Serangan Fisik bagi KPK
A
A
A
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
Lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat serangan yang kesekian kalinya. Sebelumnya KPK diserang melalui uji materi (judicial review) UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK untuk melemahkan wewenang, serangan penetapan tersangka pimpinan dan pegawai KPK (kriminalisasi), dan serangan legislasi merevisi UU KPK. Kali ini pola serangan sudah meningkat kualitasnya, sudah meningkat pada ”serangan fisik”.
Novel Baswedan (11/4/ 2017), penyidik senior KPK, diteror dengan disiram air keras di wajahnya (kedua mata) seusai melaksanakan salat subuh oleh dua orang lelaki yang belum dikenal. Ini kali pertama pimpinan atau pegawai KPK diserang secara fisik, tetapi kuat dugaan terkait dengan kasus korupsi besar yang sedang ditangani.
Jika dugaan itu benar, berarti serangan ke KPK tak bisa disikapi secara biasa oleh negara (pemerintah) seperti selama ini. Jika pun pemerintah selalu tampil menyelesaikan dalam tiga kali konflik KPK dengan kepolisian yang populer disebut ”seteru cicak-buaya”, sebetulnya tidak benar-benar tuntas.
Dua institusi penegak hukum itu belum betul-betul menyatu dalam memberantas korupsi, terutama kalau KPK mencoba-coba lagi menyentuh oknum anggota Polri yang diduga terlibat kasus korupsi. Boleh jadi itu yang membuat ”serangan balik” dari aspek lain, yaitu serangan koruptor atau jejaringnya yang sangat sulit dibaca seperti pada jejaring teroris yang begitu sigap diungkap.
Ideologi Koruptor
Serangan fisik kepada penyidik senior KPK merupakan aksi teror yang nyaris sama dengan serangan teroris yang ditujukan kepada aparat kepolisian. Kalau teroris menyerang aparat kepolisian karena selalu menghalangi melaksanakan ”ideologinya”, tentu tidak jauh beda dengan serangan koruptor atau jejaringnya kepada penyidik KPK.
Koruptor juga punya ”ideologi” yaitu ingin menghancurkan negara dengan menghambat pembangunan. Uang negara yang akan digunakan menyejahterakan rakyat, membangun infrastruktur jalan, sekolah, dan rumah sakit dikorup.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang ditetapkan dalam Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) bahkan mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime), dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).
Itulah ideologi koruptor yang terus menggerus dana pembangunan sejak pembahasan rancangan UU APBN sampai pada pelaksanaannya. Ideologi koruptor pada dasarnya ”ingin membangkrutkan negara” agar kelak menghamba pada negara-negara pemberi utang. Ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi, tanpa ada aksi konkret dan progresif dari pemerintah.
Penyidik KPK yang begitu berani menangani kasus korupsi kelas kakap yang diduga melibatkan petinggi politik dan kekuasaan harus mendapat jaminan perlindungan dari negara. Pimpinan dan penyidik KPK tak boleh dibiarkan secara sendiri menyabung nyawa menghadapi kelihaian dan kekejian koruptor dan jejaringnya. Setidaknya ada tiga isu penting yang perlu digelorakan pada serangan fisik bagi penyidik KPK Novel Baswedan.
Pertama, upaya membungkam KPK dengan melakukan serangan fisik harus dilawan. Kita berharap menjadi perhatian serius Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan karena secara konstitusional bertanggung jawab pada pemberantasan korupsi. Maka itu, reaksi cepat Presiden Jokowi memerintahkan kapolri untuk menangkap pelaku penyiraman air keras patut diapresiasi.
Kedua, karena sudah ada perintah Presiden, diharapkan agar tidak terlalu lama pelaku dan aktor intelektualnya ditemukan dan ditangkap polisi. Teror yang dilakukan terhadap Novel Baswedan yang sedang memimpin penyidikan dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2012 senilai Rp5,9 triliun harus diberi jaminan keamanan. KPK menelisik dan mengejar uang besar, sekitar Rp2,3 triliun yang diduga sebagai kerugian keuangan negara.
