KTP Elektronik dan Pelayanan Publik
A
A
A
Prof. Amzulian Rifai, Ph.D
Ketua Ombudsman RI
DALAM ulang tahunnya yang ke-17 tahun ini yang jatuh esok hari, Ombudsman Republik Indonesia tetap fokus pada kewenangannya dalam mengawasi pelaksanaan pelayanan publik oleh kementerian dan lembaga termasuk BUMN/BHMN atau BUMD. Makin disadari kaitan erat antara pelayanan publik dan korupsi yang endemik.
Korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara dan pemerintahan sering kali memberikan efek luar biasa terhadap pelayanan publik. Korupsi atas anggaran pembangunan fasilitas publik seperti jalan, misalnya, menjadikan publik tidak menikmati jalanan yang layak.
Ketika menjabat sebagai wakil ketua Dewan Pendidikan Provinsi, saya pernah mendapatkan korupsi terhadap renovasi gedung sekolah. Akibatnya, peserta didik tidak dapat bersekolah dengan baik dan menurunkan daya saing mereka.
Implikasinya mungkin terhadap kemampuan mereka lolos dari ujian nasional. Malah di beberapa sekolah, ada kejadian anak murid sekolah dasar yang meninggal tertimpa pagar sekolahnya yang roboh. Padahal baru saja dibangun dengan dana tidak kecil.
Kenyataannya para penyelenggara negara/pemerintahan yang korup tidak memikirkan akibat perbuatan tercela terhadap publik. Syahwat untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga sepertinya lebih kuat daripada memikirkan akibat dari perbuatannya. Keluarga saja tidak dipikirkan, apalagi berempati kepada publik.
Hiruk-pikuk korupsi e-KTP, yang konon merugikan negara sekitar Rp2,3 triliun, berkaitan erat dengan temuan Ombudsman atas kekisruhan pelaksanaannya di lapangan. Publik sangat dirugikan akibat penyelenggaraan pelayanan yang tergolong bermasalah, jauh dari keberadaan pelayanan prima yang dijanjikan.
KTP sebagai Hak Mendasar
Administrasi kependudukan merupakan suatu keniscayaan bagi negara modern dengan berbagai implikasinya. Apalagi, negara modern dan demokratis seperti Indonesia yang masih harus dihadapkan dengan kompleksitas geografis dan demografisnya.
Atas dasar signifikansi itu maka diterbitkan Undang-Undang No 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berbagai aspek administrasi kependudukan diatur dalam UU ini sebagai bentuk keseriusan negara menertibkan warganya.
Khusus tentang urgensi e-KTP diatur dalam Pasal 58 ayat (4) yang menegaskan bahwa e-KTP, antara lain digunakan untuk pemanfaatan: a. pelayanan publik; b. perencanaan pembangunan; c. alokasi anggaran; d. pembangunan demokrasi; dan e. penegakan hukum dan pencegahan kriminal.
Ini artinya ketiadaan kepemilikan KTP maka seorang warga akan menemui berbagai kesulitan yang prinsip. Terlebih lagi berbagai urusan keseharian mensyaratkan kepemilikan KTP. Mulai urusan imigrasi, perbankan, asuransi, pendidikan, fasilitas kesehatan termasuk juga untuk ikut pemilihan umum.
Memang menurut Kemendagri, awal Mei 2016 dan mungkin sekarang lebih baik lagi, bahwa cakupan perekaman e-KTP telah mencapai 86%. Untuk percepatannya, mendagri menerbitkan Surat Edaran No 471/1781/SJ Perihal Percepatan Penerbitan e-KTP dan Akta Kelahiran.
Saat itu surat edaran inilah yang menjadi pangkal soal terjadinya kekisruhan. Di berbagai media massa dikemukakan oleh Kemendagri bahwa penduduk wajib melakukan perekaman paling lambat 30 September 2016.
Ditekankan bahwa apabila tidak melakukan perekaman sebelum tanggal tersebut, maka siapa pun terancam tidak dapat mengurus/memperoleh pelayanan publik dasar lainnya. Penyebabnya karena data kependudukannya akan dinonaktifkan.
Kita mengapresiasi jajaran Kemendagri melakukan berbagai upaya perbaikan. Bagi saya, mendagri dan dirjen Dukcapil menunjukkan keterbukaan dan kerja sama yang tinggi.
Permintaan keterangan oleh Ombudsman direspons cepat dan Mendagri serta para dirjen juga hadir langsung ketika dimintai keterangan oleh Ombudsman. Namun, publik juga harus mengetahui berbagai tantangan dan kekisruhan yang ada.
