Haul Bung Hatta, Eksistensi KPK, dan Korupsi E-KTP
A
A
A
Dr Vishnu Juwono
Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia
MARET ini terdapat dua peristiwa dan momentum yang bertolak belakang terkait agenda antikorupsi di Indonesia. Pada 14 Maret merupakan Haul Proklamator serta Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia Muhammad Hatta.
Bung Hatta dikenal dengan komitmennya kuat membentuk pemerintah yang bersih di Indonesia. Sayangnya, acara haul tersebut ternoda dengan pengungkapan kasus korupsi pengadaan e-KTP yang diduga merugikan negara lebih dari Rp2 triliun.
Dalam dakwaan jaksa terhadap dua pejabat Kementerian Dalam Negeri diduga dana Rp1 triliun mengalir ke kantong 37 anggota DPR. Ini menunjukkan bahwa korupsi terus-menerus merusak tata kelola negara RI, bahkan dalam skala jauh lebih besar dibandingkan saat Bung Hatta masih aktif berpolitik pada 1940-1960-an.
Bung Hatta dan rekan-rekannya selama era demokrasi parlementer di Indonesia pada 1950-an diidentifikasikan sebagai kelompok administrator (Feith, 1965). Kelompok administrator yang de facto dipimpin Bung Hatta mempunyai kemampuan administrasi publik dan keahlian teknis yang mumpuni serta keinginan untuk menegakkan nilai-nilai etika tinggi di antaranya mendorong reformasi administrasi (Feith, 1965).
Kelompok administrator ini menginginkan sistem politik demokrasi parlementer dengan didukung oleh birokrasi bersih dan sistem penegakan hukum yang independen.
Walaupun pengaruh politik kelompok administrator ini awalnya cukup kuat (dimotori Partai Masyumi dan PSI), secara perlahan pengaruh mereka menurun akibat berbagai miskalkulasi politik seperti bergabungnya tokoh penting mereka dalam gerakan makar PRRI pada 1958.
Hatta pada 1956 mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Salah satu alasan utama beliau mengundurkan diri adalah rasa frustrasinya terhadap korupsi yang sudah sistemik serta melibatkan pejabat tinggi negara (Noer, 1990). Namun, reputasi Hatta sebagai tokoh bersih dari korupsi membuat kiprah politiknya tidak redup.
Saat Presiden Soeharto tersudut oleh mahasiswa kritis terkait masalah korupsi yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaannya pada 1970-an, ia meminta bantuan Bung Hatta untuk bergabung dalam Komisi IV.
Komisi IV dibentuk oleh Soeharto untuk meredakan kritikan terhadap pemerintahnya dan ditugaskan melakukan analisis serta rekomendasi kepadanya mengenai korupsi yang terjadi di lembaga negara dan BUMN strategis.
Sepertinya Bung Hatta menyadari bahwa komisi tersebut akan mempunyai otoritas terbatas hingga hanya bersedia menjadi penasihat pada Komisi IV. Walau dengan otoritas terbatasnya, Komisi IV berhasil membuat laporan sangat komprehensif dengan analisis yang begitu tajam mengenai anatomi 2korupsi di lembaga penegakan hukum serta BUMN strategis seperti Pertamina, Bulog, dan Perhutani.
Karena isinya diduga menyudutkan pejabat tinggi kepercayaannya, Soeharto enggan membuka laporan dari Komisi IV kepada publik. Akhirnya publik mengetahui isi seluruh laporan Komisi IV setelah dibocorkan oleh harian Sinar Harapan pada 1970 (Mackie, 1970).
Akhirnya usaha Bung Hatta untuk kembali lagi berpolitik salah satunya untuk memberantas korupsi menemui jalan buntu pada masa Orde Baru. Keinginannya untuk mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) tidak diizinkan oleh Soeharto pada 1967 dengan alasan pemerintah sedang menyederhanakan jumlah partai politik.
Sebelum wafat, Bung Hatta melakukan usaha terakhirnya dengan mengirim surat pribadi yang kritis terhadap Soeharto. Ia sangat kecewa bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi "budaya". Pejabat tinggi saat itu bukan menunjukkan hidup sederhana, malah bangga memperlihatkan gaya hidup mewahnya (Noer, 1990).
