Kematian Patmi dan Nasib Petani Gunung Kendeng

Sabtu, 25 Maret 2017 - 08:39 WIB
Kematian Patmi dan Nasib...
Kematian Patmi dan Nasib Petani Gunung Kendeng
A A A
Ahmad Riza Patria
Wakil Ketua Komisi II DPR RI

PATMI (48), petani asal Gunung Kendeng, Pati, salah seorang demonstran yang mengecor kakinya di depan Istana Merdeka, Jakarta, akhirnya tewas Selasa (21/3) setelah (konon) mendapat serangan jantung. Istana pun mengucapkan belasungkawa atas kematian Patmi, perempuan “pejuang” yang tak lelah menuntut haknya, menolak pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia (PT SI) di kampungnya, di dekat pe­gunungan Kendeng, Rembang.

Apapun penyebab kematian Patmi niscaya masih tetap terkait dengan aksi demo dengan cara mengecor kakinya di depan Istana Presiden tersebut. Kematian Patmi yang telah menjadi “martir” untuk perjuangan melawan “kekuasaan yang semena-mena” pun patut mendapat perhatian kita bersama.

Patmi hanya perempuan desa, tetapi perjuangannya (dengan rela mengecor kakinya di depan Istana untuk tujuan yang lebih besar dari sekadar tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya) patut kita apresiasi. Negara jangan melihat kasus kematian Patmi hanya sebagai “kecelakaan yang tak terhindarkan”, tetapi lihatlah apa yang ia perjuangkan. Patmi dan 10 perempuan lain yang mengecor kakinya di depan Istana adalah sebuah refleksi penolakan rakyat atas kesewenang-wenangan pe­nguasa yang hendak memaksakan kehendaknya, yaitu membangun pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang.

Patmi adalah martir yang memperjuangkan kelestarian lingkungan yang hendak dihan­curkan atas nama investasi senilai Rp7 triliun untuk pabrik semen. Penguasa dan pengusaha konon telah melakukan studi amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) untuk pembangunan pabrik semen itu dan hasilnya, pembangunan pabrik itu tidak merusak lingkungan.

Tapi petani di sekitar Gunung Kendeng yang tidak bodoh menolak alasan tersebut. Bagi petani dan rakyat di sekitar Gunung Kendeng, keberadaan pabrik itu niscaya akan merusak lingkungan, terutama sumber daya air yang sangat vital bagi kehidupan. Mereka khawatir akan kehilangan sawah dan mata pencaharian mereka dari bertani bila pabrik tersebut beroperasi.

“Nanti yang petani jadi buruh, padahal kan tidak sehat. Biarkan kami bekerja dengan alam,” kata Sukinah, salah satu dari “Kartini-Kartini” Kendeng yang menyemen kakinya sebagai bentuk penolakan di depan Istana Negara, April lalu. Para petani juga menuding analisis mengenai dampak lingkungan yang dibuat perusahaan tersebut palsu. Mereka menduga ada manipulasi data oleh para penyusun dokumen amdal agar pabrik semen yang merusak ekosistem karst itu bisa berdiri.

Salah satunya adalah jumlah keberadaan gua, ponor, dan mata air yang tidak sesuai. Dalam amdal, misalnya, tercatat jumlah gua ada 9, padahal di lapangan ada 64 gua. Adapun untuk mata air disebutkan ada 40 buah, tetapi di lapangan tercatat ada 125 sumber mata air. Dalam amdal tidak disebut adanya ponor (satu fitur karst, misalnya lubang di permukaan di mana air dapat masuk ke dalam sistem jaringan air bawah permukaan), tetapi kenyataannya terdapat 28 titik ponor.

Meski protes masyarakat atas berdirinya pabrik semen itu terus berlanjut, PT SI tetap meneruskan pembangunan pabrik semennya. Ahli geologi Dr Surono mengatakan kawasan yang bakal menjadi lokasi penambangan merupakan cekungan air tanah. Menurut Mbah Rono—panggilan akrab ahli Gunung Merapi itu—, kawasan karst Gunung Kendeng merupakan daerah resapan, aliran, dan pelepasan air tanah.

Kawasan tersebut merupakan penyimpan air tanah yang ikut menyuplai kebutuhan air di Pegunungan Kendeng Utara dan sekitarnya. Kita tahu, kawasan karst sangat penting untuk menjaga pasokan air sehingga penambangan karst untuk bahan baku pabrik semen bakal merusak lingkungan dengan tingkat degradasi alam yang sangat parah.

Jika secara ekosistem pembangunan pabrik semen itu bermasalah karena dokumen amdalnya diduga tidak kredibel, secara hukum juga muncul sekian kontroversi. Putusan MA pada 5 Oktober 2016 lalu, misalnya, memenangkan gugatan PK yang diajukan petani Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap PT SI, tetapi ternyata putusan MA itu tak dipedulikan.

Padahal akibat putusan MA itu, izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah untuk PT SI harus dibatalkan dan aktivitas pertambangan karst, termasuk rencana operasional pabrik semen, harus dihentikan. Tapi apa yang terjadi kemudian? Keputusan MA mandul di tangan PT SI. Mereka tidak peduli seakan-akan hukum adalah miliknya.

Sejarah protes petani Rembang dan sekitarnya itu sebetulnya telah lama. Mereka berkali-kali demo menolak kehadiran pabrik semen itu, baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Tapi selama ini perjuangan mereka selalu kandas. Akhirnya mereka pun datang ke Istana Presiden. Mereka melakukan unjuk rasa dengan cara unik di depan Istana: mengecor kakinya dengan semen sebagai simbol protes atas didirikannya pabrik semen yang merusak lingkungan itu.

Harapan mereka, Presiden Jokowi peduli atas keprihatinan rakyatnya. Menurut Joko Prianto, pendamping para petani asal Rembang itu, aksi pengecoran kaki dengan semen ini merupakan simbol pernyataan kepada pemerintah bahwa hadirnya pabrik semen di wilayah pertanian Pegunungan Kendeng dapat merusak sumber kehidupan para petani.

Secercah harapan sempat muncul ketika Presiden Jokowi mengundang sembilan “Kartini” Kendeng untuk berdialog di Istana Negara, Selasa (2/8/2016). Dari pertemuan itu, pemerintah berjanji akan melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) di Pegunungan Kendeng. Dan selama kajian dilakukan, operasi pabrik semen dihentikan. Kajian dilakukan di bawah koordinasi Kepala Staf Kepresidenan dengan melibatkan berbagai instansi, mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM hingga pemerintah daerah setempat.

Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki memperkirakan, kajian itu akan memakan waktu satu tahun. Hasil kajian akan menjadi rujukan dalam mengambil keputusan. Tapi, lagi-lagi, janji-janji tinggal janji. PT SI tak peduli dengan larangan operasi selama masa kajian itu. Juga ketika MA memenangkan gugatan warga (5/10/2016) yang membatalkan objek sengketa. Hasilnya?

Patmi tewas menjadi martir untuk perjuangan petani Rembang di atas. Setelah tewasnya Patmi dan ucapan belasungkawa Istana, kita tunggu sikap Presiden Jokowi. Sejauh mana keberpihakannya kepada para petani yang termarginalkan itu! Ingat, kata David Suzuki, sekecil apa pun kerusakan lingkungan, nilainya tak bisa diukur dengan uang. Tujuh triliun rupiah investasi itu tak akan menutupi kerugian akibat nestapa anak cucu kita dan warga Rembang di masa depan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8069 seconds (0.1#10.140)