Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas

Selasa, 04 April 2017 - 09:05 WIB
Penyelenggara Pemilu...
Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas
A A A
Aditya Perdana
Direktur Puskapol FISIP UI

SETELAH melalui perdebatan yang panjang dan menunggu sikap politik DPR terhadap pemilihan anggota KPU-Bawaslu, akhirnya minggu ini DPR RI menyelenggarakan fit and proper test, mekanisme terakhir dalam proses pemilihan tersebut. Tulisan ini akan mengingatkan kepada DPR dan para pemangku kebijakan lainnya yang terkait dengan keinginan kita dalam menciptakan pemilu yang berintegritas.

Prinsip Dasar
Penyelenggara pemilu adalah salah satu faktor krusial dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu seharusnya menyadarinya ada beberapa prinsip dasar yang menjadi acuan utama dalam mengelola pemilu yang kompleks ini. Ada tujuh prinsip dasar menurut Administration and Cost of Elections (ACE) Project.

Pertama, independensi; sebuah prinsip yang menegaskan posisi penyelenggara yang tidak memiliki hubungan langsung dengan pihak eksekutif ataupun pihak yang berkepentingan dalam politik praktis. Kedua, imparsialitas; penyelenggara pemilu haruslah menunjukkan sikap dan perilaku yang adil dan setara kepada semua pihak yang terlibat dalam pemilu. Ketiga, integritas; penyelenggara pemilu memiliki sikap integritas jika ditopang oleh kemandiriannya yang penuh dalam melakukan kontrol semua proses pemilu, termasuk penetapan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi.

Keempat, transparansi; penyelenggara harus menunjukkan sikap transparansi untuk menghindari segala prasangka dan kecurigaan terhadap proses pemilu yang cenderung penuh intrik kepentingan politik. Kelima, efisiensi; penyelenggara juga harus mempertimbangkan aspek efisiensi dana publik dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu, tuntutan agar penyelenggara dapat mengimplementasikan standar efisiensi di setiap tahapan menjadi penting dilakukan agar terjadi peningkatan kepercayaan publik.

Keenam, profesional; semua staf penyelenggara pemilu dapat melakukan pekerjaannya dengan baik berdasarkan keahlian dan kompetensi yang dimiliki. Sikap profesionalitas ini juga menjadi penting agar penyelenggara mendapat kredit pujian dari pihak-pihak yang selalu memantau penyelenggaraan pemilu. Ketujuh, berorientasi pelayanan; penyelenggara pemilu dapat membangun sebuah skema standar pelayanan dalam setiap tahapan pemilu yang nantinya dapat berkontribusi terhadap kepercayaan publik dalam penyelenggaraan pemilu.

Berintegritas
Pascareformasi 1998, publik menggantungkan harapan pada penyelenggara pemilu agar dapat menyelenggarakan pemilu secara adil dan jujur. Harapan ini masuk akal manakala sepanjang masa Orde Baru, pemilu legislatif selalu mengindikasikan terjadinya manipulasi suara dan keberpihakan penyelenggara yang kemudian menghasilkan perolehan suara pemilu yang tidak sepenuhnya dipercaya publik.

Dalam Pemilu 1999, penyelenggara pemilu dalam masa transisi juga menuai kritik tajam. Meskipun hasil pemilu masih dapat dipertanggung jawabkan, sayangnya penyelenggara pemilu yang berasal dari partai politik dengan perilaku yang partisan malah sedikit mencoreng hasil tersebut.

Reformasi sistem Pemilu 2004 beserta penyelenggaraan yang lebih bersifat mandiri dan tidak partisan adalah poin krusial dalam tata penyelenggaraan pemilu berikutnya. Apresiasi publik terhadap penyelenggara pemilu yang independen dan tidak berpihak memang terlihat positif manakala penyelenggaraan dua jenis pemilu (pemilu legislatif dan pemilu presiden) berlangsung aman dan terkendali dengan baik. Sayangnya, kasus korupsi yang menerpa penyelenggara pemilu di periode ini menodai kemampuan penyelenggara yang mumpuni tersebut.