Berbagai Kekisruhan
Selama ini saja, sebelum diterbitkannya SE Perihal Percepatan Penerbitan e-KTP dan Akta Kelahiran, sudah terjadi berbagai kekisruhan. Ketika berkunjung ke beberapa daerah, Ombudsman menerima berbagai keluhan dari masyarakat misalnya antrean yang lama, adanya pungutan liar atau KTP yang tidak kunjung selesai. Cerita paling banyak adalah keterbatasan blangko dan mesin yang terbatas jumlahnya.
Surat Edaran Mendagri tersebut tidak disertai langkah antisipatif menghadapi lonjakan pendaftaran oleh sekitar 22 juta penduduk. Akibatnya pendaftaran, perekaman, dan pencetakan e-KTP tidak mampu dilayani dengan baik.
Lonjakan tersebut terutama berlangsung hingga akhir September 2016 menjelang waktu “penutupan pendaftaran” sebagaimana ditentukan dalam surat edaran.
Berbagai kekisruhan pelayanan terjadi. Di antara kekisruhan itu adalah antrean panjang, ketidakpastian layanan, kerusakan alat perekam, server yang mati.
Terjadi juga kehabisan blangko, pungutan liar, percaloan, layanan informasi, serta pengaduan yang tidak berjalan. Belum lagi laporan masyarakat bahwa mereka khawatir apabila data mereka tidak terekam, maka datanya akan terhapus atau dinonaktifkan.
Kekisruhan yang terjadi dalam urusan e-KTP bertambah parah dikarenakan faktor infra struktur dan sistem kerja yang bermasalah. Hasil monitoring Ombudsman RI di 50 kabupaten/kota dan di 34 provinsi ditemui hal-hal berikut. Ketersediaan SDM yang kurang. Ditambah lagi sarana dan prasarana tidak mencukupi diperburuk dengan kondisi peralatan yang sudah relatif kurang (pengadaan tahun 2011).
Persoalan di lapangan juga muncul sebagai akibat dari sosialisasi dan informasi kepada pemohon, pelaksana pemberian pelayanan e-KTP tidak sistematis. Malah dikeluhkan pula administrasi anggaran yang tidak jelas antara kewenangan pusat dan daerah.
Terjadi kisruh karena NIK yang ganda atau tidak aktif. Diperburuk dengan kekurangan blangko akibat tidak ada sistem monitoring ketersediaan blangko.
Kondisi manajemen yang kurang baik tadi masih diperparah dengan infra struktur dan sistem kerja yang kurang mendukung. Di antara mesin pencetak, Ombudsman menemukan 23,35% di antaranya dalam kondisi rusak. Malah ada problem dengan koneksi internet karena 51% di antaranya bermasalah.
Lebih parah lagi, hanya 18,6% saja yang tidak terjadi pemadaman listrik. Ini artinya, 81,4% terjadi pemadaman listrik. Padahal e-KTP sangat tergantung dengan hal ini.
Soal nomor induk kependudukan (NIK) juga bermasalah. Terhadap NIK yang hilang, Kemendagri tidak menginfokan. Akibatnya pemohon tidak mengetahui status NIK-nya itu. Di Tangerang, misalnya, terdapat 389.400 NIK tidak aktif yang baru diketahui setelah pemohon mendatangi kantor kecamatan/Dinas Dukcapil.
Demikian juga terhadap kejadian NIK duplikat/ganda. Kekisruhan terjadi karena Kemendagri tidak memberitahukan NIK yang duplikat kepada pemohon. Akibatnya, pemohon tidak mengetahui status NIK-nya yang ganda tersebut. Akibatnya, proses untuk mendapatkan e-KTP tersebut tertunda pula.
Pungli Mengurus KTP
Secara yuridis, jika melakukan pungli dalam melayani publik urusan e-KTP ini sudah jelas sanksinya. Ini diatur dalam Pasal 95 poin b UU Administrasi Kependudukan.
Bahwa siapa saja yang melakukan pemungutan biaya kepada penduduk dalam pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak tujuh puluh lima juta rupiah.
Tapi dalam monitoring oleh Ombudsman RI ditemukan pungli dan percaloan tersebut. Dari kabupaten/kota yang dimonitor ada beberapa bentuk pungli. Terdapat 52,17% calo pengurusan, 19,57% calo antrean, 15,22% permintaan biaya, 2,17% resi prioritas, 2,17% permintaan imbalan, 2,17% penundaan pemberian layanan, 2,17% pembayaran biaya, dan 2,17% kotak sumbangan.
