Mengejar Target Pembangunan

Selasa, 02 Mei 2017 - 07:54 WIB
Mengejar Target Pembangunan
Mengejar Target Pembangunan
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

KETERLIBATAN Indonesia dalam sistem integrasi perekonomian global pada akhirnya membuat negara kita terjebak pada pola dependensi multilateral. Kinerja perekonomian global sering kali menyeret perekonomian kita terjebak dalam arus yang selaras.

Pintu penyebabnya berasal dari adanya transaksi modal serta perdagangan barang dan jasa dengan para pelaku ekonomi dunia. Akibatnya ketika perekonomian global sedang lesu, suka tidak suka kinerja perekonomian nasional ikut terdampak.

Tentu ini bukanlah sesuatu yang ideal. Di satu sisi kita sangat mengidam-idamkan adanya kemandirian ekonomi. Namun di sisi yang lain kita perlu mawas diri, sumber daya ekonomi yang kita miliki belum cukup mumpuni sehingga masih sangat sulit bagi kita untuk mentas dari pusaran perekonomian dunia.

Asa yang diharapkan dari kerja sama ini sebetulnya cukup baik. Pemerintah berharap agar terjadi transfer modal dan teknologi, tersedia bahan baku yang mumpuni, serta tercipta sistem pasar yang lebih efisien.

Perkembangan terbaru dalam sepekan terakhir, Gubernur Bank Indonesia (BI) menyampaikan wejangan hasil Pertemuan Musim Semi International Monetary Fund (IMF) dan Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G-20 yang berlangsung di Washington DC, Amerika Serikat (AS), pada 20–22 April 2017.

Inti pertemuan tersebut menyampaikan beberapa hal strategis yang di antaranya membahas momentum positif pemulihan perekonomian dunia, iklim ketidakpastian yang masih akan berlanjut, risiko eksternal akibat keuangan global yang ketat, dan berkembangnya tren proteksionisme perdagangan di beberapa negara strategis.

Tahun ini terjadi koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dari semula diproyeksikan 3,4% menjadi 3,5%. Perubahan asumsi ini tentu menjadi sebuah anomali positif setelah bertahun-tahun sebelumnya bertahan dalam prospek yang lemah.

Prospek perbaikan ekonomi dunia semestinya juga dikonversi sebagai sinyal positif bagi kita karena mendongkrak harga komoditas-komoditas strategis. Selain itu industri domestik akan lebih bergairah karena kekhawatiran adanya excess supply bisa berangsur-angsur sirna.

Gubernur BI berharap kita dapat memanfaatkan momentum ini dengan sebaik-baiknya. Cara yang dianjurkan ialah dengan mengoptimalkan kerja sama multilateral untuk memacu pertumbuhan ekonomi. IMF dan negara-negara G-20 lainnya merekomendasikan perlunya penerapan kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi struktural di negara maju dan emerging.

Cara inilah yang nantinya diharapkan mampu memacu investasi dan efisiensi seraya memperkuat resiliensi terhadap risiko eksternal lainnya. Namun kita perlu tetap berhati-hati karena sebenarnya masih banyak gejala yang dapat merusak prospek pembangunan.

Dari sisi eksternal, ada kemungkinan kegagalan konsolidasi di antara negara-negara maju jika tiap negara terus mempertahankan pola egosentris. Presiden AS Donald Trump disinyalir membuat kancah perekonomian dunia kembali bergolak melalui kebijakan proteksionisme perdagangan.

Belum lagi dengan rencana Bank Sentral AS (The Fed) yang tahun ini akan meningkatkan suku bunganya hingga tiga kali. Efek negatifnya, lubang spekulasi di sektor keuangan internasional juga akan kembali bergolak. Sederet kemungkinan tersebut bisa jadi akan berperan sebagai “pengancam”, jadi jangan sampai kita terbuai hingga kehilangan fokus kebijakan.

Gaya nyentrik Presiden Trump cukup didukung dengan posisi AS yang senantiasa di atas angin. Kebijakan proteksionisme justru dapat bersifat opposite dengan tujuan persatuan dunia karena selama ini sudah terbukti kerja sama bilateral telah mampu meredam potensi gesekan-gesekan antarnegara.

Penulis menganggap, kerja sama bilateral masih menjadi cara paling efektif untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Karena perekonomian yang dilandasi beragam kerja sama masih sangat membantu hingga saat ini dengan cara berkoalisi ekonomi dan politik untuk mewujudkan sistem pembangunan yang efisien.

Indonesia tentu berharap mendapat imbas positif atas kinerja perdagangan bilateral. Tugas para duta besar di setiap negara mitra ekonomi harus bersifat dinamis karena berperan sebagai jembatan ekonomi.

Di dalam lingkungan domestik, sinkronisasi kebijakan antara otoritas moneter dan fiskal juga perlu semakin dipermanis. BI sebagai otoritas kebijakan moneter dalam negeri akan berusaha memanfaatkan sebaik-baiknya peluang investasi dan membaiknya harga komoditas dengan menggenjot laju sektor kredit investasi dan konsumsi.

