Agama Tidak Harus Terpisah dari Politik
A
A
A
Achmad Jainuri
Direktur Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), Guru Besar UIN Surabaya
Pernyataan Presiden Joko Widodo di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara tentang agama harus terpisah dari politik menimbulkan tanda tanya di sebagian kalangan masyarakat. Isu hubungan antara keduanya sudah lama diperbincangkan oleh komunitas intelektual Indonesia, mulai sejak diperdebatkannya di Konstituante pada masa awal para elite Indonesia menetapkan Dasar Negara Republik Indonesia. Hasil akhir perdebatan itu disepakatinya Pancasila sebagai falsafah hidup sekaligus dasar bernegara. Ini adalah hasil kompromi, terutama antara nasionalis sekuler dan gerbong di belakangnya dan Islam, yang mewakili masyarakat muslim Indonesia. Yang disebut terakhir ini bahkan merelakan tujuh kata yang ada di Mukadimah Undang-Undang Dasar Empat Lima dihapuskan.
Setelah sekian lama, sejak Cak Nur mengeluarkan pernyataan ”Islam Yes, Partai Islam No,” sekarang muncul pernyataan Presiden Joko Widodo tentang pemisahan antara agama (Islam) dan politik. Pernyataan Cak Nur ternyata menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat muslim selama dekade 1970-an, yang sebagian besar menuduh Cak Nur sekuler. Namun, sebenarnya apa yang dilakukan Cak Nur tidak seperti yang dituduhkan orang kebanyakan. Cak Nur hanya menyarankan bahwa saat itu kurang tepat kalau semua potensi umat muslim diarahkan pada kegiatan politik praktis dengan masuk partai politik. Rezim Orde Baru sangat tidak toleran dengan munculnya kekuatan Islam politik, karenanya dengan pendekatan kekuasaan rezim merekayasa untuk memperlemah potensi kekuatan politik umat muslim melalui berbagai bentuk tuduhan makar. Apakah pernyataan Presiden Joko Widodo juga dimaksudkan untuk memperlemah potensi politik umat muslim?
Asumsi penulis, pernyataan Presiden itu ditujukan kepada agama Islam, karena potensi yang dimilikinya. Padahal, jika diingat, manusia itu sesungguhnya adalah makhluk politik (zoon politicon), mungkin ekspresinya yang berbeda. Institusi politik formal adalah negara yang memiliki kedaulatan untuk membawa rakyatnya hidup sejahtera. Agama-agama besar (Islam dan Kristen) menegaskan bahwa kedaulatan yang sesungguhnya ada di tangan Tuhan. Dalam literatur Islam, Allah adalah pemilik kedaulatan atas alam semesta ini. Dalam agama Kristen ditemukan ajaran dalam Kitab Injil bahwa semua yang ada di alam ini ada di bawah perintah dan kontrol Tuhan, dan semuanya tidak akan terjadi tanpa izin-Nya.
Kedaulatan Tuhan tidak sekadar bahwa Tuhan memiliki kekuasaan dan hak untuk menguasai semua yang ada, tetapi Dia selalu dan tanpa kecuali melakukan hal yang demikian itu. Dengan kata lain, Tuhan tidak hanya pemilik kedaulatan secara de jure, tetapi juga secara de facto. Jadi yang dimaksudkan dengan kedaulatan Tuhan adalah kekuasaan Tuhan, kerajaan Tuhan, kebaikan Tuhan, yang semua ini harus diwujudkan di muka bumi ini.
Landasan dasar teologis seperti yang disebutkan di atas itulah yang ingin direalisasikan oleh masing-masing pemeluk agama, meskipun antara keduanya memiliki gaya yang berbeda. Kaum muslim, sebagiannya, terlalu ekspresif dalam proses mewujudkannya dengan secara demonstratif mengusung simbol-simbol Islam. ”Gelegar” simbol inilah yang membuat banyak kalangan menjadi Islamphobia. Padahal, belum tentu juga kalau partai Islam di Indonesia ini memenangkan pemilihan dalam meraih kekuasaan akan sudah siap dengan konsep tata aturan dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan. Banyaknya peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di beberapa daerah, kebanyakan hanya menyentuh hal-hal yang sangat trivial, belum pada persoalan yang substantif.
Sebaliknya, umat kristiani, slow but sure, bisa dengan kemampuannya masuk lorong-lorong kekuasaan tanpa hingar bingar yang menimbulkan kecurigaan banyak pihak, meskipun sebagiannya juga karena memanfaatkan isu pelemahan Islam politik. Pertanyaannya kemudian adalah: apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pemisahan antara agama dan politik itu, Pak Presiden.
