Moderasi KH Hasyim Muzadi

Sabtu, 18 Maret 2017 - 09:12 WIB
Moderasi KH Hasyim Muzadi
Moderasi KH Hasyim Muzadi
A A A
Rumadi Ahmad
Ketua Lakpesdam PBNU
Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SALAH satu putra terbaik bangsa Indonesia, KH Hasyim Muzadi, sudah dipanggil menghadap pencipta-Nya dalam usia menjelang 73 tahun (16/3/2017). Setelah menderita sakit sejak awal tahun ini, keluar masuk rumah sakit, Kiai Hasyim demikian beliau biasa dipanggil akhirnya meninggalkan kita selama-lamanya.

Kiai Hasyim tumbuh, berkembang dan besar melalui organisasi yang sangat dicintainya, Nahdlatul Ulama (NU). Beliau bisa dikatakan sebagai tokoh yang hampir sepanjang hidupnya hidup dalam organisasi. Kariernya dalam NU benar-benar dirintis dari bawah.

Mulai ranting, GP Ansor, PCNU Malang, PWNU Jawa Timur, sampai menjadi ketua umum PBNU dua periode, 1999-2009. Meskipun beliau bukan putra seorang kiai besar, karena kemampuan keilmuan dan keterampilannya berorganisasi, Kiai Hasyim mampu menjadi tokoh yang sangat berpengaruh, bukan hanya di lingkungan NU, melainkan juga pada level nasional, bahkan internasional.

Kiai Hasyim termasuk kiai NU yang mempunyai kemampuan orasi di atas rata-rata. Bukan model orasi yang meledak-ledak penuh provokasi, melainkan model orasi yang sangat tipikal kiai NU, tajam tapi jenaka. Setiap mengawali pidato di manapun, Kiai Hasyim tidak buru-buru memberi salam pada audiensnya.

Beliau akan diam sejenak, seperti menenangkan diri dengan membaca doa dan mengumpulkan energi. Beberapa saat kemudian, wajah beliau mulai menatap orang-orang yang hadir, dengan mengucapkan salam yang pelan dan datar: assalamu alaikum warah­matullahi wabarakatuh...

Dalam setiap pidato, seserius apapun persoalan yang disampaikan, Kiai Hasyim selalu menyelipkan joke-joke segar. Humor memang sudah menjadi bagian dari cara komunikasi kiai-kiai NU, termasuk Kiai Hasyim. Hal yang sama juga sering dilakukan Gus Dur, Gus Mus, Mbah Maemun Zubair, dan kiai-kiai NU lainnya.

Ketika banyak pengurus NU yang tidak maksimal bekerja untuk NU atau melakukan hal-hal yang menyimpang dari yang digariskan misalnya, Kiai Hasyim akan bilang: “sekarang banyak pengurus NU yang tidak ngurusi NU, tapi malah jadi urusan”. Beliau juga sering berseloroh: “kalau beda pendapat sudah biasa, tapi kalau beda pendapatan bisa jadi masalah”.

Ketika banyak anak muda NU yang bergerak di luar struktur NU dan dianggap sudah perlu disemprit, beliau bilang: “...ini bukan hanya NU luar, tapi sudah NU liar...” Ketika anak-anak muda NU banyak mulai pegang dua HP, Kiai Hasyim pernah berseloroh: “....sekarang memang banyak anak-anak NU yang HP-nya dua. Tapi kelakuannya tidak berubah. Selalu miss call kalau telepon. Takut kehabisan pulsa...”

Demikian juga perbedaan qunut antara NU dan Muhammadiyah. Kiai Hasyim bilang: “persoalan qunut sekarang sudah tidak lagi masalah, karena mereka sudah tidak salat subuh...” Demikian­lah, Kiai Hasyim selalu punya cara untuk mengkritik sesuatu. Orang yang dikritik terkadang tidak merasa dikritik, tapi malah tertawa.

Sikap Kebangsaan
Kiai Hasyim merupakan salah satu pilar penting yang mengukuhkan Islam dan kebangsaan. Sebagaimana paham keagamaan dan kebangsaan yang digariskan NU, Islam dan kebangsaan bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Islam dan kebangsaan saling membutuhkan dan memperkaya. Dalam kaitan ini, Kiai Hasyim benar-benar menjadi juru bicara ideologi kebangsaan NU.

Salah satu momen krusial yang dihadapi Kiai Hasyim adalah ketika sejumlah politisi di Senayan yang dimotori Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan (PK, sebelum berubah menjadi PKS) dalam Sidang Tahunan MPR tahun 1999 mengusulkan agar tujuh kata Piagam Jakarta dikembalikan ke dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945.