Sebenarnya harapan mewujudkan visi dari Bung Hatta untuk tata kelola pemerintahan yang bersih dari korupsi mendapatkan momentumnya pada Era Reformasi dengan berdiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2002.
Di tengah-tengah masalah korupsi yang semakin sistemik di pemerintahan, KPK ternyata dapat menjalankan mandatnya dengan membongkar kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2004, kasus mafia pengadilan yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar pada 2013, dan kasus Wisma Atlet di Hambalang yang menimbulkan kerugian negara puluhan miliar rupiah.
Namun, timbul kasus pengadaan e-KTP hampir bersamaan dengan perayaan Haul Bung Hatta ini mengingatkan kembali rasa frustrasi dari Wakil Presiden pertama RI tersebut pada 1940-1970-an. Berbagai indikator internasional menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan signifikan dalam mengurangi tingkat korupsi di Indonesia. Nilai corruption perception index (CPI) Indonesia bergerak lambat hampir stagnan dengan terakhir pada 2016 hanya memperoleh nilai 37 dari maksimum 100.
Menurut survei Global Corruption Barometer (GCB) pada 2017 oleh Transparency International (TI), 65% masyarakat percaya bahwa tingkat korupsi meningkat. Survei GCB mengidentifikasikan DPR menjadi lembaga negara yang paling tidak dipercaya di mana 46% masyarakat beranggapan mayoritas anggota DPR korup.
Sedangkan di urutan kedua adalah pemerintah di mana 44% masyarakat beranggapan mayoritas pejabat eksekutif korup. Tidak heran bila DPR bersikap reaktif dengan terus melakukan usaha revisi UU Nomor 30/2002 dengan tujuan memperlemah KPK.
Melalui amendemen tersebut, otoritas KPK dalam melakukan penuntutan berupaya dihapuskan, dengan dikembalikan kepada jaksa agung. Selain itu, wewenang untuk melakukan penyadapan oleh KPK, fungsi penting untuk melakukan operasi tangkap tangan, juga harus memperoleh izin dari pengadilan.
Menariknya, dua penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) akan mempunyai potensi peranan penting dalam penyelesaian kasus pengadaan e-KTP ini. Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi penerima BHACA pada 2004 saat sebagai Bupati Solok dalam dakwaan jaksa diduga turut menerima dana hasil korupsi proyek e-KTP mencapai lebih dari Rp40 miliar sehingga berpotensi berperan sebagai justice collaborator yang penting jika ia ingin membantu mengungkapkan kasus ini secara tuntas.
Tokoh penerima BHACA lain tidak lain adalah Presiden Joko Widodo saat ia masih menjabat sebagai Wali Kota Solo pada 2010. Sebagai penerima BHACA, Presiden Jokowi diharapkan dapat terus mewujudkan visi Bung Hatta, yakni terbentuk pemerintah yang bersih. Terlebih, berdasarkan survei GCB 2017, 64% masyarakat beranggapan pemberantasan korupsi pemerintah telah berjalan dengan baik.
Karena itu, yang dapat dilakukan Presiden adalah mendukung KPK menyelesaikan kasus e-KTP walau melibatkan anggota DPR dari partai-partai pendukung pemerintah. Bentuk dukungannya dengan menginstruksikan Kapolri dan Kajagung untuk membantu KPK mengawal kasus ini hingga tuntas.
Upaya selanjutnya oleh Presiden adalah menjaga eksistensi KPK dengan secara tegas menolak berbagai upaya revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR. Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengidentifikasikan upaya pelemahan KPK melalui judicial review maupun revisi UU KPK oleh vested interest yang telah dilakukan sebanyak 17 kali (Widjojanto, 2016).
Melalui dua langkah penting tersebut, Presiden Jokowi dipastikan akan dapat terus menjaga momentum semangat antikorupsi dan membentuk pemerintah bersih di Indonesia. Dengan demikian, perayaan Haul Bung Hatta akan menjadi lebih bermakna karena sesuai dengan misi yang diperjuangkan oleh beliau dalam berpolitik hingga akhir hayatnya.
Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia
MARET ini terdapat dua peristiwa dan momentum yang bertolak belakang terkait agenda antikorupsi di Indonesia. Pada 14 Maret merupakan Haul Proklamator serta Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia Muhammad Hatta.
Bung Hatta dikenal dengan komitmennya kuat membentuk pemerintah yang bersih di Indonesia. Sayangnya, acara haul tersebut ternoda dengan pengungkapan kasus korupsi pengadaan e-KTP yang diduga merugikan negara lebih dari Rp2 triliun.
Dalam dakwaan jaksa terhadap dua pejabat Kementerian Dalam Negeri diduga dana Rp1 triliun mengalir ke kantong 37 anggota DPR. Ini menunjukkan bahwa korupsi terus-menerus merusak tata kelola negara RI, bahkan dalam skala jauh lebih besar dibandingkan saat Bung Hatta masih aktif berpolitik pada 1940-1960-an.
Bung Hatta dan rekan-rekannya selama era demokrasi parlementer di Indonesia pada 1950-an diidentifikasikan sebagai kelompok administrator (Feith, 1965). Kelompok administrator yang de facto dipimpin Bung Hatta mempunyai kemampuan administrasi publik dan keahlian teknis yang mumpuni serta keinginan untuk menegakkan nilai-nilai etika tinggi di antaranya mendorong reformasi administrasi (Feith, 1965).
Kelompok administrator ini menginginkan sistem politik demokrasi parlementer dengan didukung oleh birokrasi bersih dan sistem penegakan hukum yang independen.
Walaupun pengaruh politik kelompok administrator ini awalnya cukup kuat (dimotori Partai Masyumi dan PSI), secara perlahan pengaruh mereka menurun akibat berbagai miskalkulasi politik seperti bergabungnya tokoh penting mereka dalam gerakan makar PRRI pada 1958.
Hatta pada 1956 mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Salah satu alasan utama beliau mengundurkan diri adalah rasa frustrasinya terhadap korupsi yang sudah sistemik serta melibatkan pejabat tinggi negara (Noer, 1990). Namun, reputasi Hatta sebagai tokoh bersih dari korupsi membuat kiprah politiknya tidak redup.
Saat Presiden Soeharto tersudut oleh mahasiswa kritis terkait masalah korupsi yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaannya pada 1970-an, ia meminta bantuan Bung Hatta untuk bergabung dalam Komisi IV.
Komisi IV dibentuk oleh Soeharto untuk meredakan kritikan terhadap pemerintahnya dan ditugaskan melakukan analisis serta rekomendasi kepadanya mengenai korupsi yang terjadi di lembaga negara dan BUMN strategis.
Sepertinya Bung Hatta menyadari bahwa komisi tersebut akan mempunyai otoritas terbatas hingga hanya bersedia menjadi penasihat pada Komisi IV. Walau dengan otoritas terbatasnya, Komisi IV berhasil membuat laporan sangat komprehensif dengan analisis yang begitu tajam mengenai anatomi 2korupsi di lembaga penegakan hukum serta BUMN strategis seperti Pertamina, Bulog, dan Perhutani.
Karena isinya diduga menyudutkan pejabat tinggi kepercayaannya, Soeharto enggan membuka laporan dari Komisi IV kepada publik. Akhirnya publik mengetahui isi seluruh laporan Komisi IV setelah dibocorkan oleh harian Sinar Harapan pada 1970 (Mackie, 1970).
Akhirnya usaha Bung Hatta untuk kembali lagi berpolitik salah satunya untuk memberantas korupsi menemui jalan buntu pada masa Orde Baru. Keinginannya untuk mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) tidak diizinkan oleh Soeharto pada 1967 dengan alasan pemerintah sedang menyederhanakan jumlah partai politik.
Sebelum wafat, Bung Hatta melakukan usaha terakhirnya dengan mengirim surat pribadi yang kritis terhadap Soeharto. Ia sangat kecewa bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi "budaya". Pejabat tinggi saat itu bukan menunjukkan hidup sederhana, malah bangga memperlihatkan gaya hidup mewahnya (Noer, 1990).
