Pemimpin yang Memimpin
A
A
A
Mardiansyah M Sidik, SP
Wakil Ketua DPP Partai Perindo
JAKARTA adalah magnet bagi siapa pun di Indonesia. Kota metropolitan ini dipenuhi landmark dan monumen mahapenting dalam sejarah perjuangan bangsa. Sayangnya, ketika kita atau siapa pun mulai menyusuri jalanan Ibu Kota, kesan dan ketakjuban akan landmark dan monumen itu pun sekejap hilang.
Pepohonan kecil dan bunga berwarna-warni berganti dengan kerumunan orang yang berbaris rapi di pinggiran jalan protokol. Tangan kiri mereka mengepal sambil menyanyikan lagu perlawanan.
Kerap kali Jakarta dihiasi para peserta aksi unjuk rasa. Ada apa gerangan? Bila bukan urusan politik, ekonomi, atau hukum tentu saja lantaran warga Jakarta tak puas dengan apa yang telah dilakukan pemimpinnya.
Benarlah kiranya jika seorang pemimpin adalah ing ngarso sung tuladha (di depan sebagai contoh), ing madya mangun karso (di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan), demikian kata bijak Ki Hadjar Dewantara yang menjadi landasan filosofis dalam karakteristik kepemimpinan ideal.
Dengan kata lain, pemimpin yang ideal adalah seseorang yang memiliki karakter kuat, punya visi, inspiratif, dan mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera rakyatnya. Terlalu ideal? Mungkin.
Tapi setiap kelompok masyarakat tentu akan menuntut yang terbaik dari siapa pun yang menjadi pemimpin mereka. Seperti itu pula ekspektasi masyarakat terhadap sosok pemimpin Jakarta yang dalam waktu dekat ini akan melanjutkan memilih pada pilkada putaran kedua demi Jakarta yang semakin baik.
Gary Yukl dalam Leadership in Organizations (1994), menilai bahwa sikap dari para pengikut, dalam hal ini masyarakat, terhadap pemimpin adalah salah satu indikator umum dari efektivitas seorang pemimpin.
Sejauh mana seorang pemimpin memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan harapan mereka? Apakah masyarakat menyukai, menghormati, dan mengagumi pemimpin tersebut? Apakah masyarakat mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan permintaan-permintaan dari pemimpin, ataukah mereka akan menentang, mengabaikan atau menumbangkannya?
Pemimpin Autentik
Untuk sebuah kepemimpinan di Jakarta, tentu saja, krisis autentisitas adalah penyakit serius. Kepemimpinan harus terus-menerus autentik. Ketika pemimpin menyatakan perang melawan korupsi—sambil mengaku siap menghunus pedang—maka dia dan lingkungannya tak boleh terlibat dalam aksi korupsi.
Ketika dia menyerukan agar politik harus dilakukan secara santun, semestinya dia tak membiarkan orang-orang terdekatnya berperilaku ‘galak’ dan tidak toleran.
Sering pula pemimpin Jakarta mengimbau rakyat untuk tidak reaktif kala menyikapi suatu peristiwa. Tapi kita kerap tahu, siapa sebenarnya yang suka bersikap reaktif, ngambekan, dan tidak matang menghadapi kritik.
Gayanya yang lambat dan tidak tegas sering ditutupi dengan istilah ”mengambil langkah-langkah yang matang dan terukur”, padahal hanya berputar-putar bingung.
Di tengah pelbagai persoalan yang mencerminkan krisis autentisitas, rendahnya efektivitas, hingga menurunkan popularitas seorang pemimpin, sebenarnya dapat ditarik benang merah yang menghubungkan setiap persoalan tersebut. James MacGregor Burns dalam Leadership (1978) menyatakan, krisis kepemimpinan terutama ditandai oleh kemerosotan kualitas kepemimpinan politik dalam organisasi.
Burns melihat pentingnya pertanggungjawaban kepemimpinan. Dia mengamati struktur motivasi, nilai-nilai, dan berbagai tujuan, membedakan kepemimpinan satu sama lain dalam hal pengaruh dan kualitas. Burns menekankan kepemimpinan transformasional dan pentingnya kolektivitas dalam kepemimpinan politik.
Penjelasannya cukup rasional, bahwa “one-man leadership” atau kepemimpinan terpusat pada seseorang itu contradictio in terminis. Pemimpin politik bekerja dengan mempertimbangkan potensi dan kebutuhan basis pendukungnya. Kepemimpinan tunggal dan terpusat dengan sendirinya akan rapuh, justru karena mengabaikan potensi kolektivitas.
Belum lagi praktik abuse of power yang kerap bersinggungan dengan kepemimpinan yang mendua antara negara satu sisi dan partai di sisi yang lain. Kepemimpinan politik yang efektif seharusnya bisa mengelola konflik kepentingan yang biasanya terjadi antara partai dan kepentingan pemerintahan.
Negosiasi, konsesi, dan tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan partai semestinya dapat diselesaikan dengan cepat sehingga tidak mengganggu kinerja kepemimpinan dalam mengelola pemerintahan.
Agregasi kepemimpinan yang dinantikan masyarakat pada akhirnya adalah yang berkarakter, bisa dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Ya, yang dibutuhkan Jakarta saat ini adalah pemimpin yang autentik serta pemimpin yang hadir memimpin. Yang mengerti kebutuhan warganya tanpa membeda-bedakan serta berdiri di atas kepentingan semua golongan.
