Menggugat Keabsahan Gubernur Terdakwa
A
A
A
Suparto Wijoyo
Ketua Pusat Studi Mitra Otonomi Daerah
Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga
PILKADA DKI Jakarta 15 Februari 2017 tengah memasuki babak rekapitulasi suara dengan hasil yang telah dipahami publik akan ada putaran kedua. Rakyat mengikuti penuh antusias dan terus bertekad mengawal sampai tuntas, termasuk proses persidangan yang sedang dilakoni.
Suasana pertunjukan demokrasi di DKI menghadirkan degup sekaligus mendebarkan dada sebagian khalayak. Fenomena hadirnya gubernur terdakwa merupakan potret manajemen politik yang secara yuridis melahirkan tragedi “penodaan” negara hukum Indonesia.
Pemegang otoritas negara tampil tanpa ragu menggiring negara hukum (rechtsstaat) menjelma menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Polemik terus-menerus diramu dengan aroma yang menyesakkan rongga-rongga sosial.
Norma hukum penonaktifan gubernur berstatus terdakwa sudah sangat jelas, tanpa perlu tafsir hukum layaknya perkuliahan. Pasal 83 ayat (1) UU Pemda (UU Nomor 23/2014) menyatakan: Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberhentian sementara gubernur terdakwa dilakukan berdasarkan register perkara di pengadilan seperti diatur Pasal 83 ayat (2) UU Pemda. Pihak yang diberi kewenangan untuk memberhentikan gubernur terdakwa adalah presiden sebagaimana dinarasikan Pasal 83 ayat (3) UU Pemda: Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilakukan oleh presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Pembaca mengetahui bahwa PN Jakarta Utara mendapatkan pelimpahan perkara dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 1 Desember 2016 dengan nomor perkara: 1537/PidB/2016/PNJkt.Utr atas nama Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sejak saat itu niscaya tersedia alas hukum bagi presiden untuk memberhentikan gubernur terdakwa.
Pemberhentian ini merupakan kewajiban hukum dalam menjalankan ketentuan undang-undang senapas sumpah presiden. Menurut Pasal 9 UUD 1945: Sebelum memangku jabatannya, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR sebagai berikut: Sumpah presiden (wakil presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Bertindak sebaik-baiknya dan seadil-adilnya ternyata menjadi norma utama Sumpah Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara. Menjalankan seluruh regulasi pun merupakan pesan konstitusi yang harus dilaksanakan oleh presiden.
Apabila mendagri memberikan sinyal bahwa pemberhentian sementara menunggu tuntutan jaksa merupakan ungkapan yang sangat protektif terhadap gubernur terdakwa. Bukankah kejaksaan telah menggunakan Pasal 156 dan 156a KUHP perkara penistaan agama?
Tindakan bermain tafsir terhadap Pasal 83 UU Pemda dikaitkan dengan dakwaan penistaan agama menimbulkan penilaian sikap “memunggungi” konstitusi. Suatu tindakan yang terpotret melecehkan wibawa negara hukum.
Perlakuan ini tidak hanya menyangkut teks hukum dalam UU Pemda, juga menyentuh etika kehidupan berbangsa yang ditetapkan Tap MPR NoVI/MPR/2001. Pemimpin yang menunjung tinggi etika dan moralitas dalam pemerintahan pastilah merasa risih atas status tersangka, apalagi terdakwa. Atas status hukum itulah, standar etika pemerintahan mengajarkan kebajikan seorang pemimpin untuk mengambil posisi tahu diri.
Hukum pemerintahan (bestuursrecht) mengajarkan bahwa untuk menguji tindakan-tindakan pemerintahan (bestuurshandelingen) itu tidak hanya peraturan perundang-undangan, melainkan juga algemene beginselen van behorlijke bestuur (asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Dalam skala kepemimpinan mutlak dipertimbangkan secara keabsahan etika karena etika pemerintahan mengajarkan laku yang mawas diri tentang kepantasan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan berstatus terdakwa.
Kecuali memang etika pemerintahan dibuang dari praksis bernegara yang berfalsafah Pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menuntun keadilan dan keadaban seorang pemimpin.
Dalam lingkup ini mungkin ada yang berpijak pada Keputusan Kementerian Dalam Negeri Nomor 121.32/4438/OTDA perihal Mekanisme Pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta Menjadi Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Jabatan Tahun 2012-2017. Hukum administrasi memang mengenal asas vermoeden van rechtsmatigheid atau praesumption iustae causa, yaitu asas praduga keabsahan seluruh tindakan pemerintahan.
Asas ini memiliki makna bahwa suatu keputusan tata usaha negara harus dianggap sah (rechtmatige) sampai ada pembalatan. Dengan demikian, selama tidak ada pembatalan terhadap Kemendagri tersebut, maka posisi gubernur terdakwa tetaplah sah.
