Menuju Dua Tahun Masyarakat Ekonomi ASEAN
A
A
A
Asra Virgianita, Ph,D
Ketua Program Pascasarjana Internasional FISIP UI,
Wakil Direktur Centre for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI
TIDAK terasa pemberlakuan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah memasuki tahun kedua. MEA merupakan agenda regional yang menyepakati pembangunan kawasan ASEAN dalam empat pilar, yaitu sebagai wilayah dengan aliran bebas barang, jasa, investasi dan tenaga kerja; wilayah ekonomi yang kompetitif; wilayah dengan pembangunan yang merata, dan menjadi wilayah yang terintegrasi secara penuh ke dalam ekonomi global.
Jika melihat kembali periode 2014-2015, begitu banyak berita dan kajian yang menyoroti tentang pemberlakuan kesepakatan MEA. Dari dampak positif dan negatif MEA bagi Indonesia, masalah mobilitas tenaga kerja ASEAN, hingga kesiapan pemerintah daerah.
Sosialisasi juga dilakukan, sayangnya masih terkesan reaktif dan terbatas. Saat ini, seiring dengan berjalannya MEA, tidak banyak media dan kajian yang membahas hal tersebut, sosialisasi pun terasa sepi. Isu MEA meredup, padahal faktanya pertarungan baru mulai.
Di mana kita? Ada dua hal utama yang menjadi ukuran dalam melihat dampak dari sebuah kerja sama ekonomi, yaitu arus perdagangan dan investasi. Jika ditelusuri, data perdagangan Indonesia dalam ASEAN 6, terlihat bahwa tren pertumbuhan perdagangan Indonesia dengan kelima negara ASEAN sangat bervariasi pada periode Januari-Oktober 2015 ke 2016 (data Kemendag RI).
Tren perdagangan Indonesia dengan Filipina dan Thailand menunjukkan pertumbuhan positif, sementara dengan ketiga negara lainnya yaitu Malaysia, Singapura dan Brunei, perubahannya negatif atau menurun. Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dengan perubahan pada periode 2011-2015, hanya perdagangan Indonesia dengan Filipina yang perubahannya positif, dengan keempat negara lainnya cenderung negatif.
Namun, dalam hal neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN, defisit hanya terjadi dengan Thailand. Dengan empat negara lainnya Indonesia mengalami surplus. Hal ini setidaknya menunjukkan peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia ke depan.
Jika melihat di level regional, perdagangan intra-ASEAN hanya berkisar 20-30% dari total perdagangan negara-negara ASEAN. Hal ini berarti sekitar 70-80% perdagangan masih dilakukan dengan negara-negara di luar ASEAN (data asean.org). Mitra dagang utama Indonesia, misalnya, masih ditempati oleh AS, Jepang, dan China.
Kondisi itu senada dalam hal investasi, komposisi investasi dari luar ASEAN menempati porsi sekitar 87%, investasi intra-ASEAN hanya berkisar 15-20% (ASEAN Investment Report, 2016). Tercatat, ada sepuluh peringkat negara utama investor asing di ASEAN berasal dari luar kawasan yang menguasai sekitar 70-80% total investasi asing yang masuk di ASEAN.
Perlu digarisbawahi bahwa pada 2015 hanya Indonesia yang sumber investasi intra-ASEAN mendapatkan porsi lebih besar dari negara luar ASEAN, yaitu berkisar 56%. Singapura tercatat sebagai negara yang menerima aliran investasi asing dari luar ASEAN dengan persentase cukup signifikan (92%).
Data-data tersebut mengindikasikan bahwa dalam struktur perdagangan dan investasi, Indonesia maupun negara-negara anggota ASEAN lainnya belum memperlihatkan perubahan yang signifikan sesuai yang ditargetkan dalam MEA. Orientasi dengan mitra tradisional (Amerika, Jepang, dan Eropa) masih dominan. Fakta ini menunjukkan agenda MEA masih belum menjadi prioritas dalam kebijakan perdagangan dan investasi negara anggota ASEAN.
Tantangan Lama, Dinamika Baru
MEA sebagai agenda liberalisasi ekonomi, dalam perspektif liberalis dipercaya akan memberikan manfaat bagi seluruh negara anggota. Cetak Biru MEA dengan optimistis telah menekankan hal tersebut melalui empat pilar yang ditargetkan.
Namun, perlu dipahami bahwa tingkat manfaat yang didapatkan oleh semua negara tidak selalu sama. Hal ini bergantung pada seberapa efektif strategi dan kebijakan yang dilakukan dalam mengelola tantangan dan peluang yang dihadirkan oleh MEA.
Indonesia tercatat masih menghadapi tantangan yang sama dari waktu ke waktu, antara lain rendahnya pendidikan angkatan kerja, minimnya pengetahuan masyarakat tentang MEA, dan tingkat kesiapan daerah yang beragam.