Dalam pelaksanaan Pemilu 2009, penyelenggara pemilu mendapat sorotan tajam terkait dengan inkompetensi anggota KPU dalam manajemen pemilu sehingga hasil pemilu yang diragukan oleh banyak pihak. Sementara itu, penyelenggara Pemilu 2014 mendapatkan apresiasi yang positif manakala kemampuan para komisioner yang mampu bersikap tegas dan profesional dalam menanggapi berbagai persoalan terkait dengan urusan teknis penyelenggaraan.

Secara umum, prinsip penyelenggara yang dikaji oleh ACE Project tersebut memang sudah tercermin dalam pengalaman kita di setiap pemilu sejak tahun 1999. Persoalan independensi adalah titik krusial yang sudah tuntas dibahas oleh para politisi DPR pada tahun 2002 manakala anggota KPU dan Bawaslu bukanlah anggota partai politik dan badan tersebut merupakan bagian yang mandiri di luar eksekutif pemerintahan. Karena itu, hal yang aneh dan menarik pada penyelenggaraan pemilu yang sudah lalu, manakala anggota DPR saat ini menginginkan anggota parpol menjadi komisioner KPU dan Bawaslu.

Sementara itu, prinsip imparsialitas juga sudah ditunjukkan oleh para penyelenggara pemilu di beberapa periode sebelumnya. Sayangnya, hal ini sulit untuk dihindari manakala para peserta pemilu (partai politik dan kandidat) terus berusaha menggoda para penyelenggara untuk melakukan manipulasi hasil pemilu. Kehadiran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebenarnya mereduksi adanya godaan tersebut bagi para penyelenggara.

Dalam konteks integritas, penyelenggara pemilu sebenarnya juga sudah berusaha keras dengan menunjukkan sikap kemandirian dalam semua tahapan yang dikerjakannya. Namun, prinsip integritas tidak berdiri sendiri, haruslah berkaitan dengan sikap lainnya, seperti imparsialitas dan independensi. Pada titik ini integritas penyelenggara pemilu tidak hanya tergantung dari karakter individual para komisioner, juga sangat dipengaruhi dukungan atau intervensi dari pihak luar, seperti peserta pemilu ataupun pemerintah sendiri.

Sementara itu, prinsip transparansi patut diapresiasi untuk penyelenggara Pemilu 2014 manakala semua akses keterbukaan dalam tahapan krusial pemilu dapat ditampilkan tanpa hambatan. Hal ini yang perlu terus didorong agar profesionalitas para komisioner dan staf dapat terus ditingkatkan. Apalagi menyangkut bagaimana menghadirkan sistem pelayanan kepada para peserta dan pemilih agar lebih baik lagi. Oleh karena itu, prinsip efisiensi dalam manajemen penyelenggaraan juga harus dipertimbangkan secara serius agar tidak memboroskan anggaran negara.

Harapan
Menjelang proses penetapan para komisioner KPU dan Bawaslu yang baru ini, ada beberapa catatan yang penting untuk diperhatikan oleh para anggota Komisi II DPR. Pertama, keputusan untuk menambah atau merevisi anggota komisioner KPU dan Bawaslu seyogianya benar-benar dapat memperhatikan prinsip profesionalitas dan efisiensi yang ingin didorong oleh lembaga ini.

Kedua, menghadirkan komisioner KPU dan Bawaslu yang dapat membawa prinsip-prinsip di atas memang tidaklah mudah. Namun, paling tidak DPR dapat menghargai satu proses seleksi yang telah usai dilakukan dan memberi kesempatan kepada para calon komisioner menyampaikan visi dan misinya dalam penyelenggaraan pemilu ke depan.

Ketiga, pekerjaan berat Pemilu 2019 adalah tugas yang harus dituntaskan oleh para komisioner terpilih nanti. Oleh karena itu, alangkah bijaknya DPR dapat benar-benar memperhatikan kredibilitas, integritas, serta kapasitas calon komisioner yang mampu menyelesaikan pekerjaan berat tersebut. Semoga kita mendapatkan penyelenggara pemilu yang lebih baik dari sebelumnya!
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0819 seconds (0.1#10.140)