Satelit dan Bisnis Tekfin
A
A
A
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan (@Rhenald_Kasali)
SETELAH diluncurkan 14 Februari lalu dan memasuki orbit edarnya, akhirnya April 2017 satelit Telkom 3S resmi dioperasikan oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Ini akan menggantikan posisi satelit Telkom 2 yang umur pakainya sudah habis.
Lalu pada pertengahan 2018, Telkom juga akan meluncurkan satelit Telkom 4 yang akan menggantikan posisi satelit Telkom 1 yang juga habis masa pakainya. Telkom 3S memiliki 49 transponder.
Untuk Anda ketahui, transponder adalah singkatan dari transmitterresponder, yakni sebuah perangkat otomatis yang berfungsi sebagai penerima sinyal, lalu mengubah frekuensinya dan memperkuat, serta mengirimkan kembali sinyal tersebut dalam frekuensi tertentu. Untuk Telkom 3S punya jenis transponder C-Band dan Extended C-Band, serta Ku-Band dan Extended Ku-Band.
C-Band dan Extended C-Band adalah transponder dengan wilayah jangkauan Indonesia dan Asia Tenggara, sementara Ku-Band dan Extended Ku-Band adalah layanan broadband (pita lebar) khusus untuk wilayah Indonesia dan mampu menjangkau hingga daerah-daerah terpencil. Masih untuk Anda ketahui, kita saat ini masih membutuhkan sekitar 300 transponder.
Sementara pasokannya ada dari Telkom dengan 109 transponder dan BRIsat yang memiliki 45 transponder. Jadi, kita masih kekurangan 146 transponder. Bukan jumlah yang sedikit.
Meski permintaannya masih tinggi, tidak semua perusahaan mampu memasoknya. Pasalnya, satelit memang bisnis yang mahal. Harga BRIsat, misalnya, mencapai Rp2,5 triliun.
Menurut BRI, bila tanpa satelit milik sendiri, untuk melayani nasabah “wong cilik”, setiap tahunnya mesti dikeluarkan Rp500 sampai Rp600 miliar untuk sewa jaringan telekomunikasi. Dengan BRIsat, BRI tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar itu lagi. Jadi, investasi untuk BRIsat bakal cepat kembali.
Namun selain mahal, bisnis satelit itu rumit. Misalnya untuk mendapatkan slot satelit atau posisi orbitnya, mengurusnya bisa menghabiskan waktu sampai 7–8 tahun. Lamanya waktu karena kita mesti berunding dan berkoordinasi dengan banyak negara. Mekanisme soal ini diatur oleh International Telecommunication Union, sebuah badan khusus yang bernaung di bawah PBB.
Meski begitu, dengan kondisi geografis yang meliputi puluhan ribu pulau, dipisahkan oleh selat dan lautan, serta konturnya yang berbukit-bukit, juga gunung, jaringan telekomunikasi berbasis satelit memang lebih cocok bagi Indonesia. Bandingkan kalau kita memakai jaringan serat optik. Pasti membutuhkan waktu lebih lama untuk menggelar kabelnya dan menanamnya di bawah permukaan tanah atau di dasar laut.
Tiga Fenomena
Baiklah, saya tak ingin membahas terlalu teknis soal ini. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk membahas dampaknya, terutama dari perspektif industri keuangan dan perbankan. Di negeri ini selama beberapa tahun belakangan, kita menyaksikan betapa teknologi telah mengubah gaya hidup dan mendisrupsi kemapanan dari beragam bidang usaha. Di bisnis transportasi, hadirnya taksi dan ojek online telah mengubah peta bisnis transportasi darat.
Banyak perusahaan transportasi yang merasa bisnisnya sudah mapan, tiba-tiba dijungkirbalikkan oleh pebisnis-pebisnis baru yang seakan-akan bukan merupakan kompetitornya. Bagaimana bisa bisnis aplikasi online mengguncang bisnis taksi atau ojek konvensional, juga bisnis angkot? Kenyataannya itu terjadi!