Dalam upaya mengatasi tantangan tersebut dibutuhkan kebijakan yang komprehensif dengan didukung oleh kajian-kajian tentang MEA yang seyogianya dilakukan secara berkala dan kontinu. Hasil kajian tahun 2014 tentang daya saing daerah, misalnya, menemukan bahwa di seluruh wilayah di Indonesia sektor manufaktur, pengangkutan, dan komunikasi merupakan sektor yang tertinggal.
Respons pemerintah atas kondisi ini perlu dikaji, begitu pun dampaknya baik di level nasional maupun lokal. Tak hanya itu, sosialisasi secara masif harus tetap dilakukan dalam lima tahun ke depan.
Pendirian AEC Centre oleh Pemerintah Indonesia pada 2015, walau terkesan terlambat dibanding negara ASEAN lain, patut diapresiasi. Namun, fungsi lembaga tersebut perlu dioptimalkan misalnya melakukan sosialisasi sampai ke tingkat lokal, penyedia berbagai informasi terkait MEA, dan sebagai jembatan dalam membangun sinergi antarpemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam konteks ASEAN, situasi internasional yang dinamis juga memberikan tantangan tersendiri. Fenomena Brexit seyogianya menjadi catatan penting, mengingat keluarnya Inggris dari Uni Eropa menjadi tantangan bagi ASEAN untuk meyakinkan setiap negara anggota akan manfaat MEA yang setara.
Apalagi beberapa kajian yang mengkritik kecenderungan praktik ”liberalisasi setengah hati” yang dijalankan oleh negara-negara ASEAN melalui kebijakan proteksi, misalnya, hambatan nontarif. Fakta perlambatan pertumbuhan ekonomi China, yang saat ini juga menjadi mitra utama di ASEAN, perlu dicermati secara serius.
Perlambatan pertumbuhan China ini dituliskan oleh Martin Wolf (Financial Times, 22 Maret 2016) akan berimplikasi salah satunya pada keberlanjutan investasi China yang saat ini mencapai 45% dari GDP. Selain itu, terpilihnya Trump sebagai presiden AS, yang dalam kampanyenya menunjukkan kecenderungan untuk lebih memanfaatkan skema kerja sama bilateral ketimbang multilateral, ditandai mundurnya AS dari kerja sama Trans Pacififc Partnership (TPP), menyisakan sebuah tanda tanya akan masa depan kerja sama regional, termasuk ASEAN.
Di sisi lain mundurnya AS dari TPP dapat dilihat sebagai peluang bagi ASEAN untuk lebih fokus dan solid dalam memainkan peran dan meningkatkan pengaruhnya di kawasan Asia.
Ketua Program Pascasarjana Internasional FISIP UI,
Wakil Direktur Centre for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI
TIDAK terasa pemberlakuan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah memasuki tahun kedua. MEA merupakan agenda regional yang menyepakati pembangunan kawasan ASEAN dalam empat pilar, yaitu sebagai wilayah dengan aliran bebas barang, jasa, investasi dan tenaga kerja; wilayah ekonomi yang kompetitif; wilayah dengan pembangunan yang merata, dan menjadi wilayah yang terintegrasi secara penuh ke dalam ekonomi global.
Jika melihat kembali periode 2014-2015, begitu banyak berita dan kajian yang menyoroti tentang pemberlakuan kesepakatan MEA. Dari dampak positif dan negatif MEA bagi Indonesia, masalah mobilitas tenaga kerja ASEAN, hingga kesiapan pemerintah daerah.
Sosialisasi juga dilakukan, sayangnya masih terkesan reaktif dan terbatas. Saat ini, seiring dengan berjalannya MEA, tidak banyak media dan kajian yang membahas hal tersebut, sosialisasi pun terasa sepi. Isu MEA meredup, padahal faktanya pertarungan baru mulai.
Di mana kita? Ada dua hal utama yang menjadi ukuran dalam melihat dampak dari sebuah kerja sama ekonomi, yaitu arus perdagangan dan investasi. Jika ditelusuri, data perdagangan Indonesia dalam ASEAN 6, terlihat bahwa tren pertumbuhan perdagangan Indonesia dengan kelima negara ASEAN sangat bervariasi pada periode Januari-Oktober 2015 ke 2016 (data Kemendag RI).
Tren perdagangan Indonesia dengan Filipina dan Thailand menunjukkan pertumbuhan positif, sementara dengan ketiga negara lainnya yaitu Malaysia, Singapura dan Brunei, perubahannya negatif atau menurun. Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dengan perubahan pada periode 2011-2015, hanya perdagangan Indonesia dengan Filipina yang perubahannya positif, dengan keempat negara lainnya cenderung negatif.
Namun, dalam hal neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara ASEAN, defisit hanya terjadi dengan Thailand. Dengan empat negara lainnya Indonesia mengalami surplus. Hal ini setidaknya menunjukkan peluang yang dapat dimanfaatkan Indonesia ke depan.
