Tantangan Transisi Arab Saudi
A
A
A
Dinna Wisnu, PhD
Spesialis Politik Ekonomi Internasional
Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
MINGGU ini Indonesia kedatangan tamu dari Arab Saudi. Kunjungan Raja Salman ke Indonesia mungkin juga didorong keberhasilan Indonesia dalam meyakinkan dunia sebagai salah satu negara yang perekonomiannya memiliki potensi di masa depan.
Posisi diplomasi Indonesia yang bebas aktif di dalam hubungan internasional juga menambah keyakinan akan tujuan Indonesia yang selalu mengedepankan perdamaian dalam setiap kancahnya baik di politik regional maupun dalam persekutuan dengan negara-negara muslim lainnya.
Namun Visi 2030 yang digagas anak tertua Raja Salman, Deputy Crown Price Mohammed bin Salman, mungkin juga adalah motivasi sesungguhnya untuk datang ke Indonesia.
Putra mahkota itu menyiapkan transisi ekonomi Arab Saudi yang dituangkan dalam Visi 2030. Beberapa hal utama Visi 2030 adalah pembentukan sovereign fund, melepaskan ketergantungan dari minyak bumi, privatisasi Aramco, kebebasan tinggal di Arab Saudi, meningkatkan kunjungan ke Arab Saudi hingga mencapai 80 juta pada 2030, membangun industri militer, memperkuat real estat, dan mencegah praktik korupsi.
Di antara visi tersebut, misi perantara adalah mencapai keseimbangan pendapatan negara pada 2020 atau tiga tahun dari saat ini.
Visi 2030 ini dapat disebut sangat ambisius karena meski terlihat indah di atas kertas, implementasinya membutuhkan jawaban terkait kendala-kendala struktural baik ekonomi maupun politik.
Kendala pertama adalah siapa yang akan menggerakkan perekonomian Arab Saudi untuk dapat lepas dari ketergantungan pada pendapatan minyak bumi? Populasi penduduk Arab Saudi menurut data PBB adalah 28 juta orang pada bulan Juli 2016.
Penduduk yang memiliki kewarganegaran Arab Saudi adalah 70% dan sisanya 30% adalah imigran. Para imigran ini sebagian besar bekerja mengisi pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan. Sementara pekerja yang memiliki keterampilan tinggi umumnya mengisi pekerjaan di sektor-sektor swasta.
Ekonomi yang bebas dari minyak bumi mensyaratkan angkatan kerja dengan keterampilan yang tinggi. Hal ini yang masih menjadi pertanyaan besar karena hampir 2/3 dari penduduk Arab Saudi bekerja sebagai pegawai negeri dengan upah 2-3 kali lebih tinggi daripada pekerjaan sejenis bila dilakukan oleh sektor swasta.
Banyak penduduk yang enggan bekerja di sektor swasta karena upah yang akan menjadi rendah. Meskipun pemerintah telah mengurangi pekerjaan di pelayanan publik, tidak serta-merta penduduk Arab Saudi dapat beralih ke sektor swasta. Apabila ini terjadi, diperkirakan akan terjadi kenaikan pengangguran di antara para penduduk usia produktif.
Kedua, keinginan Arab Saudi untuk melakukan diversifikasi dan bebas dari ketergantungan terhadap minyak pada 2020 dengan menciptakan industri-industri yang menciptakan value-added tinggi membutuhkan kerja keras yang sangat hebat.
Untuk menciptakan industri dengan valued-added yang tinggi dan kompetitif, Arab Saudi perlu membangun jaringan supply-chain yang cocok dengan strategi pengembangan ekonominya.
Negara-negara emerging market yang saat ini tumbuh dan mendominasi perdagangan dunia dari kawasan Asia seperti China, negara anggota ASEAN, terkenal dengan puluhan ribu industri menengah dan kecil yang memasuki industri yang lebih besar. Sangat sulit bagi Arab Saudi untuk membangun industri manufaktur karena pasti kalah kompetitif.
Sementara apabila ingin membangun industri dengan padat modal, Arab Saudi harus mempersiapkan tenaga ahli dari dalam negeri yang mumpuni. Apakah dalam waktu yang kurang dari 15 tahun ini Arab Saudi dapat menciptakan tenaga ahli melalui sistem pendidikannya?
