Kesehatan Fiskal Daerah
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SETELAH hampir dua dekade era otonomi daerah berjalan, kita perlu bersikap kritis sudah sejauh mana hasil perkembangannya. Pertama, ditinjau dari sisi makroekonomi. Sedikitnya kita bisa mengulas kinerja otonomi daerah dan dampaknya terhadap indikator-indikator kunci pembangunan.
Kedua, bisa kita ukur dari kesehatan fiskal daerah, karena salah satu konsekuensi utama dari era otonomi daerah adalah perluasan desentralisasi fiskal. Pada umumnya indikator kinerja makro diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, kenaikan indeks pembangunan manusia (IPM), penurunan ketimpangan, serta yang paling utama berkaitan dengan pengentasan kemiskinan.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2016), posisi pertumbuhan ekonomi kita tampaknya sudah terlepas dari bayang-bayang krisis ekonomi 1998 yang sempat minus 13,10%. Setelah era Reformasi dan otonomi berjalan, tingkat pertumbuhannya relatif stabil di kisaran 3,5-6,5%. Efek pertumbuhan yang stabil juga mendorong tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk semakin terkendali.
Krisis 1998 meluluhlantakkan sektor-sektor strategis, hingga menyebabkan TPT kita sempat menembus level dua digit. Secara bertahap, angka TPT dapat diturunkan. Bahkan, pada tahun 2016 TPT berhasil ditekan di kisaran angka 5,61%.
Posisi IPM juga membaik. Meskipun relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara utama di ASEAN, angka IPM kita cukup konsisten terus naik.
Nah, masalah pembangunan baru muncul dari sisi pemerataan kesejahteraan. Ide otonomi daerah belum menjawab tuntas tantangan-tantangan fundamental yang melekat pada ketimpangan dan kemiskinan.
Indeks Gini yang mengukur tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat justru tampak semakin memburuk semenjak era otonomi berjalan, dari semula di kisaran 0,30 hingga sempat bertahan lama di angka 0,41.
Posisi tersebut membuat cemas masyarakat karena sempat dikaitkan dengan kesenjangan kesiapan pemerintah daerah dalam mengelola hak-hak otonominya. Belum lagi dengan aspek kemiskinan yang belum betul-betul terentaskan.
Target pemerintah untuk menekan tingkat kemiskinan di bawah satu digit masih sulit terwujud. Kondisi ini kemudian dikait-kaitkan lagi dengan kualitas pengelolaan pemerintah daerah.
Kita perlu ingat, tujuan mendasar dari otonomi dan desentralisasi adalah efisiensi layanan dan penyelenggaraan pemerintahan. Peran pemerintah daerah diperkuat karena dianggap lebih dekat dengan masyarakat sehingga kebijakan-kebijakan strategis dapat segera dirumuskan dengan lebih cepat dan akurat. Kalau sudah demikian, bagaimana dengan target dampak kebijakan otonomi daerah ke depan?
Kesehatan Fiskal dan Efisiensi Layanan
Kerangka konstitusi yang ditelurkan generasi pemerintah pada era Reformasi sebenarnya sudah sangat komprehensif. Pelimpahan wewenang yang bersifat lokal dilampiri dengan dana transfer ke daerah agar kebijakan pemerintah daerah mendapat legitimasi yang lebih kuat.
Perangkat konstitusi sudah diatur dengan sangat detail. Fondasi kebijakan fiskal daerah berinduk pada UU Nomor 33/2004 tentang Dana Perimbangan dan UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Keduanya diarahkan bersifat komplementer. UU PDRD cukup jelas yang paling dikedepankan, karena sifatnya berpihak pada kemandirian fiskal daerah melalui instrumen pendapatan asli daerah (PAD). Sedangkan dana perimbangan sifatnya lebih sebagai penyeimbang ketika PAD tidak cukup mumpuni untuk mendanai layanan pemerintah daerah.
Selanjutnya, konsep desentralisasi ditegaskan bertujuan untuk memperkuat hubungan kausalitas antara layanan pembangunan (melalui belanja pemerintah), kinerja makroekonomi, dan peningkatan penerimaan daerah dan negara.
Semakin berkualitas pengelolaan belanja dan kebijakan publik lainnya, secara normatif semakin baik pula kualitas kesejahteraan dan loyalitas masyarakat terhadap pemerintah. Namun, ada gap tersendiri yang menghambat realisasi konsep tersebut.