Di industri hiburan, hadirnya aplikasi yang memungkinkan kita untuk mengunduh musik secara online dan gratis betul-betul memukul bisnis musik. Kita menyaksikan sendiri satu per satu toko-toko kaset dan CD menutup usahanya.
Begitu pula adanya berbagai situs dan aplikasi yang memungkinkan kita men-download film secara cuma-cuma, membuat bisnis penjualan DVD hanya tinggal kenangan. Lalu, hadirnya buku-buku dan media digital membuat sejumlah penerbitan cemas dan bahkan banyak yang sudah memutuskan menutup usaha atau beralih ke media digital.
Hal serupa sudah dan terus terjadi di industri keuangan. Kita bisa melihat beberapa potretnya. Pertama, yang paling mudah adalah melihat dari hadirnya perusahaan-perusahaan teknologi finansial atau tekfin.
Mungkin dua tahun silam tidak banyak perusahaan tekfin yang kita kenal. Namun memasuki tahun 2016, setidak-tidaknya sudah ada 157 perusahaan yang bergerak dalam bisnis ini dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Anda tahu, fenomena gunung es mungkin saja terjadi dalam bisnis ini. Artinya jumlah perusahaan yang belum terdaftar mungkin jauh lebih banyak dibandingkan yang terdaftar.
Kedua, kita bisa melihatnya kian meluasnya lingkup layanan bisnis tekfin. Kalau dulu mungkin tekfin hanya melayani sistem pembayaran secara online atau sebagai payment gateway, kini cakupan usahanya kian meluas. Ada pembiayaan gotong royong (crowd funding), pinjaman, bisnis agregator, pembayaran, pendanaan personal, dan lain-lain.
Ketiga, kita bisa melihat dari nilai transaksinya. Ini baik dari jasa pembayaran digital, pendanaan bisnis, atau personal loan. Angkanya juga terus naik.
Menurut data Statista, selama tahun 2015 nilainya masih USD12,05 miliar dan setahun kemudian naik hampir 25% menjadi USD15,02 miliar. Untuk tahun ini diperkirakan nilai bisnis tekfin tersebut bakal menjadi USD18,65 miliar atau tumbuh 24%.
Jadi, kalau merujuk pada data tersebut, hadirnya bisnis-bisnis startup ternyata mampu mengubah cara-cara masyarakat dalam melakukan pembayaran, mengirimkan uang, memperoleh pendanaan atau pinjaman, dan bahkan berinvestasi. Dan, itu semua terjadi dalam waktu yang relatif singkat, yakni selama dua-tiga tahun belakangan.
Ciri Disrupsi
Bagaimana itu bisa terjadi? Semuanya bermula dari adanya gap, kesenjangan. Ada gap masyarakat yang membutuhkan dana dengan kemampuan perbankan dalam memasok pinjaman. Ini bukan semata soal dananya, melainkan juga regulasinya. Misalnya regulasi soal agunan.
Lalu, hadirnya teknologi yang menawarkan kemudahan. Dengan adanya smartphone, layanan perbankan seakan berada dalam genggaman. Ini membuat masyarakat, kalau merujuk ungkapan pendiri Microsoft Bill Gates, tak lagi membutuhkan bank kendati sistem perbankan tetap dibutuhkan.
Dengan adanya teknologi, masyarakat dapat dengan mudah memperolehnya melalui peer-to- peer lending dan lebih murah. Ini aplikasinya yang mempertemukan pemilik dana dengan mereka yang membutuhkan pinjaman.
Alhasil, rantai transaksi jadi semakin pendek, biaya transaksi menjadi semakin murah, arus informasi dan arus dana pun mengalir semakin cepat, serta pilihan bertambah banyak.
Itu semua adalah ciri-ciri disrupsi. Kini dengan hadirnya layanan komunikasi yang berbasis satelit, akses komunikasi ke daerah-daerah terpencil kian terbuka. Saya yakin disrupsi akan semakin meluas. Maka itu, saya berharap perbankan kita betul-betul menata dan menyiapkan diri untuk menghadapi disrupsi yang bakal dimotori oleh perusahaan-perusahaan tekfin. Jangan salah antisipasi!
