Keadaban Profesor
A
A
A
Prof. Dr. Sudjito, SH, MSi
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
MERINDING. Perasaan itu menghinggapiku ketika membaca pesan melalui WhatsApp bahwa Permenristek-Dikti No 20 Tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan, dikritisi serius oleh sebelas Forum Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di negeri ini.
Berbagai alasan ilmiah dikemukakan. Dinyatakan bahwa muatan Permenristek-Dikti bertentangan dengan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen; PP 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor; Permendikbud No 78 Tahun 2015 tentang Pemberian Tunjangan Profesi dan Tunjangan Kehormatan bagi Dosen yang Menduduki Jabatan Akademik Profesor.
Sehubungan dengan itu, Permenristek-Dikti No 20 Tahun 2017 perlu direvisi secara menyeluruh. Pendapat dan rekomendasi Forum Senat Akademik tersebut diminta ditindaklanjuti.
Terbayangkan, betapa runyamnya kohesivitas antara Menristek-Dikti dengan para profesor bila keduanya saling ngotot, bersikukuh pada pendapatnya. Kalau saja, sedari awal Permenristek-Dikti tersebut dirancang secara bottom up, hati-hati, ada konsultasi ke profesor secara intensif, dipastikan polemik atau “penolakan” dapat dihindarkan.
Namun, “nasi sudah menjadi bubur”. Agar implikasi negatifnya tidak melebar ke mana-mana, sebaiknya segera ada pertemuan, duduk satu meja, bermusyawarah untuk mencapai titik temu. Hindarkan saling menyalahkan satu terhadap lainnya.
Setahu saya, Permenristek-Dikti sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan, dapat dikategorikan sebagai sah, apabila berbasis moralitas hukum, antara lain: tidak hadir sebagai ancaman, dan tidak memberikan kewajiban yang berlebihan kepada sasaran.
Bukankah Permendikbud No78 Tahun 2013 perlu dievaluasi dulu, dan mestinya evaluasi pertama kali tahun 2018?! Evaluasi itu penting. Konsistensi dan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan.
Dari evaluasi, akan diketahui, faktor-faktor kendalanya sehingga publikasi profesor di jurnal internasional rendah. Kendala-kendala itulah yang mesti dibenahi. Rasanya kurang bijak, bila tiba-tiba profesor langsung dipojokkan, diancam, dan disalahkan.
Dibandingkan dengan profesi-profesi lain, profesor bagaimanapun masih unggul moralitasnya. Tunjangan profesi lain, semisal: hakim, jaksa, polisi, atau pegawai pajak, tidak dipersoalkan, sementara tunjangan profesor diancam dihentikan bila tidak memiliki karya ilmiah internasional. Adilkah, etiskah, “orang-orang tua” diperlakukan diskriminatif demikian?
Sudah tentu semua pihak setuju bahwa kinerja profesor perlu ditingkatkan, utamanya perihal publikasi di jurnal internasional. Kita awali upaya itu dari hal paling mendasar, yakni keadaban profesor. Keadaban, berasal dari kata ‘adab’ artinya budi pekerti luhur.
Bicara tentang keadaban profesor mencakup segala hal tentang keluhuran pemikiran, sikap dan perilaku, maupun budi pekerti dalam pengembangan ilmu, pengamalan ilmu dan teknologi bagi kemaslahatan kehidupan bersama. Substansi ini sepantasnya mendapatkan perhatian.
Pertama, secara sosiologis, profesor dipandang sebagai jabatan prestisius, keren, dan membanggakan. Seorang dosen mestinya berupaya meraih jabatan terhormat ini.
Patut disyukuri bahwa kesempatan, persyaratan, prosedur, dan kewenangan penobatannya telah diatur dalam perundang-undangan. Segala sesuatunya, agar jabatan profesor maupun konsekuensi-konsekuensinya, dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Kedua, dalam perspektif negara hukum, persoalan keadaban profesor harus dikelola dalam bingkai hukum yang berlaku. Pada zaman klasik, hukum itu dikonsepkan sebagai norma moral sosial.
Kandungan nilai-nilai moral sedemikian padat, sehingga tanpa ada teks hukum tertulis pun, perilaku manusia sudah terkendalikan, senantiasa berada di jalan lurus, jalan kebenaran dan keadilan. Ketaatan hukum identik dengan ketaatan pada moral, dan identik pula dengan keadaban.
Manakala keadaban profesor ditempatkan pada bingkai hukum klasik, maka apa yang disebut jalan lurus, jalan kebenaran dan keadilan, harus sudah melekat, terpatri dalam jiwa profesor. Tak boleh ada, setitik noda pun, merusak jati diri profesor berkeadaban.