Wakil Ketua DPP Partai Perindo
JAKARTA adalah magnet bagi siapa pun di Indonesia. Kota metropolitan ini dipenuhi landmark dan monumen mahapenting dalam sejarah perjuangan bangsa. Sayangnya, ketika kita atau siapa pun mulai menyusuri jalanan Ibu Kota, kesan dan ketakjuban akan landmark dan monumen itu pun sekejap hilang.
Pepohonan kecil dan bunga berwarna-warni berganti dengan kerumunan orang yang berbaris rapi di pinggiran jalan protokol. Tangan kiri mereka mengepal sambil menyanyikan lagu perlawanan.
Kerap kali Jakarta dihiasi para peserta aksi unjuk rasa. Ada apa gerangan? Bila bukan urusan politik, ekonomi, atau hukum tentu saja lantaran warga Jakarta tak puas dengan apa yang telah dilakukan pemimpinnya.
Benarlah kiranya jika seorang pemimpin adalah ing ngarso sung tuladha (di depan sebagai contoh), ing madya mangun karso (di tengah memberi semangat), tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan), demikian kata bijak Ki Hadjar Dewantara yang menjadi landasan filosofis dalam karakteristik kepemimpinan ideal.
Dengan kata lain, pemimpin yang ideal adalah seseorang yang memiliki karakter kuat, punya visi, inspiratif, dan mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera rakyatnya. Terlalu ideal? Mungkin.
Tapi setiap kelompok masyarakat tentu akan menuntut yang terbaik dari siapa pun yang menjadi pemimpin mereka. Seperti itu pula ekspektasi masyarakat terhadap sosok pemimpin Jakarta yang dalam waktu dekat ini akan melanjutkan memilih pada pilkada putaran kedua demi Jakarta yang semakin baik.
Gary Yukl dalam Leadership in Organizations (1994), menilai bahwa sikap dari para pengikut, dalam hal ini masyarakat, terhadap pemimpin adalah salah satu indikator umum dari efektivitas seorang pemimpin.
Sejauh mana seorang pemimpin memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan harapan mereka? Apakah masyarakat menyukai, menghormati, dan mengagumi pemimpin tersebut? Apakah masyarakat mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan permintaan-permintaan dari pemimpin, ataukah mereka akan menentang, mengabaikan atau menumbangkannya?
Pemimpin Autentik
Untuk sebuah kepemimpinan di Jakarta, tentu saja, krisis autentisitas adalah penyakit serius. Kepemimpinan harus terus-menerus autentik. Ketika pemimpin menyatakan perang melawan korupsi—sambil mengaku siap menghunus pedang—maka dia dan lingkungannya tak boleh terlibat dalam aksi korupsi.
Ketika dia menyerukan agar politik harus dilakukan secara santun, semestinya dia tak membiarkan orang-orang terdekatnya berperilaku ‘galak’ dan tidak toleran.
Sering pula pemimpin Jakarta mengimbau rakyat untuk tidak reaktif kala menyikapi suatu peristiwa. Tapi kita kerap tahu, siapa sebenarnya yang suka bersikap reaktif, ngambekan, dan tidak matang menghadapi kritik.
Gayanya yang lambat dan tidak tegas sering ditutupi dengan istilah ”mengambil langkah-langkah yang matang dan terukur”, padahal hanya berputar-putar bingung.
Di tengah pelbagai persoalan yang mencerminkan krisis autentisitas, rendahnya efektivitas, hingga menurunkan popularitas seorang pemimpin, sebenarnya dapat ditarik benang merah yang menghubungkan setiap persoalan tersebut. James MacGregor Burns dalam Leadership (1978) menyatakan, krisis kepemimpinan terutama ditandai oleh kemerosotan kualitas kepemimpinan politik dalam organisasi.
Burns melihat pentingnya pertanggungjawaban kepemimpinan. Dia mengamati struktur motivasi, nilai-nilai, dan berbagai tujuan, membedakan kepemimpinan satu sama lain dalam hal pengaruh dan kualitas. Burns menekankan kepemimpinan transformasional dan pentingnya kolektivitas dalam kepemimpinan politik.
Penjelasannya cukup rasional, bahwa “one-man leadership” atau kepemimpinan terpusat pada seseorang itu contradictio in terminis. Pemimpin politik bekerja dengan mempertimbangkan potensi dan kebutuhan basis pendukungnya. Kepemimpinan tunggal dan terpusat dengan sendirinya akan rapuh, justru karena mengabaikan potensi kolektivitas.
Belum lagi praktik abuse of power yang kerap bersinggungan dengan kepemimpinan yang mendua antara negara satu sisi dan partai di sisi yang lain. Kepemimpinan politik yang efektif seharusnya bisa mengelola konflik kepentingan yang biasanya terjadi antara partai dan kepentingan pemerintahan.
Negosiasi, konsesi, dan tarik-menarik kepentingan antara pemerintah dan partai semestinya dapat diselesaikan dengan cepat sehingga tidak mengganggu kinerja kepemimpinan dalam mengelola pemerintahan.
Agregasi kepemimpinan yang dinantikan masyarakat pada akhirnya adalah yang berkarakter, bisa dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Ya, yang dibutuhkan Jakarta saat ini adalah pemimpin yang autentik serta pemimpin yang hadir memimpin. Yang mengerti kebutuhan warganya tanpa membeda-bedakan serta berdiri di atas kepentingan semua golongan.
(poe)