Memperhatikan para pelaku pungli, ini jelas tidak mendukungnya program kerja Mendagri. Ombudsman menemukan 52,17% pelaku pungli adalah petugas kecamatan, 19,57% petugas umumnya, 15,22% merupakan calo e-KTP, 13,04% petugas Disdukcapil, 6,52% biro jasa e-KTP, 2,17% kantor kecamatan
Kondisi Terkini
Bagaimana kondisi e-KTP terkini di Maret 2017? Idealnya, persoalan e-KTP ini sudah tuntas karena terkait dengan hajat hidup orang banyak. Selain itu, mendagri telah all out melakukan berbagai cara agar persoalan ini bisa dituntaskan. Namun kenyataannya, persoalan e-KTP tersebut masih belum tuntas juga.
Kemendagri menerbitkan data tanggal 7 Maret 2017 bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini 257.912.349 dan 182.588.494 di antara mereka wajib memiliki KTP. Faktanya, hanya 171.089.926 saja di antara mereka yang sudah merekam e-KTP. Artinya, ada sejumlah 7.117.423 penduduk yang belum merekam data dirinya.
Artinya, bagi sebagian penduduk, jangankan memegang KTP, merekam data saja belum dilakukan. Belum lagi mereka yang sudah merekam tetapi belum memiliki kartunya. Padahal keabsahan KTP itu ketika penduduk telah memiliki kartunya.
Memang diterbitkan Surat Pengganti KTP bagi mereka yang belum kebagian blangko. Tapi berbagai kesulitan muncul saat berurusan. Hampir semua pemegang surat pengganti KTP tidak dapat berurusan dengan bank, ditolak jika ingin membuat SIM. Begitu juga jika ingin mengurus dokumen keimigrasian seperti paspor.
Seandainya saja, semua peralatan perekaman bukan hanya cukup dari sisi kuantitas tetapi juga bagus dari sisi kualitas, mungkin kekisruhan tidak akan terjadi. Seandainya saja dana e-KTP 2011-2012 sejumlah Rp5,9 triliun itu benar-benar digunakan, mungkin publik tidak dirugikan seperti sekarang ini.
Jangan-jangan bahwa Rp2,3 triliun dari dana itu menjadi bancakan benar adanya. Butuh waktu membuktikannya. Tapi yang sudah pasti publik sudah sangat dirugikan.
Ketua Ombudsman RI
DALAM ulang tahunnya yang ke-17 tahun ini yang jatuh esok hari, Ombudsman Republik Indonesia tetap fokus pada kewenangannya dalam mengawasi pelaksanaan pelayanan publik oleh kementerian dan lembaga termasuk BUMN/BHMN atau BUMD. Makin disadari kaitan erat antara pelayanan publik dan korupsi yang endemik.
Korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara dan pemerintahan sering kali memberikan efek luar biasa terhadap pelayanan publik. Korupsi atas anggaran pembangunan fasilitas publik seperti jalan, misalnya, menjadikan publik tidak menikmati jalanan yang layak.
Ketika menjabat sebagai wakil ketua Dewan Pendidikan Provinsi, saya pernah mendapatkan korupsi terhadap renovasi gedung sekolah. Akibatnya, peserta didik tidak dapat bersekolah dengan baik dan menurunkan daya saing mereka.
Implikasinya mungkin terhadap kemampuan mereka lolos dari ujian nasional. Malah di beberapa sekolah, ada kejadian anak murid sekolah dasar yang meninggal tertimpa pagar sekolahnya yang roboh. Padahal baru saja dibangun dengan dana tidak kecil.
Kenyataannya para penyelenggara negara/pemerintahan yang korup tidak memikirkan akibat perbuatan tercela terhadap publik. Syahwat untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga sepertinya lebih kuat daripada memikirkan akibat dari perbuatannya. Keluarga saja tidak dipikirkan, apalagi berempati kepada publik.
Hiruk-pikuk korupsi e-KTP, yang konon merugikan negara sekitar Rp2,3 triliun, berkaitan erat dengan temuan Ombudsman atas kekisruhan pelaksanaannya di lapangan. Publik sangat dirugikan akibat penyelenggaraan pelayanan yang tergolong bermasalah, jauh dari keberadaan pelayanan prima yang dijanjikan.
KTP sebagai Hak Mendasar
Administrasi kependudukan merupakan suatu keniscayaan bagi negara modern dengan berbagai implikasinya. Apalagi, negara modern dan demokratis seperti Indonesia yang masih harus dihadapkan dengan kompleksitas geografis dan demografisnya.
