Terima Kasih Guruku
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
DALAM berbagai pelatihan guru, saya sering kali mengajak peserta untuk mengingat dan mengenang sosok-sosok guru yang paling mengesankan dan berjasa meraih kesuksesan hidup kita hari ini. Lalu, saya minta mereka menyebut nama dan pada strata sekolah apa, serta kelas berapa.
Biasanya peserta terbagi tiga kategori. Ada yang jawabannya mengambang, tidak memiliki ingatan, dan kesan kuat terhadap guru-gurunya. Lalu ada yang bisa menyebut beberapa nama dan kenangan kuat yang masih terekam.
Ada lagi yang bisa menceritakan lebih detail, lebih banyak nama guru yang diingat dan mengapa sosok-sosok guru itu begitu terekam kuat dalam ingatan. Apakah kelebihan dan keunikan mereka sehingga pantas berterima kasih dan mendoakan mereka.
Setelah selesai berbagi cerita tentang guru, lalu saya lontarkan pertanyaan; andaikan murid-murid Anda disurvei dibagi pertanyaan, apa kesan mereka tentang Anda, apakah kira-kira jawaban mereka? Jangan-jangan tak berbekas di hati para siswa.
Jadi, sebaiknya pimpinan sekolah perlu membuat evaluasi tahunan untuk memotret respons murid terhadap guru dan sekolahnya. Ini penting dilakukan untuk peningkatan kualitas guru-guru, karena fase dan proses sekolah yang dijalani siswa dari tahun ke tahun ibarat menata batu bata bagi bangunan kepribadian seseorang yang akan berpengaruh kuat pada perjalanan hidupnya sampai tua. Jangan sampai bibit unggul siswa malah tidak berkembang karena gurunya yang salah asuh.
Saya merasa beruntung bertemu guru dan dosen yang mengukirkan kesan kuat dalam memoriku. Sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, saya masih ingat bahkan hatiku mencatat siapa guru dan dosen yang berjasa dan punya andil membentuk diriku.
Ketika SD, dulunya namanya SR atau sekolah rakyat, saya pernah malas bersekolah. Protes pada kondisi keluarga yang tidak nyaman. Ibuku meninggal ketika umurku masuk sembilan tahun. Entah selang berapa lama, ayahku kawin lagi, dan tidak lama ibu tiriku meninggal. Lalu, ayahku kawin lagi untuk yang ketiga kali.
Saya masih ingat waktu itu populer lagu ibu tiri yang isinya cukup menyayat dan menyudutkan posisi ibu tiri. Setelah besar, saya baru sadar bahwa lagu itu provokatif, tidak mendidik.
Tetapi yang pasti, dulu saya tidak betah di rumah karena kehilangan gravitasi seorang ibu kandung yang kata tetangga sangat memanjakan saya. Ketika saya enggan sekolah, Pak Suparmin, guruku kelas tiga SD, datang ke rumah membujuk agar saya bersekolah lagi. Dia orangnya lembut, wajahnya selalu senyum, dan sabar menghadapi anak didik.
Ada lagi guru-guruku lain di SD yang semuanya baik, melakukan pendekatan pribadi pada muridnya, yaitu Bu Ambar, Pak Suparman, Pak Jumali, Bu Romlah yang kesemuanya menumbuhkan benih imajinasi dan idealisasi betapa mulianya menjadi guru. Mereka membukakan jendela dunia masa depan bagi anak-anak kampung seperti saya, bahwa dunia itu luas.
Lanskap kehidupan tidak selebar kampungku. Mungkin karena pengaruh guru-guruku itu sejak kecil saya ingin jadi guru, dan sekarang sudah melebihi target, secara administratif sebagai guru besar.
Ketika pak guru atau bu guru datang ke sekolah, anak-anak berjejer berdiri menyambut sambil mengucapkan: Selamat pagi Pak Guru/Bu Guru. Sepedanya disambut oleh siswa, lalu disandarkan di tempat parkir sepeda, tasnya dibawakan ke ruang kelas.
Terjalin hubungan batin antara guru dan murid. Pak Guru dan Bu Guru menjadi orang tua kedua. Kenangan ini mungkin saja subjektif. Namun, itu semua tak pernah hilang dari memori saya.
Bahkan, sudut-sudut sekolah pun masih ingat dan bisa saya ceritakan kembali. Ketika masuk pesantren, hubungan batin terjalin tidak saja antara kiai, guru dan murid/santri, tetapi juga dengan sesama santri karena setiap hari tinggal bersama selama 24 jam.
Kata murid dan santri lebih tepat diterjemahkan learner atau pelajar karena keduanya berkonotasi sebagai subjek yang aktif, yang mencintai ilmu, yang berpusat di pesantren. Mereka merupakan komunitas pembelajar (learning community).
Secara etimologis, pesantren adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang berbudi luhur dan mencintai ilmu pengetahuan di bawah asuhan seorang guru, dan para murid itu disebut santri. Baik kata pesantren, santri, asrama, guru, kesemuanya itu berasal dari tradisi Hindu.