Memang pemikiran positivistik yang fasih mengeja pasal-pasal Kepmendagri dimaksud akan memperkuat kedudukan gubernur terdakwa, statusnya tetap berkeabsahan, tetapi ini hanyalah keabsahan yang problematis, keabsahan yang kehilangan makna pemerintahan yang mengenal etika.
Pemerintahan yang dijalankan oleh gubernur terdakwa memiliki implikasi luas lahirnya kebijakan-kebijakan yang memperolok “pemerintahan terdakwa”. Hal ini amatlah naif dan memberikan pukulan hukum yang berat serta bertentangan dengan kaidah good governance.
Konstelasi pemerintahan gubernur terdakwa, meminjam kata-kata Francis Fukuyama, telah menggiring negara hukum pada situasi “the great disruption”. Hukum direndahkan derajatnya di ketiak kekuasaan yang mengabaikan norma good governance sehingga negara hukum nyaris kehilangan martabatnya.
Situasi demikian mereduksi hukum sekadar pasal-pasal yang berjejer tanpa rasa keadilan. Kalau hukum diseret ke kaukus politik dan dijajar di tepian jalan untuk memagari kekuasaan yang melindungi “jagoannya”, inilah dering lonceng kematian negara hukum. Rakyat pada akhirnya menyaksikan tingkat integritas para tokoh dan “pemulung” kekuasaan.
Silang sengkarut setiap hari dilontarkan sebagai suguhan agitatif yang digembalakan dari ruang institusi negara. Adu kekuatan yang berputar di lingkar hukum difestivalkan untuk memancing lawan beraksi.
Adakah pemegang mandat sedang mengajak “adu kuat tarik napas” kepada rakyatnya sendiri? Aparatur hukum disorongkan menjadi pelayan yang membopong sang tuan. Lembar aturan dibuka untuk “mengafani” pihak liyan.
Meluasnya ekskalasi saling lapor dan saling demo serta mencuatnya sikap abai “pemandu kekuasaan” tengah menorehkan labirin hukum. Ada kesan bahwa beragam konflik dicipta atas nama dinamika bernegara.
Nalar sehat berkata agar negara tidak memproteksi penebar kegaduhan yang berkelanjutan. Kesadaran kolektif sejatinya membuka ruang kepemimpinan yang mengajarkan kecerdasan, bukan keculasan.
Sesungguhnya rakyat sudah hafal betul di mana “pabrik keonaran” ini beralamat. Kosmologi masyarakat memberikan pekabaran yang sangat terang bahwa polarisasi “perang tanding” ini bersumber dari ucapan leader yang merasa super.
Ketua Pusat Studi Mitra Otonomi Daerah
Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga
PILKADA DKI Jakarta 15 Februari 2017 tengah memasuki babak rekapitulasi suara dengan hasil yang telah dipahami publik akan ada putaran kedua. Rakyat mengikuti penuh antusias dan terus bertekad mengawal sampai tuntas, termasuk proses persidangan yang sedang dilakoni.
Suasana pertunjukan demokrasi di DKI menghadirkan degup sekaligus mendebarkan dada sebagian khalayak. Fenomena hadirnya gubernur terdakwa merupakan potret manajemen politik yang secara yuridis melahirkan tragedi “penodaan” negara hukum Indonesia.
Pemegang otoritas negara tampil tanpa ragu menggiring negara hukum (rechtsstaat) menjelma menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Polemik terus-menerus diramu dengan aroma yang menyesakkan rongga-rongga sosial.
Norma hukum penonaktifan gubernur berstatus terdakwa sudah sangat jelas, tanpa perlu tafsir hukum layaknya perkuliahan. Pasal 83 ayat (1) UU Pemda (UU Nomor 23/2014) menyatakan: Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberhentian sementara gubernur terdakwa dilakukan berdasarkan register perkara di pengadilan seperti diatur Pasal 83 ayat (2) UU Pemda. Pihak yang diberi kewenangan untuk memberhentikan gubernur terdakwa adalah presiden sebagaimana dinarasikan Pasal 83 ayat (3) UU Pemda: Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilakukan oleh presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.
Pembaca mengetahui bahwa PN Jakarta Utara mendapatkan pelimpahan perkara dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 1 Desember 2016 dengan nomor perkara: 1537/PidB/2016/PNJkt.Utr atas nama Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sejak saat itu niscaya tersedia alas hukum bagi presiden untuk memberhentikan gubernur terdakwa.
Pemberhentian ini merupakan kewajiban hukum dalam menjalankan ketentuan undang-undang senapas sumpah presiden. Menurut Pasal 9 UUD 1945: Sebelum memangku jabatannya, presiden dan wakil presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR sebagai berikut: Sumpah presiden (wakil presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Bertindak sebaik-baiknya dan seadil-adilnya ternyata menjadi norma utama Sumpah Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara. Menjalankan seluruh regulasi pun merupakan pesan konstitusi yang harus dilaksanakan oleh presiden.