Sebenarnya harapan mewujudkan visi dari Bung Hatta untuk tata kelola pemerintahan yang bersih dari korupsi mendapatkan momentumnya pada Era Reformasi dengan berdiri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2002.
Di tengah-tengah masalah korupsi yang semakin sistemik di pemerintahan, KPK ternyata dapat menjalankan mandatnya dengan membongkar kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2004, kasus mafia pengadilan yang melibatkan Ketua MK Akil Mochtar pada 2013, dan kasus Wisma Atlet di Hambalang yang menimbulkan kerugian negara puluhan miliar rupiah.
Namun, timbul kasus pengadaan e-KTP hampir bersamaan dengan perayaan Haul Bung Hatta ini mengingatkan kembali rasa frustrasi dari Wakil Presiden pertama RI tersebut pada 1940-1970-an. Berbagai indikator internasional menunjukkan bahwa tidak ada perbaikan signifikan dalam mengurangi tingkat korupsi di Indonesia. Nilai corruption perception index (CPI) Indonesia bergerak lambat hampir stagnan dengan terakhir pada 2016 hanya memperoleh nilai 37 dari maksimum 100.
Menurut survei Global Corruption Barometer (GCB) pada 2017 oleh Transparency International (TI), 65% masyarakat percaya bahwa tingkat korupsi meningkat. Survei GCB mengidentifikasikan DPR menjadi lembaga negara yang paling tidak dipercaya di mana 46% masyarakat beranggapan mayoritas anggota DPR korup.
Sedangkan di urutan kedua adalah pemerintah di mana 44% masyarakat beranggapan mayoritas pejabat eksekutif korup. Tidak heran bila DPR bersikap reaktif dengan terus melakukan usaha revisi UU Nomor 30/2002 dengan tujuan memperlemah KPK.
Melalui amendemen tersebut, otoritas KPK dalam melakukan penuntutan berupaya dihapuskan, dengan dikembalikan kepada jaksa agung. Selain itu, wewenang untuk melakukan penyadapan oleh KPK, fungsi penting untuk melakukan operasi tangkap tangan, juga harus memperoleh izin dari pengadilan.
Menariknya, dua penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) akan mempunyai potensi peranan penting dalam penyelesaian kasus pengadaan e-KTP ini. Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi penerima BHACA pada 2004 saat sebagai Bupati Solok dalam dakwaan jaksa diduga turut menerima dana hasil korupsi proyek e-KTP mencapai lebih dari Rp40 miliar sehingga berpotensi berperan sebagai justice collaborator yang penting jika ia ingin membantu mengungkapkan kasus ini secara tuntas.
Tokoh penerima BHACA lain tidak lain adalah Presiden Joko Widodo saat ia masih menjabat sebagai Wali Kota Solo pada 2010. Sebagai penerima BHACA, Presiden Jokowi diharapkan dapat terus mewujudkan visi Bung Hatta, yakni terbentuk pemerintah yang bersih. Terlebih, berdasarkan survei GCB 2017, 64% masyarakat beranggapan pemberantasan korupsi pemerintah telah berjalan dengan baik.
Karena itu, yang dapat dilakukan Presiden adalah mendukung KPK menyelesaikan kasus e-KTP walau melibatkan anggota DPR dari partai-partai pendukung pemerintah. Bentuk dukungannya dengan menginstruksikan Kapolri dan Kajagung untuk membantu KPK mengawal kasus ini hingga tuntas.
Upaya selanjutnya oleh Presiden adalah menjaga eksistensi KPK dengan secara tegas menolak berbagai upaya revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR. Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengidentifikasikan upaya pelemahan KPK melalui judicial review maupun revisi UU KPK oleh vested interest yang telah dilakukan sebanyak 17 kali (Widjojanto, 2016).
Melalui dua langkah penting tersebut, Presiden Jokowi dipastikan akan dapat terus menjaga momentum semangat antikorupsi dan membentuk pemerintah bersih di Indonesia. Dengan demikian, perayaan Haul Bung Hatta akan menjadi lebih bermakna karena sesuai dengan misi yang diperjuangkan oleh beliau dalam berpolitik hingga akhir hayatnya.
(whb)