Ketiga, salah satu upaya Pemerintah Arab Saudi untuk menutup defisit adalah dengan menjual 5% saham perusahaan minyak nasional, Aramco. Apabila penjualan itu mulus, Pemerintah Arab Saudi mengharapkan dapat menghimpun dana kurang lebih Rp1.350 triliun atau USD2 triliun.
Dana itu yang nanti akan diinvestasikan ke berbagai instrumen keuangan dan investasi. Permasalahannya, Aramco di masa mendatang juga masih memiliki kekhawatiran terkait dengan perkembangan kebijakan ekonomi dunia di bidang lingkungan dan kompetisi dengan minyak bumi dari teknologi fracking.
Ada kecenderungan bahwa harga minyak dunia tidak akan tinggi sehingga menutup kemungkinan investor untuk memperoleh saham Aramco. Beberapa analis bahkan meramalkan di masa depan, pemain utama yang menentukan harga minyak dunia tidak lagi di Timur Tengah, tetapi itu akan diambil alih Amerika Serikat dan Kanada.
Dalam episode perang harga minyak sejak tahun 2010 hingga tahun ini, strategi Arab Saudi untuk membanjiri pasar dengan minyak bumi dan membuat harga rendah agar tetap menjaga mayoritas share-nya di pasar ternyata tidak berhasil dan bahkan menimbulkan defisit.
Pada akhirnya Arab Saudi pun harus menyerah dan mengurangi produksi minyak bumi di pasar agar harga kembali naik hingga batas yang masuk di akal demi pendapatan negara. Memang hal ini berarti akan mengurangi dominasi Arab Saudi di pasar minyak bumi.
Kendala keempat adalah bagaimana cara Pemerintah Arab Saudi mengantisipasi dampak politik dalam negeri dari rencana transisi ekonominya. Penduduk Arab Saudi secara horizontal juga dibagi menurut kelompok-kelompok sektarian atau suku.
Contohnya adalah provinsi timur yang kaya minyak didominasi penduduk muslim Syiah, kemudian ada kelompok lain yang beraliran sufi dan tidak mengakui atau menolak dominasi Wahabi yang menjadi ideologi utama Kerajaan Arab Saudi.
Sementara secara vertikal, penduduk dibagi atas kelas atas yang didominasi keluarga kerajaan, kelas menengah, dan kelas bawah yang terdiri atas buruh atau pekerja migran yang tidak berketerampilan.
Secara perlahan-lahan untuk mencapai Visi 2030, fasilitas dan tunjangan yang telah dinikmati penduduk akan mengalami pengurangan. Dan hal ini memiliki potensi mengurangi loyalitas dari kelas menengah dan dapat mendorong perlawanan dari kelompok-kelompok lain yang memiliki ideologi berbeda.
Beberapa tindakan telah diambil pemerintah untuk membuktikan kesungguhan visi tersebut. Misalnya dengan membatasi kewenangan polisi syariah untuk menghukum dan menangkap orang. Yang paling mengejutkan adalah menghukum mati salah seorang pangeran yang terbukti melakukan pembunuhan.
Tantangan-tantangan di atas hanya sebagian kecil dari tantangan yang akan dihadapi Arab Saudi untuk menuju Visi 2030. Beberapa tantangan lain di antaranya nasib peran Arab Saudi dalam politik regional di Timur Tengah.
Kemudian pengintegrasian ekonomi dalam negeri dengan sistem perekonomian dunia yang membutuhkan keterbukaan, peran mereka dalam perimbangan kekuatan terhadap Israel dan Iran. Komitmen dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) juga tantangan yang harus dijawab Pemerintah Arab Saudi untuk dapat terlibat dalam pergaulan ekonomi internasional.
Bagi Indonesia, kunjungan Raja Salman dapat semakin mendekatkan dan meninggikan Indonesia sebagai negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Citra ini penting karena di masa depan, Indonesia juga perlu menjangkau pasar-pasar di Timur Tengah yang saat ini juga mulai membuka diri dan terlibat dalam perdagangan regional dan multilateral.