Pendiri Rumah Perubahan (@Rhenald_Kasali)
SETELAH diluncurkan 14 Februari lalu dan memasuki orbit edarnya, akhirnya April 2017 satelit Telkom 3S resmi dioperasikan oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom). Ini akan menggantikan posisi satelit Telkom 2 yang umur pakainya sudah habis.
Lalu pada pertengahan 2018, Telkom juga akan meluncurkan satelit Telkom 4 yang akan menggantikan posisi satelit Telkom 1 yang juga habis masa pakainya. Telkom 3S memiliki 49 transponder.
Untuk Anda ketahui, transponder adalah singkatan dari transmitterresponder, yakni sebuah perangkat otomatis yang berfungsi sebagai penerima sinyal, lalu mengubah frekuensinya dan memperkuat, serta mengirimkan kembali sinyal tersebut dalam frekuensi tertentu. Untuk Telkom 3S punya jenis transponder C-Band dan Extended C-Band, serta Ku-Band dan Extended Ku-Band.
C-Band dan Extended C-Band adalah transponder dengan wilayah jangkauan Indonesia dan Asia Tenggara, sementara Ku-Band dan Extended Ku-Band adalah layanan broadband (pita lebar) khusus untuk wilayah Indonesia dan mampu menjangkau hingga daerah-daerah terpencil. Masih untuk Anda ketahui, kita saat ini masih membutuhkan sekitar 300 transponder.
Sementara pasokannya ada dari Telkom dengan 109 transponder dan BRIsat yang memiliki 45 transponder. Jadi, kita masih kekurangan 146 transponder. Bukan jumlah yang sedikit.
Meski permintaannya masih tinggi, tidak semua perusahaan mampu memasoknya. Pasalnya, satelit memang bisnis yang mahal. Harga BRIsat, misalnya, mencapai Rp2,5 triliun.
Menurut BRI, bila tanpa satelit milik sendiri, untuk melayani nasabah “wong cilik”, setiap tahunnya mesti dikeluarkan Rp500 sampai Rp600 miliar untuk sewa jaringan telekomunikasi. Dengan BRIsat, BRI tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar itu lagi. Jadi, investasi untuk BRIsat bakal cepat kembali.
Namun selain mahal, bisnis satelit itu rumit. Misalnya untuk mendapatkan slot satelit atau posisi orbitnya, mengurusnya bisa menghabiskan waktu sampai 7–8 tahun. Lamanya waktu karena kita mesti berunding dan berkoordinasi dengan banyak negara. Mekanisme soal ini diatur oleh International Telecommunication Union, sebuah badan khusus yang bernaung di bawah PBB.
Meski begitu, dengan kondisi geografis yang meliputi puluhan ribu pulau, dipisahkan oleh selat dan lautan, serta konturnya yang berbukit-bukit, juga gunung, jaringan telekomunikasi berbasis satelit memang lebih cocok bagi Indonesia. Bandingkan kalau kita memakai jaringan serat optik. Pasti membutuhkan waktu lebih lama untuk menggelar kabelnya dan menanamnya di bawah permukaan tanah atau di dasar laut.
Tiga Fenomena
Baiklah, saya tak ingin membahas terlalu teknis soal ini. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk membahas dampaknya, terutama dari perspektif industri keuangan dan perbankan. Di negeri ini selama beberapa tahun belakangan, kita menyaksikan betapa teknologi telah mengubah gaya hidup dan mendisrupsi kemapanan dari beragam bidang usaha. Di bisnis transportasi, hadirnya taksi dan ojek online telah mengubah peta bisnis transportasi darat.
Banyak perusahaan transportasi yang merasa bisnisnya sudah mapan, tiba-tiba dijungkirbalikkan oleh pebisnis-pebisnis baru yang seakan-akan bukan merupakan kompetitornya. Bagaimana bisa bisnis aplikasi online mengguncang bisnis taksi atau ojek konvensional, juga bisnis angkot? Kenyataannya itu terjadi!