Semangat otonomi yang tinggi justru tidak banyak diikuti penguatan kapasitas fiskal daerah. Artinya, dari ketiga unsur kausalitas yang dibahas sebelumnya, terdapat satu atau lebih komponen yang tidak berjalan optimal. Dampaknya sudah tergambarkan dengan cukup jelas melalui kinerja makroekonomi yang akhir-akhir ini lebih sering mengalami kontraksi.
Kapasitas fiskal daerah yang berjalan kurang progresif semakin memperkuat indikasi kegagalan desentralisasi. Tercatat berdasarkan Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) 2016 kemarin, hanya 4 provinsi yang kapasitas fiskalnya sangat tinggi, 8 provinsi dalam skala tinggi, 6 provinsi di kategori sedang, dan 16 sisanya di kategori rendah.
Sejak pemberlakuan UU 28/2009, rata-rata kapasitas daerah relatif stagnan. Kalaupun ada yang meningkat pada umumnya lebih disebabkan kenaikan harga SDA sehingga penerimaan dana bagi hasil(DBH) untuk daerah ikut meningkat.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah melalui dana perimbangan setidaknya perlu dievaluasi secara mendalam agar tidak merusak sistem kemandirian fiskal daerah. Karena dalam praktiknya, terdapat celah yang membuat dana perimbangan justru dianggap “memanjakan” dan sering kali menimbulkan berbagai bentuk mispersepsi.
Ada cerita menarik di lapangan bahwa konon sebagian pemerintah daerah justru “senang” ketika jumlah penduduk miskinnya tetap melimpah. Jumlah penduduk miskin sangat terkait dengan perhitungan IKF dan nantinya berpengaruh pada besaran dana transfer yang diterima (terutama melalui dana alokasi umum/DAU).
Efek negatifnya, pemerintah daerah menjadi kurang bergairah untuk meningkatkan kualitas layanannya. “Strategi” seperti inilah yang kemudian perlu segera ditanggulangi karena kecenderungannya lebih mengarah pada moral hazard.
Selain disebabkan adanya mispersepsi terkait dengan dana perimbangan, ada faktor lain yang turut menghambat betapa sulitnya daerah mewujudkan kemandirian fiskalnya. Kesulitan ini juga dipengaruhi pelaksanaan UU PDRD oleh pemerintah daerah. Penulis sendiri sejak berlakunya UU tersebut pada tahun 2010 silam, sudah rutin mengamati adanya potensi gejala yang dapat menghambat kinerja pemerintah daerah.
Pertama, UU PDRD sangat rawan menimbulkan masalah seperti pemahaman dan penafsiran yang beragam. Persoalan ini mengakibatkan ketentuan objek, tarif, nilai perolehan, dan batasan/definisi pajak tidak mampu diimplementasikan secara optimal.
Pemerintah daerah juga cenderung sulit menerapkan perluasan basis pajak karena menghindari kesalahpahaman dengan pihak lain yang terlibat, serta adanya kesulitan teknis untuk menerapkan perluasan basis pajak. Padahal, semangat dalam UU 28/2009 yang menggantikan eksistensi UU 34/2000 adalah mendorong penguatan kapasitas fiskal daerah, melalui perluasan basis pajak, dan tambahan pajak baru (pajak rokok).
Kedua, kompetensi SDM perpajakan daerah yang masih sangat terbatas. Implikasinya ikut menyebabkan pemerintah daerah cenderung kurang berhati-hati dalam menentukan tarif pajak.
Dalam penentuan tarif pajak, sedikitnya pemerintah daerah harus mempertimbangkan beberapa hal utama, seperti pemahaman mengenai karakteristik daerah dan dampak penetapan tarif terhadap kondisi ekonomi serta penerimaan daerah.
Pemerintah daerah juga sering kali mengabaikan jajak pendapat dengan stakeholders lainnya (misalnya kelompok pengusaha, notaris, dan kelompok wajib pajak lainnya) yang terkait dengan penentuan besaran tarif. Sehingga dalam proses pemungutannya, banyak daerah yang kurang mendapatkan dukungan dan komitmen akibat rendahnya modal sosial dengan stakeholders lainnya.