Spesialis Politik Ekonomi Internasional
Co-founder Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
MINGGU ini Indonesia kedatangan tamu dari Arab Saudi. Kunjungan Raja Salman ke Indonesia mungkin juga didorong keberhasilan Indonesia dalam meyakinkan dunia sebagai salah satu negara yang perekonomiannya memiliki potensi di masa depan.
Posisi diplomasi Indonesia yang bebas aktif di dalam hubungan internasional juga menambah keyakinan akan tujuan Indonesia yang selalu mengedepankan perdamaian dalam setiap kancahnya baik di politik regional maupun dalam persekutuan dengan negara-negara muslim lainnya.
Namun Visi 2030 yang digagas anak tertua Raja Salman, Deputy Crown Price Mohammed bin Salman, mungkin juga adalah motivasi sesungguhnya untuk datang ke Indonesia.
Putra mahkota itu menyiapkan transisi ekonomi Arab Saudi yang dituangkan dalam Visi 2030. Beberapa hal utama Visi 2030 adalah pembentukan sovereign fund, melepaskan ketergantungan dari minyak bumi, privatisasi Aramco, kebebasan tinggal di Arab Saudi, meningkatkan kunjungan ke Arab Saudi hingga mencapai 80 juta pada 2030, membangun industri militer, memperkuat real estat, dan mencegah praktik korupsi.
Di antara visi tersebut, misi perantara adalah mencapai keseimbangan pendapatan negara pada 2020 atau tiga tahun dari saat ini.
Visi 2030 ini dapat disebut sangat ambisius karena meski terlihat indah di atas kertas, implementasinya membutuhkan jawaban terkait kendala-kendala struktural baik ekonomi maupun politik.
Kendala pertama adalah siapa yang akan menggerakkan perekonomian Arab Saudi untuk dapat lepas dari ketergantungan pada pendapatan minyak bumi? Populasi penduduk Arab Saudi menurut data PBB adalah 28 juta orang pada bulan Juli 2016.
Penduduk yang memiliki kewarganegaran Arab Saudi adalah 70% dan sisanya 30% adalah imigran. Para imigran ini sebagian besar bekerja mengisi pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan. Sementara pekerja yang memiliki keterampilan tinggi umumnya mengisi pekerjaan di sektor-sektor swasta.
Ekonomi yang bebas dari minyak bumi mensyaratkan angkatan kerja dengan keterampilan yang tinggi. Hal ini yang masih menjadi pertanyaan besar karena hampir 2/3 dari penduduk Arab Saudi bekerja sebagai pegawai negeri dengan upah 2-3 kali lebih tinggi daripada pekerjaan sejenis bila dilakukan oleh sektor swasta.
Banyak penduduk yang enggan bekerja di sektor swasta karena upah yang akan menjadi rendah. Meskipun pemerintah telah mengurangi pekerjaan di pelayanan publik, tidak serta-merta penduduk Arab Saudi dapat beralih ke sektor swasta. Apabila ini terjadi, diperkirakan akan terjadi kenaikan pengangguran di antara para penduduk usia produktif.
Kedua, keinginan Arab Saudi untuk melakukan diversifikasi dan bebas dari ketergantungan terhadap minyak pada 2020 dengan menciptakan industri-industri yang menciptakan value-added tinggi membutuhkan kerja keras yang sangat hebat.
Untuk menciptakan industri dengan valued-added yang tinggi dan kompetitif, Arab Saudi perlu membangun jaringan supply-chain yang cocok dengan strategi pengembangan ekonominya.
Negara-negara emerging market yang saat ini tumbuh dan mendominasi perdagangan dunia dari kawasan Asia seperti China, negara anggota ASEAN, terkenal dengan puluhan ribu industri menengah dan kecil yang memasuki industri yang lebih besar. Sangat sulit bagi Arab Saudi untuk membangun industri manufaktur karena pasti kalah kompetitif.
Sementara apabila ingin membangun industri dengan padat modal, Arab Saudi harus mempersiapkan tenaga ahli dari dalam negeri yang mumpuni. Apakah dalam waktu yang kurang dari 15 tahun ini Arab Saudi dapat menciptakan tenaga ahli melalui sistem pendidikannya?