Di industri hiburan, hadirnya aplikasi yang memungkinkan kita untuk mengunduh musik secara online dan gratis betul-betul memukul bisnis musik. Kita menyaksikan sendiri satu per satu toko-toko kaset dan CD menutup usahanya.
Begitu pula adanya berbagai situs dan aplikasi yang memungkinkan kita men-download film secara cuma-cuma, membuat bisnis penjualan DVD hanya tinggal kenangan. Lalu, hadirnya buku-buku dan media digital membuat sejumlah penerbitan cemas dan bahkan banyak yang sudah memutuskan menutup usaha atau beralih ke media digital.
Hal serupa sudah dan terus terjadi di industri keuangan. Kita bisa melihat beberapa potretnya. Pertama, yang paling mudah adalah melihat dari hadirnya perusahaan-perusahaan teknologi finansial atau tekfin.
Mungkin dua tahun silam tidak banyak perusahaan tekfin yang kita kenal. Namun memasuki tahun 2016, setidak-tidaknya sudah ada 157 perusahaan yang bergerak dalam bisnis ini dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Anda tahu, fenomena gunung es mungkin saja terjadi dalam bisnis ini. Artinya jumlah perusahaan yang belum terdaftar mungkin jauh lebih banyak dibandingkan yang terdaftar.
Kedua, kita bisa melihatnya kian meluasnya lingkup layanan bisnis tekfin. Kalau dulu mungkin tekfin hanya melayani sistem pembayaran secara online atau sebagai payment gateway, kini cakupan usahanya kian meluas. Ada pembiayaan gotong royong (crowd funding), pinjaman, bisnis agregator, pembayaran, pendanaan personal, dan lain-lain.
Ketiga, kita bisa melihat dari nilai transaksinya. Ini baik dari jasa pembayaran digital, pendanaan bisnis, atau personal loan. Angkanya juga terus naik.
Menurut data Statista, selama tahun 2015 nilainya masih USD12,05 miliar dan setahun kemudian naik hampir 25% menjadi USD15,02 miliar. Untuk tahun ini diperkirakan nilai bisnis tekfin tersebut bakal menjadi USD18,65 miliar atau tumbuh 24%.
Jadi, kalau merujuk pada data tersebut, hadirnya bisnis-bisnis startup ternyata mampu mengubah cara-cara masyarakat dalam melakukan pembayaran, mengirimkan uang, memperoleh pendanaan atau pinjaman, dan bahkan berinvestasi. Dan, itu semua terjadi dalam waktu yang relatif singkat, yakni selama dua-tiga tahun belakangan.
Ciri Disrupsi
Bagaimana itu bisa terjadi? Semuanya bermula dari adanya gap, kesenjangan. Ada gap masyarakat yang membutuhkan dana dengan kemampuan perbankan dalam memasok pinjaman. Ini bukan semata soal dananya, melainkan juga regulasinya. Misalnya regulasi soal agunan.
Lalu, hadirnya teknologi yang menawarkan kemudahan. Dengan adanya smartphone, layanan perbankan seakan berada dalam genggaman. Ini membuat masyarakat, kalau merujuk ungkapan pendiri Microsoft Bill Gates, tak lagi membutuhkan bank kendati sistem perbankan tetap dibutuhkan.
Dengan adanya teknologi, masyarakat dapat dengan mudah memperolehnya melalui peer-to- peer lending dan lebih murah. Ini aplikasinya yang mempertemukan pemilik dana dengan mereka yang membutuhkan pinjaman.
Alhasil, rantai transaksi jadi semakin pendek, biaya transaksi menjadi semakin murah, arus informasi dan arus dana pun mengalir semakin cepat, serta pilihan bertambah banyak.
Itu semua adalah ciri-ciri disrupsi. Kini dengan hadirnya layanan komunikasi yang berbasis satelit, akses komunikasi ke daerah-daerah terpencil kian terbuka. Saya yakin disrupsi akan semakin meluas. Maka itu, saya berharap perbankan kita betul-betul menata dan menyiapkan diri untuk menghadapi disrupsi yang bakal dimotori oleh perusahaan-perusahaan tekfin. Jangan salah antisipasi!
(poe)