Petani pun Kekuatan Revolusioner
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
PETANI tembakau Indonesia merasa sumpek sejak keluarnya Keppres Habibie Nomor 81/1999. Habibie terasa begitu akomodatif terhadap kekuatan-kekuatan asing yang berusaha membungkam napas petani tembakau dan industri pengolahan tembakau nasional kita. Hidup petani menjadi begitu resah berkepanjangan.
Keppres Habibie tadi dibikin belum bisa berlaku oleh Keppres Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Nomor 38/2001. Gus Dur menunda pelaksanaan Keppres tersebut. Hal itu karena menjadi persoalan berat bagi petani tembakau. Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Keppres Nomor 19/2004 mencabut kedua keppres yang keluar sebelumnya. Keppres Nomor 19/2004 itu memperlihatkan sikap pemihakan lebih jelas kepada petani tembakau dan industri nasional.
Tidak mengherankan karena beliau pemimpin kaum Marhaen. Dan petani tembakau jelas bagian dari kaum Marhaen itu. Tapi pemihakan itu berantakan sesudah keluar Keppres SBY Nomor 36/2009, yang disebut UU Kesehatan Nomor 36 yang mencabut Keppres Presiden Magawati Soekarnoputri tadi dicabut. Keppres SBY yang disebut UU Kesehatan Nomor 36 itu diprotes keras oleh petani tembakau. Demo terjadi di mana-mana secara meluas dan berkepanjangan, tapi SBY tak peduli.
Kemudian Keppres itu diubah menjadi RPP (rencana peraturan pemerintah) tahun 2009 tanpa mengubah hal-hal yang merupakan ancaman bagi petani tembakau. Maka RPP pun diprotes terus menerus dan secara berkepanjangan pula. Tanggapan SBY begitu sederhana. Dia hanya mengubah nama tanpa menyentuh esensi persoalan yang membuat petani merasa resah.
Protes petani tembakau ditujukan pada usaha agar RPP tidak pernah berubah menjadi PP (peraturan pemerintah). Bagi petani tembakau, kalau RPP belum dicabut pun tak terlalu menjadi masalah karena selama diprotes itu RPP praktis belum pula berlaku sebagaimana diharapkan. Tapi perlawanan petani tetap disuarakan untuk menandai suara rakyat yang diabaikan oleh pemerintahnya sendiri.
Seperti Habibie, SBY lebih akomodatif terhadap kekuatan-kekuatan asing daripada terhadap rakyatnya. Tak peduli diprotes petani, tak peduli apa yang terjadi pada kaum Marhaen itu, kebijakannya itu jalan terus menempuh kegelapan hati rakyat yang dibikin kecewa tadi.
Selama tiga tahun petani berusaha mengingatkan presiden melalui demo demi demo berkepanjangan agar RPP tak berubah menjadi PP. Tapi usaha sama sekali tak ada hasilnya. Presiden lebih suka mendengarkan suaranya sendiri: RPP dimatangkan menjadi PP Nomor 109/2012. Ini keputusan final. Dan inilah kebijakan yang hingga kini masih berlaku.
Romantika politik petani tembakau berkembang. Mereka mengenang Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri yang memberi mereka tempat untuk bernapas lega di ladang tembakau mereka dan perlindungan yang nyaman. Keppres itu dikapitalisasikan sebagai kekuatan mereka. Tapi bagaimana menjadikan Keppres yang sudah dicabut sebagai kekuatan perlindungan terhadap hidup mereka?
Petani tembakau, di bawah nama APTI, yaitu Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, didukung berbagai organisasi pembela tembakau yang banyak jumlahnya, dan bergerak secara serentak, telah melahirkan gagasan merancang RUU pertembakauan yang menjadi kekuatan hukum yang memberi mereka perlindungan. Kekuatan simbolik Presiden Megawati Soekarnoputri dihidupkan dengan romantisasi yang menyentuh hati sebagai bentuk perlindungan seorang ibu, yang juga presiden.
Di sini perlu diingat, aktor penting bukan cuma negara, bukan cuma pedagang besar asing yang berkuasa mengubah apa saja, dan juga bukan kekuatan-kekuatan lain yang tak terlawan. Petani pun aktor yang tak bisa diabaikan. Jangan dikira petani hanya alat kaum pemodal. Bagi orang yang memahami sejarah revolusi petani di seluruh dunia menjadi paham bahwa petani itu juga kekuatan revolusioner
Ini yang diabaikan oleh mereka—setidaknya dua orang—yang menanggapi RUU pertembakauan dengan menganggap RUU itu hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha. RUU dianggap cermin kepentingan pengusaha besar. Dua orang yang menolak RUU itu melecehkan petani sebagai sekadar instrumen kaum pemodal. Mereka tidak paham bagaimana latar belakang lahirnya RUU ini dan bagaimana dinamika di dalamnya.
Mereka sama sekali tak memahami bahwa ada ketegangan antara petani tembakau dan pihak industri. Di antara mereka sendiri belum ada kesepahaman yang menandakan kekompakan untuk melangkah lebih jauh. Dan mereka tidak tahu bahwa perbedaan ini belum memiliki titik temu. Petani sedang berjuang untuk menata kehidupan mereka menjadi lebih baik. Bagaimana perjuangan itu disebut kepanjangan tangan dunia industri?