Atas dasar signifikansi itu maka diterbitkan Undang-Undang No 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berbagai aspek administrasi kependudukan diatur dalam UU ini sebagai bentuk keseriusan negara menertibkan warganya.
Khusus tentang urgensi e-KTP diatur dalam Pasal 58 ayat (4) yang menegaskan bahwa e-KTP, antara lain digunakan untuk pemanfaatan: a. pelayanan publik; b. perencanaan pembangunan; c. alokasi anggaran; d. pembangunan demokrasi; dan e. penegakan hukum dan pencegahan kriminal.
Ini artinya ketiadaan kepemilikan KTP maka seorang warga akan menemui berbagai kesulitan yang prinsip. Terlebih lagi berbagai urusan keseharian mensyaratkan kepemilikan KTP. Mulai urusan imigrasi, perbankan, asuransi, pendidikan, fasilitas kesehatan termasuk juga untuk ikut pemilihan umum.
Memang menurut Kemendagri, awal Mei 2016 dan mungkin sekarang lebih baik lagi, bahwa cakupan perekaman e-KTP telah mencapai 86%. Untuk percepatannya, mendagri menerbitkan Surat Edaran No 471/1781/SJ Perihal Percepatan Penerbitan e-KTP dan Akta Kelahiran.
Saat itu surat edaran inilah yang menjadi pangkal soal terjadinya kekisruhan. Di berbagai media massa dikemukakan oleh Kemendagri bahwa penduduk wajib melakukan perekaman paling lambat 30 September 2016.
Ditekankan bahwa apabila tidak melakukan perekaman sebelum tanggal tersebut, maka siapa pun terancam tidak dapat mengurus/memperoleh pelayanan publik dasar lainnya. Penyebabnya karena data kependudukannya akan dinonaktifkan.
Kita mengapresiasi jajaran Kemendagri melakukan berbagai upaya perbaikan. Bagi saya, mendagri dan dirjen Dukcapil menunjukkan keterbukaan dan kerja sama yang tinggi.
Permintaan keterangan oleh Ombudsman direspons cepat dan Mendagri serta para dirjen juga hadir langsung ketika dimintai keterangan oleh Ombudsman. Namun, publik juga harus mengetahui berbagai tantangan dan kekisruhan yang ada.
Berbagai Kekisruhan
Selama ini saja, sebelum diterbitkannya SE Perihal Percepatan Penerbitan e-KTP dan Akta Kelahiran, sudah terjadi berbagai kekisruhan. Ketika berkunjung ke beberapa daerah, Ombudsman menerima berbagai keluhan dari masyarakat misalnya antrean yang lama, adanya pungutan liar atau KTP yang tidak kunjung selesai. Cerita paling banyak adalah keterbatasan blangko dan mesin yang terbatas jumlahnya.
Surat Edaran Mendagri tersebut tidak disertai langkah antisipatif menghadapi lonjakan pendaftaran oleh sekitar 22 juta penduduk. Akibatnya pendaftaran, perekaman, dan pencetakan e-KTP tidak mampu dilayani dengan baik.
Lonjakan tersebut terutama berlangsung hingga akhir September 2016 menjelang waktu “penutupan pendaftaran” sebagaimana ditentukan dalam surat edaran.
Berbagai kekisruhan pelayanan terjadi. Di antara kekisruhan itu adalah antrean panjang, ketidakpastian layanan, kerusakan alat perekam, server yang mati.
Terjadi juga kehabisan blangko, pungutan liar, percaloan, layanan informasi, serta pengaduan yang tidak berjalan. Belum lagi laporan masyarakat bahwa mereka khawatir apabila data mereka tidak terekam, maka datanya akan terhapus atau dinonaktifkan.
Kekisruhan yang terjadi dalam urusan e-KTP bertambah parah dikarenakan faktor infra struktur dan sistem kerja yang bermasalah. Hasil monitoring Ombudsman RI di 50 kabupaten/kota dan di 34 provinsi ditemui hal-hal berikut. Ketersediaan SDM yang kurang. Ditambah lagi sarana dan prasarana tidak mencukupi diperburuk dengan kondisi peralatan yang sudah relatif kurang (pengadaan tahun 2011).
Persoalan di lapangan juga muncul sebagai akibat dari sosialisasi dan informasi kepada pemohon, pelaksana pemberian pelayanan e-KTP tidak sistematis. Malah dikeluhkan pula administrasi anggaran yang tidak jelas antara kewenangan pusat dan daerah.
Terjadi kisruh karena NIK yang ganda atau tidak aktif. Diperburuk dengan kekurangan blangko akibat tidak ada sistem monitoring ketersediaan blangko.