***
Dari pengalaman agama-agama besar, termasuk umat kristiani yang dikesankan yakin bahwa agama dan politik terpisah, tidak ditemukan keterpisahan, jika yang dimaksudkan adalah masuknya nilai-nilai etika moral agama dalam semua proses politik. Di negara paling sekuler di dunia, Amerika Serikat, yang mayoritas penduduknya umat kristiani, etika moral agama menjadi dasar pertimbangan penting pengangkatan seorang pejabat publik.
Hampir bisa dipastikan bahwa calon pejabat di sana harus steril dari cacat moral. Ketatnya proses penjaringan pejabat ini berkaitan dengan dampak keputusan yang akan dirasakan oleh masyarakat luas. Dalam meneliti seorang calon pejabat bahkan kandidat presiden, latar belakang kehidupan sehari-hari menjadi aspek yang sangat penting ditelusuri: apakah masa mudanya itu suka minum, gonta-ganti pacar, dan sebagainya. Jangan sampai terjadi, karena kebiasaan masa mudanya suka minum, waktu menjadi menteri pertahanan memutuskan kebijakan keamanan nasional dan bahkan internasional dilakukan dalam keadaan mabuk.
Pada pertengahan 1990-an, penulis mengikuti lewat TV nasional fit and proper test seorang calon hakim agung, Judge Thomas. Melihat jawaban-jawaban yang diberikannya, Thomas memiliki kompetensi yang tidak diragukan kemampuannya dikaitkan dengan posisi yang akan didudukinya. Setelah satu bulan proses itu berjalan, seorang perempuan menyatakan ketidaksetujuannya jika Thomas diangkat menjadi calon hakim agung. Perempuan ini, yang dulunya satu kantor dengan Thomas, bersaksi jika Thomas sering menggambarkan bentuk tubuh perempuan sekantor dengan language body. Dalam tradisi masyarakat Amerika, yang dilakukan oleh Thomas ini termasuk sexual harassment. Kesaksian perempuan sekantornya itu ternyata menjadi pertimbangan penting bagi panel Senator Amerika Serikat untuk tidak mengangkat Thomas menjadi hakim agung.
Yang jelas, tradisi seperti ini tidak terjadi di Indonesia. Jika penerapan nilai-nilai ini yang dimaksudkan oleh Presiden Joko Widodo, sesungguhnya antara agama dan politik tidak terpisah.
Direktur Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), Guru Besar UIN Surabaya
Pernyataan Presiden Joko Widodo di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara tentang agama harus terpisah dari politik menimbulkan tanda tanya di sebagian kalangan masyarakat. Isu hubungan antara keduanya sudah lama diperbincangkan oleh komunitas intelektual Indonesia, mulai sejak diperdebatkannya di Konstituante pada masa awal para elite Indonesia menetapkan Dasar Negara Republik Indonesia. Hasil akhir perdebatan itu disepakatinya Pancasila sebagai falsafah hidup sekaligus dasar bernegara. Ini adalah hasil kompromi, terutama antara nasionalis sekuler dan gerbong di belakangnya dan Islam, yang mewakili masyarakat muslim Indonesia. Yang disebut terakhir ini bahkan merelakan tujuh kata yang ada di Mukadimah Undang-Undang Dasar Empat Lima dihapuskan.
Setelah sekian lama, sejak Cak Nur mengeluarkan pernyataan ”Islam Yes, Partai Islam No,” sekarang muncul pernyataan Presiden Joko Widodo tentang pemisahan antara agama (Islam) dan politik. Pernyataan Cak Nur ternyata menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat muslim selama dekade 1970-an, yang sebagian besar menuduh Cak Nur sekuler. Namun, sebenarnya apa yang dilakukan Cak Nur tidak seperti yang dituduhkan orang kebanyakan. Cak Nur hanya menyarankan bahwa saat itu kurang tepat kalau semua potensi umat muslim diarahkan pada kegiatan politik praktis dengan masuk partai politik. Rezim Orde Baru sangat tidak toleran dengan munculnya kekuatan Islam politik, karenanya dengan pendekatan kekuasaan rezim merekayasa untuk memperlemah potensi kekuatan politik umat muslim melalui berbagai bentuk tuduhan makar. Apakah pernyataan Presiden Joko Widodo juga dimaksudkan untuk memperlemah potensi politik umat muslim?