Ketiga, di luar kritik mengenai substansi UU PDRD, permasalahan berikutnya terkait kemampuan teknis pemerintah daerah dalam pemungutan pajak jenis baru. Setidaknya tantangan yang perlu segera dievaluasi ialah terkait kesiapan pemerintah daerah dalam mengelola pajak pusat yang didaerahkan seperti bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan (PBB P2).
Permasalahan teknis dalam pengelolaannya terkait dengan kesiapan proses administratif yang meliputi validasi dan verifikasi yang dianggap berjalan lambat, infrastruktur pemungutan pajak yang kurang terjangkau dan merata, kesenjangan taksiran NJOP dan harga pasar yang berlaku, ketidakakuratan data piutang pajak daerah, serta kurang meratanya sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat.
Dan yang terakhir, pemerintah daerah juga dianggap kurang tanggap dalam mekanisme insentif dan disincentive. Mekanisme insentif jika berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya sangat terkait dengan kinerja ekonomi di sektor riil.
Kebanyakan para pengusaha sangat sensitif dengan besaran pajak, baik yang ditetapkan pemerintah daerah maupun pusat. Nah, kreativitas pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk mengelola sensitivitas para wajib pajak.
Pemimpin daerah perlu dengan cerdas memberikan insentif pada beberapa lapangan usaha strategis agar kinerja ekonominya terus meningkat. Selain itu, pemerintah daerah perlu meninjau ulang kebijakan tax amnesty di daerah yang sepertinya sudah menjadi tradisi. Misalnya: kebijakan sunset policy di mana kebijakan ini bertujuan mendorong penerimaan daerah serta pengenaan diskon atas sanksi administrasi.
Namun, dampak buruknya akan memanjakan para wajib pajak untuk lalai memenuhi kewajiban-kewajiban administrasi. Kalau memang pemerintah daerah menginginkan tingkat penerimaan terus meningkat, sebaiknya bukan sunset policy yang dipertahankan, melainkan bagaimana pemerintah daerah mendorong kinerja pelayanan dan modal sosial meningkat secara signifikan dan sekaligus ada proses edukasi bagi masyarakat.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
SETELAH hampir dua dekade era otonomi daerah berjalan, kita perlu bersikap kritis sudah sejauh mana hasil perkembangannya. Pertama, ditinjau dari sisi makroekonomi. Sedikitnya kita bisa mengulas kinerja otonomi daerah dan dampaknya terhadap indikator-indikator kunci pembangunan.
Kedua, bisa kita ukur dari kesehatan fiskal daerah, karena salah satu konsekuensi utama dari era otonomi daerah adalah perluasan desentralisasi fiskal. Pada umumnya indikator kinerja makro diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, kenaikan indeks pembangunan manusia (IPM), penurunan ketimpangan, serta yang paling utama berkaitan dengan pengentasan kemiskinan.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2016), posisi pertumbuhan ekonomi kita tampaknya sudah terlepas dari bayang-bayang krisis ekonomi 1998 yang sempat minus 13,10%. Setelah era Reformasi dan otonomi berjalan, tingkat pertumbuhannya relatif stabil di kisaran 3,5-6,5%. Efek pertumbuhan yang stabil juga mendorong tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk semakin terkendali.
Krisis 1998 meluluhlantakkan sektor-sektor strategis, hingga menyebabkan TPT kita sempat menembus level dua digit. Secara bertahap, angka TPT dapat diturunkan. Bahkan, pada tahun 2016 TPT berhasil ditekan di kisaran angka 5,61%.
Posisi IPM juga membaik. Meskipun relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara utama di ASEAN, angka IPM kita cukup konsisten terus naik.
Nah, masalah pembangunan baru muncul dari sisi pemerataan kesejahteraan. Ide otonomi daerah belum menjawab tuntas tantangan-tantangan fundamental yang melekat pada ketimpangan dan kemiskinan.
Indeks Gini yang mengukur tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat justru tampak semakin memburuk semenjak era otonomi berjalan, dari semula di kisaran 0,30 hingga sempat bertahan lama di angka 0,41.
Posisi tersebut membuat cemas masyarakat karena sempat dikaitkan dengan kesenjangan kesiapan pemerintah daerah dalam mengelola hak-hak otonominya. Belum lagi dengan aspek kemiskinan yang belum betul-betul terentaskan.