Petani memiliki hak hidup. Mereka juga punya hak untuk minta perlindungan. Usaha mereka menuntut hak ini bukan untuk mewakili kepentingan pihak lain. Ini suara aspirasi kaum tani, kaum Marhaen, warga negara yang diabaikan. Ketika RPP sedang disusun, mereka tak dilibatkan. Ketika RPP selesai, mereka tak ajak menilai kembali adakah kebijakan ini cukup adil.
Apa yang disebut sosialisasi kebijakan hanya berlaku di kalangan terbatas tanpa kehadiran petani tembakau. Begitu juga ketika RPP menjadi PP. Di sana hak-hak petani diinjak begitu saja. Petani yang bakal memanggul segenap konsekuensi dari kebijakan itu tak tahu menahu apa yang sudah terjadi dan apa yang bakal terjadi. Negara hadir di dalam dunia yang begitu abstrak, dan petani yang riil yang juga merupakan bagian dari kekuatan-kekuatan revolusioner, diabaikan sama sekali.
Bahkan mereka dianggap sekadar wakil dari suara kepentingan dunia industri. Bung Karno yang selalu menyebut petani sebagai soko guru revolusi, mengakui petani itu punya peranan penting. Dulu soko guru revolusi. Sesudah kita merdeka, di mana petani diberi tempat? Mengapa sesudah lama merdeka, soko guru revolusi itu dirobohkan begitu saja?
Penguasa, yaitu pemerintah, dan siapa saja yang berkuasa tapi melecehkan petani, kelihatannya akan memetik hasil tingkah lakunya. Mereka juga akan dilecehkan oleh sejarah, oleh dinamika kebudayaan yang tak pernah henti menjadi saksi ketidakadilan demi ketidakadilan yang berlangsung terus. Kalau ia penguasa yang dia akan mengakhiri kekuasaannya dengan kegetiran. Dia akan diabaikan, dilupakan, dan bahkan dilecehkan sampai tingkah paling memalukan.
Bukan petani yang melakukan itu. Penguasa hanya memetik hasil tingkah lakunya sendiri. Petani tak mau membalas. Mereka kekuatan revolusioner yang bijak, dan siap untuk diam bila yang dihadapinya penguasa yang sudah kalap, dan lebih memilih pro kepentingan asing daripada melindungi rakyatnya sendiri. Keppres, RPP, dan PP yang menindas petani akan berbalik menindas penguasa.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
PETANI tembakau Indonesia merasa sumpek sejak keluarnya Keppres Habibie Nomor 81/1999. Habibie terasa begitu akomodatif terhadap kekuatan-kekuatan asing yang berusaha membungkam napas petani tembakau dan industri pengolahan tembakau nasional kita. Hidup petani menjadi begitu resah berkepanjangan.
Keppres Habibie tadi dibikin belum bisa berlaku oleh Keppres Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Nomor 38/2001. Gus Dur menunda pelaksanaan Keppres tersebut. Hal itu karena menjadi persoalan berat bagi petani tembakau. Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Keppres Nomor 19/2004 mencabut kedua keppres yang keluar sebelumnya. Keppres Nomor 19/2004 itu memperlihatkan sikap pemihakan lebih jelas kepada petani tembakau dan industri nasional.
Tidak mengherankan karena beliau pemimpin kaum Marhaen. Dan petani tembakau jelas bagian dari kaum Marhaen itu. Tapi pemihakan itu berantakan sesudah keluar Keppres SBY Nomor 36/2009, yang disebut UU Kesehatan Nomor 36 yang mencabut Keppres Presiden Magawati Soekarnoputri tadi dicabut. Keppres SBY yang disebut UU Kesehatan Nomor 36 itu diprotes keras oleh petani tembakau. Demo terjadi di mana-mana secara meluas dan berkepanjangan, tapi SBY tak peduli.
Kemudian Keppres itu diubah menjadi RPP (rencana peraturan pemerintah) tahun 2009 tanpa mengubah hal-hal yang merupakan ancaman bagi petani tembakau. Maka RPP pun diprotes terus menerus dan secara berkepanjangan pula. Tanggapan SBY begitu sederhana. Dia hanya mengubah nama tanpa menyentuh esensi persoalan yang membuat petani merasa resah.
Protes petani tembakau ditujukan pada usaha agar RPP tidak pernah berubah menjadi PP (peraturan pemerintah). Bagi petani tembakau, kalau RPP belum dicabut pun tak terlalu menjadi masalah karena selama diprotes itu RPP praktis belum pula berlaku sebagaimana diharapkan. Tapi perlawanan petani tetap disuarakan untuk menandai suara rakyat yang diabaikan oleh pemerintahnya sendiri.
Seperti Habibie, SBY lebih akomodatif terhadap kekuatan-kekuatan asing daripada terhadap rakyatnya. Tak peduli diprotes petani, tak peduli apa yang terjadi pada kaum Marhaen itu, kebijakannya itu jalan terus menempuh kegelapan hati rakyat yang dibikin kecewa tadi.