Kondisi manajemen yang kurang baik tadi masih diperparah dengan infra struktur dan sistem kerja yang kurang mendukung. Di antara mesin pencetak, Ombudsman menemukan 23,35% di antaranya dalam kondisi rusak. Malah ada problem dengan koneksi internet karena 51% di antaranya bermasalah.
Lebih parah lagi, hanya 18,6% saja yang tidak terjadi pemadaman listrik. Ini artinya, 81,4% terjadi pemadaman listrik. Padahal e-KTP sangat tergantung dengan hal ini.
Soal nomor induk kependudukan (NIK) juga bermasalah. Terhadap NIK yang hilang, Kemendagri tidak menginfokan. Akibatnya pemohon tidak mengetahui status NIK-nya itu. Di Tangerang, misalnya, terdapat 389.400 NIK tidak aktif yang baru diketahui setelah pemohon mendatangi kantor kecamatan/Dinas Dukcapil.
Demikian juga terhadap kejadian NIK duplikat/ganda. Kekisruhan terjadi karena Kemendagri tidak memberitahukan NIK yang duplikat kepada pemohon. Akibatnya, pemohon tidak mengetahui status NIK-nya yang ganda tersebut. Akibatnya, proses untuk mendapatkan e-KTP tersebut tertunda pula.
Pungli Mengurus KTP
Secara yuridis, jika melakukan pungli dalam melayani publik urusan e-KTP ini sudah jelas sanksinya. Ini diatur dalam Pasal 95 poin b UU Administrasi Kependudukan.
Bahwa siapa saja yang melakukan pemungutan biaya kepada penduduk dalam pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak tujuh puluh lima juta rupiah.
Tapi dalam monitoring oleh Ombudsman RI ditemukan pungli dan percaloan tersebut. Dari kabupaten/kota yang dimonitor ada beberapa bentuk pungli. Terdapat 52,17% calo pengurusan, 19,57% calo antrean, 15,22% permintaan biaya, 2,17% resi prioritas, 2,17% permintaan imbalan, 2,17% penundaan pemberian layanan, 2,17% pembayaran biaya, dan 2,17% kotak sumbangan.
Memperhatikan para pelaku pungli, ini jelas tidak mendukungnya program kerja Mendagri. Ombudsman menemukan 52,17% pelaku pungli adalah petugas kecamatan, 19,57% petugas umumnya, 15,22% merupakan calo e-KTP, 13,04% petugas Disdukcapil, 6,52% biro jasa e-KTP, 2,17% kantor kecamatan
Kondisi Terkini
Bagaimana kondisi e-KTP terkini di Maret 2017? Idealnya, persoalan e-KTP ini sudah tuntas karena terkait dengan hajat hidup orang banyak. Selain itu, mendagri telah all out melakukan berbagai cara agar persoalan ini bisa dituntaskan. Namun kenyataannya, persoalan e-KTP tersebut masih belum tuntas juga.
Kemendagri menerbitkan data tanggal 7 Maret 2017 bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini 257.912.349 dan 182.588.494 di antara mereka wajib memiliki KTP. Faktanya, hanya 171.089.926 saja di antara mereka yang sudah merekam e-KTP. Artinya, ada sejumlah 7.117.423 penduduk yang belum merekam data dirinya.
Artinya, bagi sebagian penduduk, jangankan memegang KTP, merekam data saja belum dilakukan. Belum lagi mereka yang sudah merekam tetapi belum memiliki kartunya. Padahal keabsahan KTP itu ketika penduduk telah memiliki kartunya.
Memang diterbitkan Surat Pengganti KTP bagi mereka yang belum kebagian blangko. Tapi berbagai kesulitan muncul saat berurusan. Hampir semua pemegang surat pengganti KTP tidak dapat berurusan dengan bank, ditolak jika ingin membuat SIM. Begitu juga jika ingin mengurus dokumen keimigrasian seperti paspor.
Seandainya saja, semua peralatan perekaman bukan hanya cukup dari sisi kuantitas tetapi juga bagus dari sisi kualitas, mungkin kekisruhan tidak akan terjadi. Seandainya saja dana e-KTP 2011-2012 sejumlah Rp5,9 triliun itu benar-benar digunakan, mungkin publik tidak dirugikan seperti sekarang ini.
Jangan-jangan bahwa Rp2,3 triliun dari dana itu menjadi bancakan benar adanya. Butuh waktu membuktikannya. Tapi yang sudah pasti publik sudah sangat dirugikan.
(poe)