Target pemerintah untuk menekan tingkat kemiskinan di bawah satu digit masih sulit terwujud. Kondisi ini kemudian dikait-kaitkan lagi dengan kualitas pengelolaan pemerintah daerah.
Kita perlu ingat, tujuan mendasar dari otonomi dan desentralisasi adalah efisiensi layanan dan penyelenggaraan pemerintahan. Peran pemerintah daerah diperkuat karena dianggap lebih dekat dengan masyarakat sehingga kebijakan-kebijakan strategis dapat segera dirumuskan dengan lebih cepat dan akurat. Kalau sudah demikian, bagaimana dengan target dampak kebijakan otonomi daerah ke depan?
Kesehatan Fiskal dan Efisiensi Layanan
Kerangka konstitusi yang ditelurkan generasi pemerintah pada era Reformasi sebenarnya sudah sangat komprehensif. Pelimpahan wewenang yang bersifat lokal dilampiri dengan dana transfer ke daerah agar kebijakan pemerintah daerah mendapat legitimasi yang lebih kuat.
Perangkat konstitusi sudah diatur dengan sangat detail. Fondasi kebijakan fiskal daerah berinduk pada UU Nomor 33/2004 tentang Dana Perimbangan dan UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Keduanya diarahkan bersifat komplementer. UU PDRD cukup jelas yang paling dikedepankan, karena sifatnya berpihak pada kemandirian fiskal daerah melalui instrumen pendapatan asli daerah (PAD). Sedangkan dana perimbangan sifatnya lebih sebagai penyeimbang ketika PAD tidak cukup mumpuni untuk mendanai layanan pemerintah daerah.
Selanjutnya, konsep desentralisasi ditegaskan bertujuan untuk memperkuat hubungan kausalitas antara layanan pembangunan (melalui belanja pemerintah), kinerja makroekonomi, dan peningkatan penerimaan daerah dan negara.
Semakin berkualitas pengelolaan belanja dan kebijakan publik lainnya, secara normatif semakin baik pula kualitas kesejahteraan dan loyalitas masyarakat terhadap pemerintah. Namun, ada gap tersendiri yang menghambat realisasi konsep tersebut.
Semangat otonomi yang tinggi justru tidak banyak diikuti penguatan kapasitas fiskal daerah. Artinya, dari ketiga unsur kausalitas yang dibahas sebelumnya, terdapat satu atau lebih komponen yang tidak berjalan optimal. Dampaknya sudah tergambarkan dengan cukup jelas melalui kinerja makroekonomi yang akhir-akhir ini lebih sering mengalami kontraksi.
Kapasitas fiskal daerah yang berjalan kurang progresif semakin memperkuat indikasi kegagalan desentralisasi. Tercatat berdasarkan Indeks Kapasitas Fiskal (IKF) 2016 kemarin, hanya 4 provinsi yang kapasitas fiskalnya sangat tinggi, 8 provinsi dalam skala tinggi, 6 provinsi di kategori sedang, dan 16 sisanya di kategori rendah.
Sejak pemberlakuan UU 28/2009, rata-rata kapasitas daerah relatif stagnan. Kalaupun ada yang meningkat pada umumnya lebih disebabkan kenaikan harga SDA sehingga penerimaan dana bagi hasil(DBH) untuk daerah ikut meningkat.
Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah melalui dana perimbangan setidaknya perlu dievaluasi secara mendalam agar tidak merusak sistem kemandirian fiskal daerah. Karena dalam praktiknya, terdapat celah yang membuat dana perimbangan justru dianggap “memanjakan” dan sering kali menimbulkan berbagai bentuk mispersepsi.
Ada cerita menarik di lapangan bahwa konon sebagian pemerintah daerah justru “senang” ketika jumlah penduduk miskinnya tetap melimpah. Jumlah penduduk miskin sangat terkait dengan perhitungan IKF dan nantinya berpengaruh pada besaran dana transfer yang diterima (terutama melalui dana alokasi umum/DAU).
Efek negatifnya, pemerintah daerah menjadi kurang bergairah untuk meningkatkan kualitas layanannya. “Strategi” seperti inilah yang kemudian perlu segera ditanggulangi karena kecenderungannya lebih mengarah pada moral hazard.