Ketiga, persoalan menjadi rumit, kompleks, ketika kehidupan berubah di zaman modern. Kehidupan modern berwatak: legal-positivistik, mekanis-linier, dan materialistik. Keadaban profesor di era modernitas adalah keterpenuhannya atas materi-substansial.
Aktualisasi diri sering tertunda manakala kebutuhan materi-substansial belum tercukupi. Perlu diingat, gaji profesor Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karenanya, penilaian kinerja profesor, perlu dilakukan secara cermat dan seksama, dengan tetap menghormati keadabannya.
Fakultas, universitas, koordinator perguruan tinggi swasta, dan kementerian merupakan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab mengondisikan profesor agar dapat secara maksimal melaksanakan tridarma perguruan tinggi, termasuk publikasi di jurnal internasional.
Keadaban profesor dapat dianalogikan sebagai benih-benih kehidupan akademik. Profesor mengemban amanah bagi terwujudnya budaya akademik-holistik berdasarkan nilai-nilai luhur kebangsaan.
Merujuk ajaran Ki Hadjar Dewantara (1936), buah keadaban profesor adalah karya-karya intelektual––baik materiil maupun imateriil––sebagai hasil pendayagunaan cipta, rasa dan karsa di bidang akademik, yang senantiasa merengkuh aspek logika, etika dan estetika. Publikasi di jurnal internasional, hanyalah salah satu wujud budaya akademik-holistik itu.
Jauh lebih bermakna bila karya-karya profesor–apa pun bentuknya–mampu mendorong kehidupan bersama lebih aman, damai, sejahtera, dan produktif. Profesor itu analog pohon besar, kuat, rindang, berumur panjang. Angin semilir bernyanyi di dahannya, sinar matahari menari di daun-daunnya, burung-burung pun riang bersiul merdu, penuh semangat melewati segala musim. Semuanya berkhidmat kepada profesor.
Perwujudan budaya akademik-holistik perlu dikawal secara sistemik. Keadaban profesor tidak boleh dipermainkan sebab sekali keadaban profesor tergusur oleh kepentingan dan terdegradasi oleh kekuasaan, maka tumbanglah pohon akademik, disusul maraknya kejahatan akademik dan kemunafikan akademisi. Pada kondisi demikian, hancurlah fundamen peradaban kehidupan bernegara. Naudzubillah.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
MERINDING. Perasaan itu menghinggapiku ketika membaca pesan melalui WhatsApp bahwa Permenristek-Dikti No 20 Tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan, dikritisi serius oleh sebelas Forum Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri terkemuka di negeri ini.
Berbagai alasan ilmiah dikemukakan. Dinyatakan bahwa muatan Permenristek-Dikti bertentangan dengan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; PP No 37 Tahun 2009 tentang Dosen; PP 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor; Permendikbud No 78 Tahun 2015 tentang Pemberian Tunjangan Profesi dan Tunjangan Kehormatan bagi Dosen yang Menduduki Jabatan Akademik Profesor.
Sehubungan dengan itu, Permenristek-Dikti No 20 Tahun 2017 perlu direvisi secara menyeluruh. Pendapat dan rekomendasi Forum Senat Akademik tersebut diminta ditindaklanjuti.
Terbayangkan, betapa runyamnya kohesivitas antara Menristek-Dikti dengan para profesor bila keduanya saling ngotot, bersikukuh pada pendapatnya. Kalau saja, sedari awal Permenristek-Dikti tersebut dirancang secara bottom up, hati-hati, ada konsultasi ke profesor secara intensif, dipastikan polemik atau “penolakan” dapat dihindarkan.
Namun, “nasi sudah menjadi bubur”. Agar implikasi negatifnya tidak melebar ke mana-mana, sebaiknya segera ada pertemuan, duduk satu meja, bermusyawarah untuk mencapai titik temu. Hindarkan saling menyalahkan satu terhadap lainnya.
Setahu saya, Permenristek-Dikti sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan, dapat dikategorikan sebagai sah, apabila berbasis moralitas hukum, antara lain: tidak hadir sebagai ancaman, dan tidak memberikan kewajiban yang berlebihan kepada sasaran.
Bukankah Permendikbud No78 Tahun 2013 perlu dievaluasi dulu, dan mestinya evaluasi pertama kali tahun 2018?! Evaluasi itu penting. Konsistensi dan harmonisasi antar peraturan perundang-undangan perlu diperhatikan.
Dari evaluasi, akan diketahui, faktor-faktor kendalanya sehingga publikasi profesor di jurnal internasional rendah. Kendala-kendala itulah yang mesti dibenahi. Rasanya kurang bijak, bila tiba-tiba profesor langsung dipojokkan, diancam, dan disalahkan.
