinan ini. Bahwa jika tergugat tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada ketua pengadilan dan penggugat.
Dalam Pasal 117 juga ditentukan bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang telah mengirimkan putusan agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya.
Artinya, pihak yang menang yang telah kehilangan jabatannya sepatutnya mendapatkan kompensasi agar putusan PTUN itu ada wibawanya. Langkah lain dengan cara mengumumkan di media massa siapa pejabat yang melecehkan putusan PTUN.
Mungkin langkah ini efektif jika dapat mempermalukan pejabat tersebut dan sebagai sarana kontrol publik. Apalagi jika publikasi itu menjadi rujukan penilaian oleh atasan pejabat terkait.
Pasal 116 UU Nomor 51 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara di antaranya menegaskan dua poin penting.
Pertama, bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya kewajiban.
Kedua, di samping diumumkan di media massa cetak, ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Seharusnya, pengadilan adalah lembaga tertinggi bidang hukum yang harus dipatuhi. Padahal beberapa lembaga negara yang lain "juga mengeluh" karena saran/rekomendasi mereka terkadang tidak dipatuhi oleh menteri/pimpinan lembaga negara.
Kondisi ini juga merefleksikan rendahnya kepatuhan para birokrat kita terhadap hukum. Jangankan sekadar saran/rekomendasi oleh lembaga, bahkan putusan pengadilan saja masih ada yang tidak dipatuhi oleh birokrat kita.
(dam)