Suriah dan Senjata Kimia

Rabu, 12 April 2017 - 07:57 WIB
Suriah dan Senjata Kimia
Suriah dan Senjata Kimia
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Senior Advisor, Atma Jaya Institute of Public Policy

AMERIKA Serikat (AS) meluncurkan rudal ke lapangan udara dan pusat pengisian bahan bakar di Pangkalan Udara Suriah pada Jumat (7/4) dini hari dari dua kapal perang AS, USS Porter dan USS Ross, yang sedang berlabuh di Laut Mediterania. Presiden AS Donald Trump menyatakan sekitar satu jam setelah peluncuran rudal tersebut bahwa “adalah kepentingan nasional AS untuk mencegah dan menggentarkan perluasan dan penggunaan senjata kimia yang mematikan”.

Trump mengklaim “tidak diragukan lagi bahwa Suriah telah menggunakan senjata kimia yang dilarang…dan sudah ada upaya-upaya menghentikan perilaku Presiden Bashar Al-Assad telah gagal total”. Pernyataan ini memperjelas alasan dari peluncuran rudal tersebut, yakni kepentingan AS.

AS meminta negara-negara lain memaklumi pilihan kebijakannya atas Suriah dengan alasan terpaparnya warga di Provinsi Idlib oleh bahan kimia sejenis sarin yang sudah dilarang penggunaannya. Suriah kontan beraksi keras juga atas tudingan AS dan hal ini wajar.

Ketika ada tudingan serius yang berujung pada penggunaan solusi senjata, tidak ada sejatinya yang bisa serta-merta melakukan tindakan sepihak. Sampai saat ini belum ada investigasi resmi dari lembaga yang punya legitimasi memeriksa tudingan tersebut misalnya oleh PBB.

Persoalannya bukan cuma siapa yang harus melakukan investigasi, tetapi juga metode investigasi, khususnya bagaimana menjaga laporan investigasi itu objektif dan tidak bias sehingga dapat diterima oleh semua pihak yang bertikai. Proses penyelidikan tidak selalu dapat mengungkap siapa pelaku kecuali mengonfirmasi peristiwa tersebut betul-betul terjadi.

Seandainya pun ada kesimpulan, seringkali juga masih dapat menimbulkan pertanyaan karena penyelidikan dari pihak lain mengungkapkan kesimpulan yang berbeda.

Contohnya, peristiwa penggunaan senjata kimia yang juga terjadi di wilayah Suriah, tepatnya di wilayah Ghouta, yang menyebabkan 281 orang meninggal dari total 1.729 korban pada 21 Agustus 2013.

Kejadian itu segera ditanggapi oleh PBB dengan mengirimkan tim untuk melakukan penyelidikan. Penyelidikan juga dilakukan oleh berbagai pihak seperti International Support Team for Mussalaha in Syria dan beberapa jurnalis independen seperti jurnalis pemenang penghargaan Pulitzer, Seymour Hersh.

Hasil penyelidikan resmi PBB atas nama UN Mission dan UN Human Rights Council menyimpulkan bahwa ada materi kimia yang terkait dengan materi yang dimiliki oleh Pemerintah Suriah. Laporan UN Mission hanya mengindikasikan bahwa itu terjadi dan kemungkinan bahwa materi zat kimia terkait dengan zat yang dimiliki Pemerintah Suriah.

Masalahnya, pada awal perang di Suriah, banyak senjata dan amunisi yang memang berhasil direbut oleh pemberontak dan bisa jadi kepemilikan telah berpindah tangan. Sebab itu, laporan pertama yang diterbitkan sebulan setelah kejadian tidak dapat menyimpulkan siapa yang patut dipersalahkan.

Investigasi jurnalistik Hersh justru lebih berani dalam mengatakan bahwa serangan gas kimia itu dilakukan oleh Al-Nusra Front yang berafiliasi ke Al-Qaeda dengan bantuan materi zat kimia dari militer Turki.

Temuan itu diperkuat oleh koran oposisi yang melaporkan bahwa Eren Erdem dan Ali Feker, anggota Republican People’s Party, menemukan bahwa ada indikasi keterlibatan Pemerintah Turki dan lembaga terkait dalam menyediakan gas sarin kepada ISIS.

Menariknya, dari serangan gas sarin di Ghouta 2013 ini adalah waktunya yang bersesuaian dengan jadwal investigasi The United Nations Mission to Investigate Alleged Uses of Chemical Weapons di Suriah.

Misi ini dibentuk oleh PBB untuk menanggapi laporan dari Pemerintah Suriah pada 19 Maret 2013 terkait dugaan bahwa pemberontak telah menembakkan roket yang mengandung bahan kimia menjadi ke Khan al-Asal, sebuah Distrik Aleppo di Suriah utara yang dikuasai oleh pemerintah.