Apabila mendagri memberikan sinyal bahwa pemberhentian sementara menunggu tuntutan jaksa merupakan ungkapan yang sangat protektif terhadap gubernur terdakwa. Bukankah kejaksaan telah menggunakan Pasal 156 dan 156a KUHP perkara penistaan agama?
Tindakan bermain tafsir terhadap Pasal 83 UU Pemda dikaitkan dengan dakwaan penistaan agama menimbulkan penilaian sikap “memunggungi” konstitusi. Suatu tindakan yang terpotret melecehkan wibawa negara hukum.
Perlakuan ini tidak hanya menyangkut teks hukum dalam UU Pemda, juga menyentuh etika kehidupan berbangsa yang ditetapkan Tap MPR NoVI/MPR/2001. Pemimpin yang menunjung tinggi etika dan moralitas dalam pemerintahan pastilah merasa risih atas status tersangka, apalagi terdakwa. Atas status hukum itulah, standar etika pemerintahan mengajarkan kebajikan seorang pemimpin untuk mengambil posisi tahu diri.
Hukum pemerintahan (bestuursrecht) mengajarkan bahwa untuk menguji tindakan-tindakan pemerintahan (bestuurshandelingen) itu tidak hanya peraturan perundang-undangan, melainkan juga algemene beginselen van behorlijke bestuur (asas-asas umum pemerintahan yang baik).
Dalam skala kepemimpinan mutlak dipertimbangkan secara keabsahan etika karena etika pemerintahan mengajarkan laku yang mawas diri tentang kepantasan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan berstatus terdakwa.
Kecuali memang etika pemerintahan dibuang dari praksis bernegara yang berfalsafah Pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menuntun keadilan dan keadaban seorang pemimpin.
Dalam lingkup ini mungkin ada yang berpijak pada Keputusan Kementerian Dalam Negeri Nomor 121.32/4438/OTDA perihal Mekanisme Pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta Menjadi Gubernur DKI Jakarta Sisa Masa Jabatan Tahun 2012-2017. Hukum administrasi memang mengenal asas vermoeden van rechtsmatigheid atau praesumption iustae causa, yaitu asas praduga keabsahan seluruh tindakan pemerintahan.
Asas ini memiliki makna bahwa suatu keputusan tata usaha negara harus dianggap sah (rechtmatige) sampai ada pembalatan. Dengan demikian, selama tidak ada pembatalan terhadap Kemendagri tersebut, maka posisi gubernur terdakwa tetaplah sah.
Memang pemikiran positivistik yang fasih mengeja pasal-pasal Kepmendagri dimaksud akan memperkuat kedudukan gubernur terdakwa, statusnya tetap berkeabsahan, tetapi ini hanyalah keabsahan yang problematis, keabsahan yang kehilangan makna pemerintahan yang mengenal etika.
Pemerintahan yang dijalankan oleh gubernur terdakwa memiliki implikasi luas lahirnya kebijakan-kebijakan yang memperolok “pemerintahan terdakwa”. Hal ini amatlah naif dan memberikan pukulan hukum yang berat serta bertentangan dengan kaidah good governance.
Konstelasi pemerintahan gubernur terdakwa, meminjam kata-kata Francis Fukuyama, telah menggiring negara hukum pada situasi “the great disruption”. Hukum direndahkan derajatnya di ketiak kekuasaan yang mengabaikan norma good governance sehingga negara hukum nyaris kehilangan martabatnya.
Situasi demikian mereduksi hukum sekadar pasal-pasal yang berjejer tanpa rasa keadilan. Kalau hukum diseret ke kaukus politik dan dijajar di tepian jalan untuk memagari kekuasaan yang melindungi “jagoannya”, inilah dering lonceng kematian negara hukum. Rakyat pada akhirnya menyaksikan tingkat integritas para tokoh dan “pemulung” kekuasaan.
Silang sengkarut setiap hari dilontarkan sebagai suguhan agitatif yang digembalakan dari ruang institusi negara. Adu kekuatan yang berputar di lingkar hukum difestivalkan untuk memancing lawan beraksi.
Adakah pemegang mandat sedang mengajak “adu kuat tarik napas” kepada rakyatnya sendiri? Aparatur hukum disorongkan menjadi pelayan yang membopong sang tuan. Lembar aturan dibuka untuk “mengafani” pihak liyan.
Meluasnya ekskalasi saling lapor dan saling demo serta mencuatnya sikap abai “pemandu kekuasaan” tengah menorehkan labirin hukum. Ada kesan bahwa beragam konflik dicipta atas nama dinamika bernegara.
Nalar sehat berkata agar negara tidak memproteksi penebar kegaduhan yang berkelanjutan. Kesadaran kolektif sejatinya membuka ruang kepemimpinan yang mengajarkan kecerdasan, bukan keculasan.
Sesungguhnya rakyat sudah hafal betul di mana “pabrik keonaran” ini beralamat. Kosmologi masyarakat memberikan pekabaran yang sangat terang bahwa polarisasi “perang tanding” ini bersumber dari ucapan leader yang merasa super.
(poe)