Ini juga menunjukkan bahwa di Indonesia dalam beberapa aspek terjadi kesinambungan antara tradisi Hindu dan tradisi Islam. Sebuah paham keislaman yang inklusif. yang merangkul, bukan memukul. Yang mendekatkan, bukan menjauhkan dan memisahkan.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
DALAM berbagai pelatihan guru, saya sering kali mengajak peserta untuk mengingat dan mengenang sosok-sosok guru yang paling mengesankan dan berjasa meraih kesuksesan hidup kita hari ini. Lalu, saya minta mereka menyebut nama dan pada strata sekolah apa, serta kelas berapa.
Biasanya peserta terbagi tiga kategori. Ada yang jawabannya mengambang, tidak memiliki ingatan, dan kesan kuat terhadap guru-gurunya. Lalu ada yang bisa menyebut beberapa nama dan kenangan kuat yang masih terekam.
Ada lagi yang bisa menceritakan lebih detail, lebih banyak nama guru yang diingat dan mengapa sosok-sosok guru itu begitu terekam kuat dalam ingatan. Apakah kelebihan dan keunikan mereka sehingga pantas berterima kasih dan mendoakan mereka.
Setelah selesai berbagi cerita tentang guru, lalu saya lontarkan pertanyaan; andaikan murid-murid Anda disurvei dibagi pertanyaan, apa kesan mereka tentang Anda, apakah kira-kira jawaban mereka? Jangan-jangan tak berbekas di hati para siswa.
Jadi, sebaiknya pimpinan sekolah perlu membuat evaluasi tahunan untuk memotret respons murid terhadap guru dan sekolahnya. Ini penting dilakukan untuk peningkatan kualitas guru-guru, karena fase dan proses sekolah yang dijalani siswa dari tahun ke tahun ibarat menata batu bata bagi bangunan kepribadian seseorang yang akan berpengaruh kuat pada perjalanan hidupnya sampai tua. Jangan sampai bibit unggul siswa malah tidak berkembang karena gurunya yang salah asuh.
Saya merasa beruntung bertemu guru dan dosen yang mengukirkan kesan kuat dalam memoriku. Sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi, saya masih ingat bahkan hatiku mencatat siapa guru dan dosen yang berjasa dan punya andil membentuk diriku.
Ketika SD, dulunya namanya SR atau sekolah rakyat, saya pernah malas bersekolah. Protes pada kondisi keluarga yang tidak nyaman. Ibuku meninggal ketika umurku masuk sembilan tahun. Entah selang berapa lama, ayahku kawin lagi, dan tidak lama ibu tiriku meninggal. Lalu, ayahku kawin lagi untuk yang ketiga kali.
Saya masih ingat waktu itu populer lagu ibu tiri yang isinya cukup menyayat dan menyudutkan posisi ibu tiri. Setelah besar, saya baru sadar bahwa lagu itu provokatif, tidak mendidik.
Tetapi yang pasti, dulu saya tidak betah di rumah karena kehilangan gravitasi seorang ibu kandung yang kata tetangga sangat memanjakan saya. Ketika saya enggan sekolah, Pak Suparmin, guruku kelas tiga SD, datang ke rumah membujuk agar saya bersekolah lagi. Dia orangnya lembut, wajahnya selalu senyum, dan sabar menghadapi anak didik.
Ada lagi guru-guruku lain di SD yang semuanya baik, melakukan pendekatan pribadi pada muridnya, yaitu Bu Ambar, Pak Suparman, Pak Jumali, Bu Romlah yang kesemuanya menumbuhkan benih imajinasi dan idealisasi betapa mulianya menjadi guru. Mereka membukakan jendela dunia masa depan bagi anak-anak kampung seperti saya, bahwa dunia itu luas.
Lanskap kehidupan tidak selebar kampungku. Mungkin karena pengaruh guru-guruku itu sejak kecil saya ingin jadi guru, dan sekarang sudah melebihi target, secara administratif sebagai guru besar.
Ketika pak guru atau bu guru datang ke sekolah, anak-anak berjejer berdiri menyambut sambil mengucapkan: Selamat pagi Pak Guru/Bu Guru. Sepedanya disambut oleh siswa, lalu disandarkan di tempat parkir sepeda, tasnya dibawakan ke ruang kelas.
Terjalin hubungan batin antara guru dan murid. Pak Guru dan Bu Guru menjadi orang tua kedua. Kenangan ini mungkin saja subjektif. Namun, itu semua tak pernah hilang dari memori saya.
Bahkan, sudut-sudut sekolah pun masih ingat dan bisa saya ceritakan kembali. Ketika masuk pesantren, hubungan batin terjalin tidak saja antara kiai, guru dan murid/santri, tetapi juga dengan sesama santri karena setiap hari tinggal bersama selama 24 jam.
Kata murid dan santri lebih tepat diterjemahkan learner atau pelajar karena keduanya berkonotasi sebagai subjek yang aktif, yang mencintai ilmu, yang berpusat di pesantren. Mereka merupakan komunitas pembelajar (learning community).
Secara etimologis, pesantren adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang berbudi luhur dan mencintai ilmu pengetahuan di bawah asuhan seorang guru, dan para murid itu disebut santri. Baik kata pesantren, santri, asrama, guru, kesemuanya itu berasal dari tradisi Hindu.
Ini juga menunjukkan bahwa di Indonesia dalam beberapa aspek terjadi kesinambungan antara tradisi Hindu dan tradisi Islam. Sebuah paham keislaman yang inklusif. yang merangkul, bukan memukul. Yang mendekatkan, bukan menjauhkan dan memisahkan.
(poe)