Dibandingkan dengan profesi-profesi lain, profesor bagaimanapun masih unggul moralitasnya. Tunjangan profesi lain, semisal: hakim, jaksa, polisi, atau pegawai pajak, tidak dipersoalkan, sementara tunjangan profesor diancam dihentikan bila tidak memiliki karya ilmiah internasional. Adilkah, etiskah, “orang-orang tua” diperlakukan diskriminatif demikian?
Sudah tentu semua pihak setuju bahwa kinerja profesor perlu ditingkatkan, utamanya perihal publikasi di jurnal internasional. Kita awali upaya itu dari hal paling mendasar, yakni keadaban profesor. Keadaban, berasal dari kata ‘adab’ artinya budi pekerti luhur.
Bicara tentang keadaban profesor mencakup segala hal tentang keluhuran pemikiran, sikap dan perilaku, maupun budi pekerti dalam pengembangan ilmu, pengamalan ilmu dan teknologi bagi kemaslahatan kehidupan bersama. Substansi ini sepantasnya mendapatkan perhatian.
Pertama, secara sosiologis, profesor dipandang sebagai jabatan prestisius, keren, dan membanggakan. Seorang dosen mestinya berupaya meraih jabatan terhormat ini.
Patut disyukuri bahwa kesempatan, persyaratan, prosedur, dan kewenangan penobatannya telah diatur dalam perundang-undangan. Segala sesuatunya, agar jabatan profesor maupun konsekuensi-konsekuensinya, dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Kedua, dalam perspektif negara hukum, persoalan keadaban profesor harus dikelola dalam bingkai hukum yang berlaku. Pada zaman klasik, hukum itu dikonsepkan sebagai norma moral sosial.
Kandungan nilai-nilai moral sedemikian padat, sehingga tanpa ada teks hukum tertulis pun, perilaku manusia sudah terkendalikan, senantiasa berada di jalan lurus, jalan kebenaran dan keadilan. Ketaatan hukum identik dengan ketaatan pada moral, dan identik pula dengan keadaban.
Manakala keadaban profesor ditempatkan pada bingkai hukum klasik, maka apa yang disebut jalan lurus, jalan kebenaran dan keadilan, harus sudah melekat, terpatri dalam jiwa profesor. Tak boleh ada, setitik noda pun, merusak jati diri profesor berkeadaban.
Ketiga, persoalan menjadi rumit, kompleks, ketika kehidupan berubah di zaman modern. Kehidupan modern berwatak: legal-positivistik, mekanis-linier, dan materialistik. Keadaban profesor di era modernitas adalah keterpenuhannya atas materi-substansial.
Aktualisasi diri sering tertunda manakala kebutuhan materi-substansial belum tercukupi. Perlu diingat, gaji profesor Indonesia masih tergolong rendah. Oleh karenanya, penilaian kinerja profesor, perlu dilakukan secara cermat dan seksama, dengan tetap menghormati keadabannya.
Fakultas, universitas, koordinator perguruan tinggi swasta, dan kementerian merupakan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab mengondisikan profesor agar dapat secara maksimal melaksanakan tridarma perguruan tinggi, termasuk publikasi di jurnal internasional.
Keadaban profesor dapat dianalogikan sebagai benih-benih kehidupan akademik. Profesor mengemban amanah bagi terwujudnya budaya akademik-holistik berdasarkan nilai-nilai luhur kebangsaan.
Merujuk ajaran Ki Hadjar Dewantara (1936), buah keadaban profesor adalah karya-karya intelektual––baik materiil maupun imateriil––sebagai hasil pendayagunaan cipta, rasa dan karsa di bidang akademik, yang senantiasa merengkuh aspek logika, etika dan estetika. Publikasi di jurnal internasional, hanyalah salah satu wujud budaya akademik-holistik itu.
Jauh lebih bermakna bila karya-karya profesor–apa pun bentuknya–mampu mendorong kehidupan bersama lebih aman, damai, sejahtera, dan produktif. Profesor itu analog pohon besar, kuat, rindang, berumur panjang. Angin semilir bernyanyi di dahannya, sinar matahari menari di daun-daunnya, burung-burung pun riang bersiul merdu, penuh semangat melewati segala musim. Semuanya berkhidmat kepada profesor.
Perwujudan budaya akademik-holistik perlu dikawal secara sistemik. Keadaban profesor tidak boleh dipermainkan sebab sekali keadaban profesor tergusur oleh kepentingan dan terdegradasi oleh kekuasaan, maka tumbanglah pohon akademik, disusul maraknya kejahatan akademik dan kemunafikan akademisi. Pada kondisi demikian, hancurlah fundamen peradaban kehidupan bernegara. Naudzubillah.
(poe)