Tuduhan Makar

Senin, 03 April 2017 - 08:15 WIB
Tuduhan Makar
Tuduhan Makar
A A A
MAKAR. Kata ini dalam pranalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki tiga arti. Pertama, akal busuk, tipu muslihat: segalanya itu sudah diketahui lawannya.

Kedua, perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang dan sebagainya karena menghilangkan nyawa seseorang. Ketiga, perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah (dituduh melakukan).

Kata makar sejak Jumat (31/3) menjadi ramai diperbincangkan kembali. Makar yang populer saat ini tentu saja menyentuh arti kata dalam KBBI yang ketiga, yaitu perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintah.

Makar pada Desember 2016 juga sempat ramai, tapi tak bertahan lama. Masyarakat cepat lupa karena kasus yang diberi judul makar oleh kepolisian itu tidak seheboh namanya.

Dalam pemberitaan KORAN SINDO pada Sabtu (1/4) polisi menangkap pemimpin acara aksi 313 yang juga Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath dan empat orang lain, yakni ZA, IR, VN, MFS, atas dugaan makar pada Kamis (30/3). Keempatnya ditangkap menjelang aksi damai yang akan dilakukan 31 Maret lalu.

Hal serupa pernah dilakukan polisi menjelang aksi 212 Desember tahun lalu. Saat itu polisi menangkap beberapa tokoh seperti Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Ahmad Dhani, Kivlan Zein.

Usaha untuk menjatuhkan pemerintah tentu bukan hal yang mudah. Sejak era reformasi kebebasan menyampaikan pendapat memang lebih ekspresif, vulgar, dan banyak tokoh masyarakat atau politisi yang secara terang-terangan menjadi motor penggerak aksi. Namun, dari semua kegiatan itu, tentu tidak mudah memengaruhi sekitar 257 juta penduduk Indonesia untuk menurunkan pemerintahan yang sah.

Pemilu secara langsung yang dilaksanakan pertama kali pada 2004 memberikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah pusat dan daerah untuk memilih wakilnya secara sungguh-sungguh hingga akhir masa bakti. Kebebasan memilih pemimpin menjadikan penduduk yang mayoritas muslim ini tak mudah tergoda oleh sekelompok orang yang aktif dalam setiap aksi demonstrasi.

Menyampaikan aspirasi hingga membuat skenario aksi menjadi berskala nasional memang harus tetap diwaspadai dan diantisipasi. Namun, menetapkan sejumlah orang sebagai tersangka makar karena terlibat dalam aksi seharusnya polisi lebih berhati-hati.

Untuk sebuah aksi makar tentu dibutuhkan dana yang sangat besar, bukan sekadar cukup besar. Kekuatan yang dibutuhkan juga bukan dari kelompok-kelompok tertentu saja, melainkan harus melibatkan militer, politisi yang memegang kekuasaan tinggi di parlemen dan partai, hingga para tokoh lintas kelompok atau golongan.

Bahkan, sistem dan tata pemerintahan yang sah telah diatur dalam UUD 1945 sehingga untuk menjatuhkan atau memakzulkan presiden tidak bisa dilakukan begitu saja dengan aksi sekelompok kecil golongan.

Dalam era teknologi dan informasi yang tumbuh pesat, berbagai aksi mudah digalang hanya dalam hitungan hari. Namun, munculnya aksi yang bergerak masif dan aktif dalam merespons isu politik tentu harus diwaspadai dan diantisipasi oleh aparat keamanan secepat mungkin. Pencegahan lebih dibutuhkan untuk menangkal terjadinya pembentukan opini yang sesat dalam aksi demonstrasi dan bisa dibangun melalui media komunikasi dan diskusi.

Seorang petinggi negeri yang melakukan tatap muka dengan pemimpin aksi demonstrasi 313 ternyata ampuh untuk menjadikan aksi berjalan damai dan menyampaikan tuntutan dengan cara lebih baik.

Seharusnya cara-cara seperti itu dilakukan sebelum adanya penggalangan aksi sehingga petinggi negeri mengerti apa yang diinginkan oleh sekelompok masyarakat yang harus dilindungi. Penangkapan para pemimpin aksi justru menjadikan pemerintah saat ini terlalu berlebihan dalam merespons suara rakyat, terlebih dengan tuduhan menjatuhkan pemerintahan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4758 seconds (0.1#10.140)