Teror serangan fisik dengan menyiram air keras sama dengan teror yang dihadapi aparat kepolisian minggu lalu. Anggota polisi lalu lintas ditembaki teroris dan berhasil menembak mati enam pelakunya. Rakyat selalu berbangga dengan gebrakan Densus 88 dan anggota Polri yang berhasil menangkap pelaku dan mengungkap jaringannya.
Korupsi dan teroris sama-sama kejahatan luar biasa sehingga siapa pun yang meneror penyidik KPK juga harus ditangkap dan diproses hukum.
Ketiga, semua komponen masyarakat, para aktivis antikorupsi, pengamat, dan mahasiswa antikorupsi harus kembali merapatkan barisan menghadapi kemungkinan serangan balik meningkat eskalasinya.
Pimpinan dan penyidik KPK tak boleh dibiarkan terus terancam dari beragam serangan bertubi-tubi. Kalau saat ini sudah masuk pada serangan fisik, negara melalui aparat kepolisian tidak boleh lambat melangkah untuk mengendus dan menangkap pelaku teror itu.
Jaga Momentum
Kasus dugaan korupsi e-KTP tidak boleh hanya berhenti pada empat tersangka yang saat ini sudah ditetapkan KPK. Serangan apa pun yang mengancam, KPK tak boleh gentar karena rakyat berada di sekeliling KPK.
Kasus dugaan korupsi e-KTP harus dijaga momentumnya oleh KPK jilid keempat sebab tudingan dari luar juga mengarah pada progres kinerja KPK selama ini yang hanya mahir melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena menyadap telepon orang.
KPK harus juga berani mengungkap dan membuktikan di pengadilan dugaan kerugian keuangan negara dalam penanganan berbagai proyek APBN dan APBD.
Kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang disebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terjadi kerugian keuangan negara, tetapi dimentahkan KPK dengan alasan tidak ada niat jahat (mens rea). Itu yang membuat publik mulai meragukan profesional dan keberanian KPK jika berhadapan dengan oknum yang dekat dengan puncak kekuasaan.
Apakah kasus e-KTP akan tuntas sampai semua yang diduga ikut menikmati aliran dana proyek itu bisa dibawa ke pengadilan? Tentu waktu yang akan menjawabnya sebab beberapa waktu lalu ada pimpinan KPK yang pernah berkomentar di media bahwa penetapan tersangka bergantung apakah ”berbuat aktif” dalam bagi-bagi dana proyek.
Seharusnya dipahami bahwa Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) menegaskan bahwa pegawai negeri dan penyelenggara negara dilarang menerima pemberian atau janji dengan maksud agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, atau bertentangan dengan kewajibannya. Makna frasa ”menerima pemberian” adalah dalam ”posisi pasif atau tidak berbuat aktif” dari rangkaian transaksi gelap dalam proses suap.
Publik juga ingin melihat seberapa besar komitmen pimpinan KPK melindungi penyidiknya, terutama Novel Baswedan, karena baru-baru ini diberi surat peringatan kedua (SP2) oleh pimpinan KPK.
Meskipun, belakangan dibatalkan lantaran mendapat sorotan berbagai kalangan dan beberapa mantan pimpinan KPK. Novel Baswedan adalah ketua Wadah Pegawai KPK yang mengkritik pimpinan KPK perihal rencana pengangkatan Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) KPK dari luar KPK.
Bisa jadi juga ketidakrelaan pimpinan KPK dikritik pegawai KPK yang menimbulkan kesan dari luar bahwa KPK tidak kompak dan satu komitmen. Terutama dari oknum yang merasa terganggu oleh sikap tegas Novel Baswedan dalam melakukan penyidikan kasus korupsi.