Pada tahap berikutnya BI juga harus waspada terhadap potensi inflasi sebagai dampak peningkatan daya beli masyarakat. Sementara Presiden dan perangkat-perangkat lainnya terfokus untuk menyelenggarakan kebijakan fiskal yang paling efektif, baik melalui perbaikan regulasi maupun peningkatan layanan dasar strategis yang berperan secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penulis merangkai lima rekomendasi agar kita mampu menjaga upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi ekonomi. Kelima rekomendasi dijelaskan secara singkat pada poin-poin sebagai berikut.

Pertama, stabilitas politik di Indonesia harus senantiasa terjaga. Saat ini isu-isu strategis yang merebak harus segera dikendalikan oleh stakeholders yang terlibat di dalamnya, mulai dari urusan politik, keamanan, hukum hingga ekonomi.

Stabilitas politik sangat sensitif terhadap kinerja investasi dan kerja sama bilateral. Karena para investor dan negara mitra pembangunan sangat mempertimbangkan keamanan dan tingkat keuntungan atas biaya investasi yang mereka keluarkan.

Kedua, pemerintah harus rutin memantau hambatan-hambatan struktural yang dapat mengganggu efisiensi investasi di Indonesia. Jika mengacu pada hasil elaborasi kajian World Economic Forum (WEF), World Bank, dan Bappenas (2017), pekerjaan rumah terbesar yang perlu segera diselesaikan meliputi unsur harmonisasi, sinkronisasi, dan konsistensi terhadap sistem kelembagaan pemerintah pusat dan daerah, peningkatan kualitas dan pemerataan infrastruktur, penurunan biaya transaksi akibat rumitnya perizinan investasi, kecukupan pasokan energi, terkonsentrasinya sebaran investasi di Pulau Jawa, keterbatasan kapasitas SDM, serta belum optimalnya pelaksanaan proses alih teknologi.

Ketiga, pemerintah masih terus berperang melawan keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja. Hingga saat ini belanja pembangunan masih sangat bergantung pada kemampuan anggaran pemerintah karena pihak swasta masih cukup enggan untuk ikut berperan. Alasan mendasarnya lebih disebabkan perhitungan cost and benefit yang cenderung sulit diterka.

Tahun ini kinerja pendapatan dari perpajakan sudah menampakkan sinyal-sinyal positif yang bisa jadi didorong kebijakan tax amnesty. Posisi sementara penerimaan pajak hingga kuartal pertama 2017 tumbuh sekitar 18% bila dibandingkan dengan durasi yang sama pada 2016 silam.

Jika tren terus berlanjut, harapan untuk meningkatkan kapasitas belanja pemerintah akan sangat terbuka. Belum lagi dengan inisiasi dari Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui PMK 50/2017 yang berjuang meningkatkan efektivitas belanja mulai dari tataran pemerintah pusat hingga daerah.

Strategi ini dipandang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kredibilitas belanja pemerintah. Selain itu penulis sekali lagi menyampaikan pentingnya penetapan dan konsistensi program prioritas melalui sistem perencanaan yang bersifat komprehensif dan terkomplementer. Karena kinerja pendapatan dan belanja pemerintah sudah terbukti saling terikat (berkausalitas).

Keempat, konektivitas antardaerah akan menjadi cerita pendukung yang dapat memengaruhi efisiensi ekonomi. Kunci pembangunannya terletak pada kualitas sistem informasi dan didukung sarana-prasarana infrastruktur yang memadai.

Pemerintah perlu memilah jenis dan letak infrastruktur mana saja yang paling prioritas dan mendesak. Gubernur BI ikut menilai, perbaikan konektivitas antardaerah bisa memperkuat jalur distribusi dan menurunkan biaya produksi.

Hal tersebut digadang-gadang akan memacu pertumbuhan ekonomi tanpa memberi tekanan berlebih terhadap tingkat inflasi. Berangkat dari hasil pengalaman di lapangan, biaya ekonomi kita menjadi sangat tinggi hingga menghambat laju mobilisasi dan melemahkan produktivitas dalam negeri juga. Oleh karena itu persoalan asimetris informasi dan kualitas infrastruktur yang terbatas harus segera diselesaikan secara cermat.

Dan kelima, daya dukung investasi melalui skema kredit permodalan juga perlu dioptimalkan. Karena ketersediaan modal kerja dan investasi sangat berperan terhadap tingkat produktivitas terutama di sektor riil.

Sektor perbankan perlu lebih berani membuka ruang akses pembiayaan dan kredit murah, khususnya bagi pelaku UMKM. Selain itu kinerja kredit konsumsi juga perlu didorong untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

Namun prinsip kehatian-hatian jangan sampai diabaikan karena sistem kredit (macet) bisa menimbulkan bubble economy. Selain dengan mengadakan jaminan pelayanan publik yang lebih memadai, pendekatan pengawasan pengembalian kredit (repayment) melalui program pembinaan, pendampingan, dan peningkatan modal sosial tampaknya lebih dibutuhkan ketimbang sekadar memperketat proses administrasi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5927 seconds (0.1#10.140)