Selain disebabkan adanya mispersepsi terkait dengan dana perimbangan, ada faktor lain yang turut menghambat betapa sulitnya daerah mewujudkan kemandirian fiskalnya. Kesulitan ini juga dipengaruhi pelaksanaan UU PDRD oleh pemerintah daerah. Penulis sendiri sejak berlakunya UU tersebut pada tahun 2010 silam, sudah rutin mengamati adanya potensi gejala yang dapat menghambat kinerja pemerintah daerah.
Pertama, UU PDRD sangat rawan menimbulkan masalah seperti pemahaman dan penafsiran yang beragam. Persoalan ini mengakibatkan ketentuan objek, tarif, nilai perolehan, dan batasan/definisi pajak tidak mampu diimplementasikan secara optimal.
Pemerintah daerah juga cenderung sulit menerapkan perluasan basis pajak karena menghindari kesalahpahaman dengan pihak lain yang terlibat, serta adanya kesulitan teknis untuk menerapkan perluasan basis pajak. Padahal, semangat dalam UU 28/2009 yang menggantikan eksistensi UU 34/2000 adalah mendorong penguatan kapasitas fiskal daerah, melalui perluasan basis pajak, dan tambahan pajak baru (pajak rokok).
Kedua, kompetensi SDM perpajakan daerah yang masih sangat terbatas. Implikasinya ikut menyebabkan pemerintah daerah cenderung kurang berhati-hati dalam menentukan tarif pajak.
Dalam penentuan tarif pajak, sedikitnya pemerintah daerah harus mempertimbangkan beberapa hal utama, seperti pemahaman mengenai karakteristik daerah dan dampak penetapan tarif terhadap kondisi ekonomi serta penerimaan daerah.
Pemerintah daerah juga sering kali mengabaikan jajak pendapat dengan stakeholders lainnya (misalnya kelompok pengusaha, notaris, dan kelompok wajib pajak lainnya) yang terkait dengan penentuan besaran tarif. Sehingga dalam proses pemungutannya, banyak daerah yang kurang mendapatkan dukungan dan komitmen akibat rendahnya modal sosial dengan stakeholders lainnya.
Ketiga, di luar kritik mengenai substansi UU PDRD, permasalahan berikutnya terkait kemampuan teknis pemerintah daerah dalam pemungutan pajak jenis baru. Setidaknya tantangan yang perlu segera dievaluasi ialah terkait kesiapan pemerintah daerah dalam mengelola pajak pusat yang didaerahkan seperti bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), serta pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan (PBB P2).
Permasalahan teknis dalam pengelolaannya terkait dengan kesiapan proses administratif yang meliputi validasi dan verifikasi yang dianggap berjalan lambat, infrastruktur pemungutan pajak yang kurang terjangkau dan merata, kesenjangan taksiran NJOP dan harga pasar yang berlaku, ketidakakuratan data piutang pajak daerah, serta kurang meratanya sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat.
Dan yang terakhir, pemerintah daerah juga dianggap kurang tanggap dalam mekanisme insentif dan disincentive. Mekanisme insentif jika berkaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya sangat terkait dengan kinerja ekonomi di sektor riil.
Kebanyakan para pengusaha sangat sensitif dengan besaran pajak, baik yang ditetapkan pemerintah daerah maupun pusat. Nah, kreativitas pemerintah daerah sangat dibutuhkan untuk mengelola sensitivitas para wajib pajak.
Pemimpin daerah perlu dengan cerdas memberikan insentif pada beberapa lapangan usaha strategis agar kinerja ekonominya terus meningkat. Selain itu, pemerintah daerah perlu meninjau ulang kebijakan tax amnesty di daerah yang sepertinya sudah menjadi tradisi. Misalnya: kebijakan sunset policy di mana kebijakan ini bertujuan mendorong penerimaan daerah serta pengenaan diskon atas sanksi administrasi.
Namun, dampak buruknya akan memanjakan para wajib pajak untuk lalai memenuhi kewajiban-kewajiban administrasi. Kalau memang pemerintah daerah menginginkan tingkat penerimaan terus meningkat, sebaiknya bukan sunset policy yang dipertahankan, melainkan bagaimana pemerintah daerah mendorong kinerja pelayanan dan modal sosial meningkat secara signifikan dan sekaligus ada proses edukasi bagi masyarakat.
(poe)