Sebagaimana diketahui, tujuh kata Piagam Jakarta:“.....dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya...“ yang mulanya merupakan titik kompromi founding fathers kelompok “nasionalis Islam” dan “nasionalis sekuler” akhirnya dicoret karena tekanan sejumlah tokoh dari Indonesia bagian timur.

Menghadapi usulan itu, KH Hasyim Muzadi yang saat itu sudah menjabat sebagai ketua umum PBNU, bersama dengan Buya Syafii Maarif selaku ketua umum PP Muhammadiyah, melakukan konferensi pers bersama yang berisi penolakan gagasan itu. NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan utama umat Islam Indonesia justru yang menolak gagasan pengembalian Piagam Jakarta.

Kiai Hasyim paham betul apa implikasi dan harga yang harus dibayar bangsa Indonesia jika Piagam Jakarta dihidupkan dalam UUD 1945. Kiai Hasyim seolah ingin “mengamankan” keputusan yang sudah diambil tokoh-tokoh Islam, terutama KH Wahid Hasyim yang menerima pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta. Atas sikap NU dan Muhammadiyah tersebut, keinginan sejumlah partai politik tersebut bisa dihentikan.

Berkaca dari hal tersebut, jika sekarang ini ada sejumlah kalangan umat Islam yang masih menginginkan menghidupkan Piagam Jakarta jelas berlawanan dengan sikap kebangsaan yang sudah ditunjukkan NU dan Muhammadiyah. Mengapa? Karena tanpa Piagam Jakarta, Indonesia sudah dianggap negara yang sah secara syar’i.

Sikap Moderat

Di samping persoalan kebangsaan, Kiai Hasyim, sebagaimana tokoh NU pada umumnya, dikenal kenal sebagai ulama yang moderat. Bukan hanya menunjukkan sikap moderat, tapi juga memperjuangkan moderatisme sebagai pilihan sikap keberagamaan. Meski demikian, bukan berarti sikap moderat kiai-kiai NU semua sama dan sebangun.

Sikap moderatnya Gus Dur dan Kiai Hasyim dalam menghadapi sejumlah persoalan bisa saja berbeda. Dalam menghadapi isu-isu mutakhir seperti soal Ahmadiyah, hambatan pendirian rumah ibadah dan sebagainya Gus Dur dan Kiai Hasyim sering berbeda. Dalam menghadapi penyerangan sejumlah aktivis di Monas pada 2008, kedua tokoh ini juga berbeda.

Moderatisme Gus Dur mungkin dianggap Kiai Hasyim terlalu permisif, sedangkan Kiai Hasyim tampak tidak mau terlalu permisif. Kiai Hasyim tampak tidak keberatan dengan pembubaran Ahmadiyah, sedangkan Gus Dur bersikukuh tidak setuju dengan gagasan itu. Tidak mengherankan ketika tidak lagi menjabat ketua umum PBNU, Kiai Hasyim tampak lebih mesra dengan pimpinan FPI Rizieq Shihab. Sikap-sikap Kiai Hasyim dalam menghadapi sejumlah persoalan, juga tampak selaras dengan sikap Rizieq Shihab.

Meski demikian, sekitar tahun 2005-2006, ketika desakan untuk pembubaran Ahmadiyah menguat, dan ada kekuatan yang mendorong PBNU mengeluarkan sikap yang sama dengan MUI tentang kesesatan Ahmadiyah, Kiai Hasyim Muzadi justru yang menolak. Padahal, ketika itu banyak kiai yang setuju untuk menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat menyesatkan (dhallun mudhillun). Akibat sikap Kiai Hasyim itu, hingga sekarang PBNU tidak pernah mengeluarkan sikap resmi mengenai kesesatan Ahmadiyah.

Atas dasar uraian tersebut, moderatisme kiai-kiai NU sebenarnya bukanlah moderatisme yang statis dan tunggal, melainkan moderatisme yang dinamis dan selalu berkembang. Di sinilah pentingnya kader-kader NU memahami keanekaragaman sikap moderat tokoh-tokohnya, untuk diramu, diolah menjadi sikap moderat baru guna menghadapi perkembangan masyarakat. Dengan keanekaragaman sikap moderat itu, kita mempunyai banyak pilihan untuk mengambil sikap, tanpa harus terjebak pada sikap membabi buta.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5813 seconds (0.1#10.140)