Jika melihat di level regional, perdagangan intra-ASEAN hanya berkisar 20-30% dari total perdagangan negara-negara ASEAN. Hal ini berarti sekitar 70-80% perdagangan masih dilakukan dengan negara-negara di luar ASEAN (data asean.org). Mitra dagang utama Indonesia, misalnya, masih ditempati oleh AS, Jepang, dan China.
Kondisi itu senada dalam hal investasi, komposisi investasi dari luar ASEAN menempati porsi sekitar 87%, investasi intra-ASEAN hanya berkisar 15-20% (ASEAN Investment Report, 2016). Tercatat, ada sepuluh peringkat negara utama investor asing di ASEAN berasal dari luar kawasan yang menguasai sekitar 70-80% total investasi asing yang masuk di ASEAN.
Perlu digarisbawahi bahwa pada 2015 hanya Indonesia yang sumber investasi intra-ASEAN mendapatkan porsi lebih besar dari negara luar ASEAN, yaitu berkisar 56%. Singapura tercatat sebagai negara yang menerima aliran investasi asing dari luar ASEAN dengan persentase cukup signifikan (92%).
Data-data tersebut mengindikasikan bahwa dalam struktur perdagangan dan investasi, Indonesia maupun negara-negara anggota ASEAN lainnya belum memperlihatkan perubahan yang signifikan sesuai yang ditargetkan dalam MEA. Orientasi dengan mitra tradisional (Amerika, Jepang, dan Eropa) masih dominan. Fakta ini menunjukkan agenda MEA masih belum menjadi prioritas dalam kebijakan perdagangan dan investasi negara anggota ASEAN.
Tantangan Lama, Dinamika Baru
MEA sebagai agenda liberalisasi ekonomi, dalam perspektif liberalis dipercaya akan memberikan manfaat bagi seluruh negara anggota. Cetak Biru MEA dengan optimistis telah menekankan hal tersebut melalui empat pilar yang ditargetkan.
Namun, perlu dipahami bahwa tingkat manfaat yang didapatkan oleh semua negara tidak selalu sama. Hal ini bergantung pada seberapa efektif strategi dan kebijakan yang dilakukan dalam mengelola tantangan dan peluang yang dihadirkan oleh MEA.
Indonesia tercatat masih menghadapi tantangan yang sama dari waktu ke waktu, antara lain rendahnya pendidikan angkatan kerja, minimnya pengetahuan masyarakat tentang MEA, dan tingkat kesiapan daerah yang beragam.
Dalam upaya mengatasi tantangan tersebut dibutuhkan kebijakan yang komprehensif dengan didukung oleh kajian-kajian tentang MEA yang seyogianya dilakukan secara berkala dan kontinu. Hasil kajian tahun 2014 tentang daya saing daerah, misalnya, menemukan bahwa di seluruh wilayah di Indonesia sektor manufaktur, pengangkutan, dan komunikasi merupakan sektor yang tertinggal.
Respons pemerintah atas kondisi ini perlu dikaji, begitu pun dampaknya baik di level nasional maupun lokal. Tak hanya itu, sosialisasi secara masif harus tetap dilakukan dalam lima tahun ke depan.
Pendirian AEC Centre oleh Pemerintah Indonesia pada 2015, walau terkesan terlambat dibanding negara ASEAN lain, patut diapresiasi. Namun, fungsi lembaga tersebut perlu dioptimalkan misalnya melakukan sosialisasi sampai ke tingkat lokal, penyedia berbagai informasi terkait MEA, dan sebagai jembatan dalam membangun sinergi antarpemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam konteks ASEAN, situasi internasional yang dinamis juga memberikan tantangan tersendiri. Fenomena Brexit seyogianya menjadi catatan penting, mengingat keluarnya Inggris dari Uni Eropa menjadi tantangan bagi ASEAN untuk meyakinkan setiap negara anggota akan manfaat MEA yang setara.
Apalagi beberapa kajian yang mengkritik kecenderungan praktik ”liberalisasi setengah hati” yang dijalankan oleh negara-negara ASEAN melalui kebijakan proteksi, misalnya, hambatan nontarif. Fakta perlambatan pertumbuhan ekonomi China, yang saat ini juga menjadi mitra utama di ASEAN, perlu dicermati secara serius.
Perlambatan pertumbuhan China ini dituliskan oleh Martin Wolf (Financial Times, 22 Maret 2016) akan berimplikasi salah satunya pada keberlanjutan investasi China yang saat ini mencapai 45% dari GDP. Selain itu, terpilihnya Trump sebagai presiden AS, yang dalam kampanyenya menunjukkan kecenderungan untuk lebih memanfaatkan skema kerja sama bilateral ketimbang multilateral, ditandai mundurnya AS dari kerja sama Trans Pacififc Partnership (TPP), menyisakan sebuah tanda tanya akan masa depan kerja sama regional, termasuk ASEAN.
Di sisi lain mundurnya AS dari TPP dapat dilihat sebagai peluang bagi ASEAN untuk lebih fokus dan solid dalam memainkan peran dan meningkatkan pengaruhnya di kawasan Asia.
(whb)