Asumsi penulis, pernyataan Presiden itu ditujukan kepada agama Islam, karena potensi yang dimilikinya. Padahal, jika diingat, manusia itu sesungguhnya adalah makhluk politik (zoon politicon), mungkin ekspresinya yang berbeda. Institusi politik formal adalah negara yang memiliki kedaulatan untuk membawa rakyatnya hidup sejahtera. Agama-agama besar (Islam dan Kristen) menegaskan bahwa kedaulatan yang sesungguhnya ada di tangan Tuhan. Dalam literatur Islam, Allah adalah pemilik kedaulatan atas alam semesta ini. Dalam agama Kristen ditemukan ajaran dalam Kitab Injil bahwa semua yang ada di alam ini ada di bawah perintah dan kontrol Tuhan, dan semuanya tidak akan terjadi tanpa izin-Nya.
Kedaulatan Tuhan tidak sekadar bahwa Tuhan memiliki kekuasaan dan hak untuk menguasai semua yang ada, tetapi Dia selalu dan tanpa kecuali melakukan hal yang demikian itu. Dengan kata lain, Tuhan tidak hanya pemilik kedaulatan secara de jure, tetapi juga secara de facto. Jadi yang dimaksudkan dengan kedaulatan Tuhan adalah kekuasaan Tuhan, kerajaan Tuhan, kebaikan Tuhan, yang semua ini harus diwujudkan di muka bumi ini.
Landasan dasar teologis seperti yang disebutkan di atas itulah yang ingin direalisasikan oleh masing-masing pemeluk agama, meskipun antara keduanya memiliki gaya yang berbeda. Kaum muslim, sebagiannya, terlalu ekspresif dalam proses mewujudkannya dengan secara demonstratif mengusung simbol-simbol Islam. ”Gelegar” simbol inilah yang membuat banyak kalangan menjadi Islamphobia. Padahal, belum tentu juga kalau partai Islam di Indonesia ini memenangkan pemilihan dalam meraih kekuasaan akan sudah siap dengan konsep tata aturan dalam sistem kenegaraan dan pemerintahan. Banyaknya peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di beberapa daerah, kebanyakan hanya menyentuh hal-hal yang sangat trivial, belum pada persoalan yang substantif.
Sebaliknya, umat kristiani, slow but sure, bisa dengan kemampuannya masuk lorong-lorong kekuasaan tanpa hingar bingar yang menimbulkan kecurigaan banyak pihak, meskipun sebagiannya juga karena memanfaatkan isu pelemahan Islam politik. Pertanyaannya kemudian adalah: apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pemisahan antara agama dan politik itu, Pak Presiden.
***
Dari pengalaman agama-agama besar, termasuk umat kristiani yang dikesankan yakin bahwa agama dan politik terpisah, tidak ditemukan keterpisahan, jika yang dimaksudkan adalah masuknya nilai-nilai etika moral agama dalam semua proses politik. Di negara paling sekuler di dunia, Amerika Serikat, yang mayoritas penduduknya umat kristiani, etika moral agama menjadi dasar pertimbangan penting pengangkatan seorang pejabat publik.
Hampir bisa dipastikan bahwa calon pejabat di sana harus steril dari cacat moral. Ketatnya proses penjaringan pejabat ini berkaitan dengan dampak keputusan yang akan dirasakan oleh masyarakat luas. Dalam meneliti seorang calon pejabat bahkan kandidat presiden, latar belakang kehidupan sehari-hari menjadi aspek yang sangat penting ditelusuri: apakah masa mudanya itu suka minum, gonta-ganti pacar, dan sebagainya. Jangan sampai terjadi, karena kebiasaan masa mudanya suka minum, waktu menjadi menteri pertahanan memutuskan kebijakan keamanan nasional dan bahkan internasional dilakukan dalam keadaan mabuk.
Pada pertengahan 1990-an, penulis mengikuti lewat TV nasional fit and proper test seorang calon hakim agung, Judge Thomas. Melihat jawaban-jawaban yang diberikannya, Thomas memiliki kompetensi yang tidak diragukan kemampuannya dikaitkan dengan posisi yang akan didudukinya. Setelah satu bulan proses itu berjalan, seorang perempuan menyatakan ketidaksetujuannya jika Thomas diangkat menjadi calon hakim agung. Perempuan ini, yang dulunya satu kantor dengan Thomas, bersaksi jika Thomas sering menggambarkan bentuk tubuh perempuan sekantor dengan language body. Dalam tradisi masyarakat Amerika, yang dilakukan oleh Thomas ini termasuk sexual harassment. Kesaksian perempuan sekantornya itu ternyata menjadi pertimbangan penting bagi panel Senator Amerika Serikat untuk tidak mengangkat Thomas menjadi hakim agung.
Yang jelas, tradisi seperti ini tidak terjadi di Indonesia. Jika penerapan nilai-nilai ini yang dimaksudkan oleh Presiden Joko Widodo, sesungguhnya antara agama dan politik tidak terpisah.
(mhd)