Kemungkinan itu pula yang membuat koruptor dan jejaringnya kembali menyerang dengan pola baru melalui ”serangan fisik”. Kita berharap agar pimpinan dan pegawai KPK tetap kompak dan satu kata melawan korupsi, siapa pun pelakunya. Itulah tujuan utama institusi antikorupsi ini dibentuk.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
Lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat serangan yang kesekian kalinya. Sebelumnya KPK diserang melalui uji materi (judicial review) UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK untuk melemahkan wewenang, serangan penetapan tersangka pimpinan dan pegawai KPK (kriminalisasi), dan serangan legislasi merevisi UU KPK. Kali ini pola serangan sudah meningkat kualitasnya, sudah meningkat pada ”serangan fisik”.
Novel Baswedan (11/4/ 2017), penyidik senior KPK, diteror dengan disiram air keras di wajahnya (kedua mata) seusai melaksanakan salat subuh oleh dua orang lelaki yang belum dikenal. Ini kali pertama pimpinan atau pegawai KPK diserang secara fisik, tetapi kuat dugaan terkait dengan kasus korupsi besar yang sedang ditangani.
Jika dugaan itu benar, berarti serangan ke KPK tak bisa disikapi secara biasa oleh negara (pemerintah) seperti selama ini. Jika pun pemerintah selalu tampil menyelesaikan dalam tiga kali konflik KPK dengan kepolisian yang populer disebut ”seteru cicak-buaya”, sebetulnya tidak benar-benar tuntas.
Dua institusi penegak hukum itu belum betul-betul menyatu dalam memberantas korupsi, terutama kalau KPK mencoba-coba lagi menyentuh oknum anggota Polri yang diduga terlibat kasus korupsi. Boleh jadi itu yang membuat ”serangan balik” dari aspek lain, yaitu serangan koruptor atau jejaringnya yang sangat sulit dibaca seperti pada jejaring teroris yang begitu sigap diungkap.
Ideologi Koruptor
Serangan fisik kepada penyidik senior KPK merupakan aksi teror yang nyaris sama dengan serangan teroris yang ditujukan kepada aparat kepolisian. Kalau teroris menyerang aparat kepolisian karena selalu menghalangi melaksanakan ”ideologinya”, tentu tidak jauh beda dengan serangan koruptor atau jejaringnya kepada penyidik KPK.
Koruptor juga punya ”ideologi” yaitu ingin menghancurkan negara dengan menghambat pembangunan. Uang negara yang akan digunakan menyejahterakan rakyat, membangun infrastruktur jalan, sekolah, dan rumah sakit dikorup.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang ditetapkan dalam Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) bahkan mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime), dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).
Itulah ideologi koruptor yang terus menggerus dana pembangunan sejak pembahasan rancangan UU APBN sampai pada pelaksanaannya. Ideologi koruptor pada dasarnya ”ingin membangkrutkan negara” agar kelak menghamba pada negara-negara pemberi utang. Ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi, tanpa ada aksi konkret dan progresif dari pemerintah.
Penyidik KPK yang begitu berani menangani kasus korupsi kelas kakap yang diduga melibatkan petinggi politik dan kekuasaan harus mendapat jaminan perlindungan dari negara. Pimpinan dan penyidik KPK tak boleh dibiarkan secara sendiri menyabung nyawa menghadapi kelihaian dan kekejian koruptor dan jejaringnya. Setidaknya ada tiga isu penting yang perlu digelorakan pada serangan fisik bagi penyidik KPK Novel Baswedan.
Pertama, upaya membungkam KPK dengan melakukan serangan fisik harus dilawan. Kita berharap menjadi perhatian serius Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan karena secara konstitusional bertanggung jawab pada pemberantasan korupsi. Maka itu, reaksi cepat Presiden Jokowi memerintahkan kapolri untuk menangkap pelaku penyiraman air keras patut diapresiasi.
Kedua, karena sudah ada perintah Presiden, diharapkan agar tidak terlalu lama pelaku dan aktor intelektualnya ditemukan dan ditangkap polisi. Teror yang dilakukan terhadap Novel Baswedan yang sedang memimpin penyidikan dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2012 senilai Rp5,9 triliun harus diberi jaminan keamanan. KPK menelisik dan mengejar uang besar, sekitar Rp2,3 triliun yang diduga sebagai kerugian keuangan negara.