Pada saat itu juga konteksnya adalah peringatan dari Obama, presiden Amerika Serikat, bahwa mereka akan melakukan aksi militer apabila Pemerintah Suriah melewati “Red Line” atau batas toleransi atau kesabaran Amerika yang salah satunya adalah penggunaan senjata kimia. Walaupun, serangan militer yang diharap-harapkan oleh para pemberontak ternyata tidak terjadi.

Melihat pengalaman di atas, maka perlu diapresiasi sikap Pemerintah Indonesia untuk tidak terburu-buru menyetujui aksi militer yang dilakukan oleh Presiden Trump. Selain penting untuk menyelidiki dan mengonfirmasi peristiwa tersebut, penting juga untuk melihat konteks waktu serangan senjata kimia itu terjadi.

Serangan senjata kimia yang menyebabkan sekitar 70 orang meninggal, terutama anak-anak, dan ratusan orang lain cedera terjadi di Khan Sheikhoun, sekitar 50 km selatan dari Kota Idlib. Penduduk di Kota Idlib sebagian besar adalah para pemberontak.

Tulisan saya yang berjudul “’Makna Kembalinya Aleppo” (21/12/2016) menjelaskan tentang proses pertukaran penduduk muslim-Syiah yang tinggal di Foua and Kefraya Provinsi Idlib dengan saudara mereka muslim-Sunni yang berada di Aleppo Timur. Pertukaran ini sebetulnya dasar dari gencatan senjata meskipun mengundang penolakan para pemberontak garis keras seperti Jabhat Fatah al-Sham, Al-Nusra Front, dan beberapa kelompok radikal yang lain.

Proses itu dipuji karena dapat memfasilitasi migrasi besar-besaran sekitar 50 ribuan orang. Proses itu juga menjadi dasar dimulai perundingan yang dipelopori oleh Rusia dan Turki untuk mempertemukan para kelompok pemberontak dan Pemerintah Suriah di bawah Bashar Al-Assad tanpa keterlibatan Amerika Serikat dan PBB.

Meski demikian, perundingan tiga pihak yang dilakukan di Astana, Kazahktan juga tidak berlangsung baik lantaran tidak ada motivasi yang kuat dari para pihak. Pihak pemberontak bersenjata menolak untuk datang dalam pertemuan tersebut karena menganggap Rusia tidak menepati janji untuk tidak membantu Pemerintah Suriah melakukan serangan ke wilayah pemberontak.

Mereka juga merasa Turki tidak terlalu mendorong kelompok pemberontak untuk datang walaupun Turki juga tidak melarang. Akibat itu, masing-masing pihak masih melakukan agresi di lapangan.

Harapan bahwa krisis di Suriah dapat diselesaikan melalui perundingan pada akhir 2016 tampaknya belum dapat terwujud. Penggunaan senjata kimia, terlepas siapa yang melakukan hingga penyelidikan resmi dilakukan, telah mengundang kembali AS dalam krisis Suriah.

Presiden Trump yang dalam masa kampanye menyatakan bahwa prioritas mereka adalah mengalahkan ISIS dan menyiratkan akan bekerja sama dengan Rusia-Turki dan Suriah untuk memenuhi prioritas itu ternyata juga tidak terjadi.

Meski demikian, serangan rudal ke pangkalan militer Suriah juga tidak berarti dapat disimpulkan bahwa terjadi pergeseran prioritas karena di dalam administrasi Trump itu sendiri seringkali terjadi ketidakkonsistenan. Sulit untuk menyimpulkan apa yang ada di dalam pikiran Trump karena selama kampanye ia juga tidak pernah menyatakan secara eksplisit kebijakan politik luar negerinya.

Bagi kita di Indonesia, kejadian yang berkembang di Timur Tengah menandai lemahnya mekanisme diplomasi dan kerja sama antarnegara dalam menyelesaikan problem kekerasan dan instabilitas politik keamanan. Paling buruk dari kejadian tersebut adalah opsi turun langsung secara sepihak untuk menilai dan bahkan memasuki negara lain tidak bisa distop oleh negara-negara lain.

Yang paling lemah dalam situasi seperti ini adalah negara-negara yang tidak punya kesiapan merespons dan tidak punya lingkar pelindung untuk menangkal tudingan-tudingan negatif dari negara lain yang berpotensi pada kekerasan bersenjata. Lampu darurat diplomasi menyala makin terang. Indonesia dan negara-negara lain berkepentingan untuk mencegah cara-cara ini berulang lagi, dan agar PBB berfungsi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3453 seconds (0.1#10.140)