Ketiga, salah satu upaya Pemerintah Arab Saudi untuk menutup defisit adalah dengan menjual 5% saham perusahaan minyak nasional, Aramco. Apabila penjualan itu mulus, Pemerintah Arab Saudi mengharapkan dapat menghimpun dana kurang lebih Rp1.350 triliun atau USD2 triliun.
Dana itu yang nanti akan diinvestasikan ke berbagai instrumen keuangan dan investasi. Permasalahannya, Aramco di masa mendatang juga masih memiliki kekhawatiran terkait dengan perkembangan kebijakan ekonomi dunia di bidang lingkungan dan kompetisi dengan minyak bumi dari teknologi fracking.
Ada kecenderungan bahwa harga minyak dunia tidak akan tinggi sehingga menutup kemungkinan investor untuk memperoleh saham Aramco. Beberapa analis bahkan meramalkan di masa depan, pemain utama yang menentukan harga minyak dunia tidak lagi di Timur Tengah, tetapi itu akan diambil alih Amerika Serikat dan Kanada.
Dalam episode perang harga minyak sejak tahun 2010 hingga tahun ini, strategi Arab Saudi untuk membanjiri pasar dengan minyak bumi dan membuat harga rendah agar tetap menjaga mayoritas share-nya di pasar ternyata tidak berhasil dan bahkan menimbulkan defisit.
Pada akhirnya Arab Saudi pun harus menyerah dan mengurangi produksi minyak bumi di pasar agar harga kembali naik hingga batas yang masuk di akal demi pendapatan negara. Memang hal ini berarti akan mengurangi dominasi Arab Saudi di pasar minyak bumi.
Kendala keempat adalah bagaimana cara Pemerintah Arab Saudi mengantisipasi dampak politik dalam negeri dari rencana transisi ekonominya. Penduduk Arab Saudi secara horizontal juga dibagi menurut kelompok-kelompok sektarian atau suku.
Contohnya adalah provinsi timur yang kaya minyak didominasi penduduk muslim Syiah, kemudian ada kelompok lain yang beraliran sufi dan tidak mengakui atau menolak dominasi Wahabi yang menjadi ideologi utama Kerajaan Arab Saudi.
Sementara secara vertikal, penduduk dibagi atas kelas atas yang didominasi keluarga kerajaan, kelas menengah, dan kelas bawah yang terdiri atas buruh atau pekerja migran yang tidak berketerampilan.
Secara perlahan-lahan untuk mencapai Visi 2030, fasilitas dan tunjangan yang telah dinikmati penduduk akan mengalami pengurangan. Dan hal ini memiliki potensi mengurangi loyalitas dari kelas menengah dan dapat mendorong perlawanan dari kelompok-kelompok lain yang memiliki ideologi berbeda.
Beberapa tindakan telah diambil pemerintah untuk membuktikan kesungguhan visi tersebut. Misalnya dengan membatasi kewenangan polisi syariah untuk menghukum dan menangkap orang. Yang paling mengejutkan adalah menghukum mati salah seorang pangeran yang terbukti melakukan pembunuhan.
Tantangan-tantangan di atas hanya sebagian kecil dari tantangan yang akan dihadapi Arab Saudi untuk menuju Visi 2030. Beberapa tantangan lain di antaranya nasib peran Arab Saudi dalam politik regional di Timur Tengah.
Kemudian pengintegrasian ekonomi dalam negeri dengan sistem perekonomian dunia yang membutuhkan keterbukaan, peran mereka dalam perimbangan kekuatan terhadap Israel dan Iran. Komitmen dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) juga tantangan yang harus dijawab Pemerintah Arab Saudi untuk dapat terlibat dalam pergaulan ekonomi internasional.
Bagi Indonesia, kunjungan Raja Salman dapat semakin mendekatkan dan meninggikan Indonesia sebagai negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Citra ini penting karena di masa depan, Indonesia juga perlu menjangkau pasar-pasar di Timur Tengah yang saat ini juga mulai membuka diri dan terlibat dalam perdagangan regional dan multilateral.
(poe)