Selama tiga tahun petani berusaha mengingatkan presiden melalui demo demi demo berkepanjangan agar RPP tak berubah menjadi PP. Tapi usaha sama sekali tak ada hasilnya. Presiden lebih suka mendengarkan suaranya sendiri: RPP dimatangkan menjadi PP Nomor 109/2012. Ini keputusan final. Dan inilah kebijakan yang hingga kini masih berlaku.
Romantika politik petani tembakau berkembang. Mereka mengenang Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri yang memberi mereka tempat untuk bernapas lega di ladang tembakau mereka dan perlindungan yang nyaman. Keppres itu dikapitalisasikan sebagai kekuatan mereka. Tapi bagaimana menjadikan Keppres yang sudah dicabut sebagai kekuatan perlindungan terhadap hidup mereka?
Petani tembakau, di bawah nama APTI, yaitu Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, didukung berbagai organisasi pembela tembakau yang banyak jumlahnya, dan bergerak secara serentak, telah melahirkan gagasan merancang RUU pertembakauan yang menjadi kekuatan hukum yang memberi mereka perlindungan. Kekuatan simbolik Presiden Megawati Soekarnoputri dihidupkan dengan romantisasi yang menyentuh hati sebagai bentuk perlindungan seorang ibu, yang juga presiden.
Di sini perlu diingat, aktor penting bukan cuma negara, bukan cuma pedagang besar asing yang berkuasa mengubah apa saja, dan juga bukan kekuatan-kekuatan lain yang tak terlawan. Petani pun aktor yang tak bisa diabaikan. Jangan dikira petani hanya alat kaum pemodal. Bagi orang yang memahami sejarah revolusi petani di seluruh dunia menjadi paham bahwa petani itu juga kekuatan revolusioner
Ini yang diabaikan oleh mereka—setidaknya dua orang—yang menanggapi RUU pertembakauan dengan menganggap RUU itu hanya mengakomodasi kepentingan pengusaha. RUU dianggap cermin kepentingan pengusaha besar. Dua orang yang menolak RUU itu melecehkan petani sebagai sekadar instrumen kaum pemodal. Mereka tidak paham bagaimana latar belakang lahirnya RUU ini dan bagaimana dinamika di dalamnya.
Mereka sama sekali tak memahami bahwa ada ketegangan antara petani tembakau dan pihak industri. Di antara mereka sendiri belum ada kesepahaman yang menandakan kekompakan untuk melangkah lebih jauh. Dan mereka tidak tahu bahwa perbedaan ini belum memiliki titik temu. Petani sedang berjuang untuk menata kehidupan mereka menjadi lebih baik. Bagaimana perjuangan itu disebut kepanjangan tangan dunia industri?
Petani memiliki hak hidup. Mereka juga punya hak untuk minta perlindungan. Usaha mereka menuntut hak ini bukan untuk mewakili kepentingan pihak lain. Ini suara aspirasi kaum tani, kaum Marhaen, warga negara yang diabaikan. Ketika RPP sedang disusun, mereka tak dilibatkan. Ketika RPP selesai, mereka tak ajak menilai kembali adakah kebijakan ini cukup adil.
Apa yang disebut sosialisasi kebijakan hanya berlaku di kalangan terbatas tanpa kehadiran petani tembakau. Begitu juga ketika RPP menjadi PP. Di sana hak-hak petani diinjak begitu saja. Petani yang bakal memanggul segenap konsekuensi dari kebijakan itu tak tahu menahu apa yang sudah terjadi dan apa yang bakal terjadi. Negara hadir di dalam dunia yang begitu abstrak, dan petani yang riil yang juga merupakan bagian dari kekuatan-kekuatan revolusioner, diabaikan sama sekali.
Bahkan mereka dianggap sekadar wakil dari suara kepentingan dunia industri. Bung Karno yang selalu menyebut petani sebagai soko guru revolusi, mengakui petani itu punya peranan penting. Dulu soko guru revolusi. Sesudah kita merdeka, di mana petani diberi tempat? Mengapa sesudah lama merdeka, soko guru revolusi itu dirobohkan begitu saja?
Penguasa, yaitu pemerintah, dan siapa saja yang berkuasa tapi melecehkan petani, kelihatannya akan memetik hasil tingkah lakunya. Mereka juga akan dilecehkan oleh sejarah, oleh dinamika kebudayaan yang tak pernah henti menjadi saksi ketidakadilan demi ketidakadilan yang berlangsung terus. Kalau ia penguasa yang dia akan mengakhiri kekuasaannya dengan kegetiran. Dia akan diabaikan, dilupakan, dan bahkan dilecehkan sampai tingkah paling memalukan.
Bukan petani yang melakukan itu. Penguasa hanya memetik hasil tingkah lakunya sendiri. Petani tak mau membalas. Mereka kekuatan revolusioner yang bijak, dan siap untuk diam bila yang dihadapinya penguasa yang sudah kalap, dan lebih memilih pro kepentingan asing daripada melindungi rakyatnya sendiri. Keppres, RPP, dan PP yang menindas petani akan berbalik menindas penguasa.
(kri)