Teror serangan fisik dengan menyiram air keras sama dengan teror yang dihadapi aparat kepolisian minggu lalu. Anggota polisi lalu lintas ditembaki teroris dan berhasil menembak mati enam pelakunya. Rakyat selalu berbangga dengan gebrakan Densus 88 dan anggota Polri yang berhasil menangkap pelaku dan mengungkap jaringannya.
Korupsi dan teroris sama-sama kejahatan luar biasa sehingga siapa pun yang meneror penyidik KPK juga harus ditangkap dan diproses hukum.
Ketiga, semua komponen masyarakat, para aktivis antikorupsi, pengamat, dan mahasiswa antikorupsi harus kembali merapatkan barisan menghadapi kemungkinan serangan balik meningkat eskalasinya.
Pimpinan dan penyidik KPK tak boleh dibiarkan terus terancam dari beragam serangan bertubi-tubi. Kalau saat ini sudah masuk pada serangan fisik, negara melalui aparat kepolisian tidak boleh lambat melangkah untuk mengendus dan menangkap pelaku teror itu.
Jaga Momentum
Kasus dugaan korupsi e-KTP tidak boleh hanya berhenti pada empat tersangka yang saat ini sudah ditetapkan KPK. Serangan apa pun yang mengancam, KPK tak boleh gentar karena rakyat berada di sekeliling KPK.
Kasus dugaan korupsi e-KTP harus dijaga momentumnya oleh KPK jilid keempat sebab tudingan dari luar juga mengarah pada progres kinerja KPK selama ini yang hanya mahir melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena menyadap telepon orang.
KPK harus juga berani mengungkap dan membuktikan di pengadilan dugaan kerugian keuangan negara dalam penanganan berbagai proyek APBN dan APBD.
Kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang disebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terjadi kerugian keuangan negara, tetapi dimentahkan KPK dengan alasan tidak ada niat jahat (mens rea). Itu yang membuat publik mulai meragukan profesional dan keberanian KPK jika berhadapan dengan oknum yang dekat dengan puncak kekuasaan.
Apakah kasus e-KTP akan tuntas sampai semua yang diduga ikut menikmati aliran dana proyek itu bisa dibawa ke pengadilan? Tentu waktu yang akan menjawabnya sebab beberapa waktu lalu ada pimpinan KPK yang pernah berkomentar di media bahwa penetapan tersangka bergantung apakah ”berbuat aktif” dalam bagi-bagi dana proyek.
Seharusnya dipahami bahwa Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) menegaskan bahwa pegawai negeri dan penyelenggara negara dilarang menerima pemberian atau janji dengan maksud agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, atau bertentangan dengan kewajibannya. Makna frasa ”menerima pemberian” adalah dalam ”posisi pasif atau tidak berbuat aktif” dari rangkaian transaksi gelap dalam proses suap.
Publik juga ingin melihat seberapa besar komitmen pimpinan KPK melindungi penyidiknya, terutama Novel Baswedan, karena baru-baru ini diberi surat peringatan kedua (SP2) oleh pimpinan KPK.
Meskipun, belakangan dibatalkan lantaran mendapat sorotan berbagai kalangan dan beberapa mantan pimpinan KPK. Novel Baswedan adalah ketua Wadah Pegawai KPK yang mengkritik pimpinan KPK perihal rencana pengangkatan Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) KPK dari luar KPK.
Bisa jadi juga ketidakrelaan pimpinan KPK dikritik pegawai KPK yang menimbulkan kesan dari luar bahwa KPK tidak kompak dan satu komitmen. Terutama dari oknum yang merasa terganggu oleh sikap tegas Novel Baswedan dalam melakukan penyidikan kasus korupsi.
Kemungkinan itu pula yang membuat koruptor dan jejaringnya kembali menyerang dengan pola baru melalui ”serangan fisik”. Kita berharap agar pimpinan dan pegawai KPK tetap kompak dan satu kata melawan korupsi, siapa pun pelakunya. Itulah tujuan utama institusi antikorupsi ini dibentuk.
(dam)