Verifikasi Media Massa, Perlukah?
A
A
A
Ambang Priyonggo MA
Dosen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara,
Deputi Direktur The Political Literacy Institute Jakarta
DEWAN Pers telah melakukan verifikasi terhadap 74 media massa nasional, baik cetak, elektronik, maupun media dalam jaringan (daring). Penyerahan sertifikat terverifikasi ini dilakukan saat puncak perayaan Hari Pers Nasional di Ambon, Rabu 8 Februari 2017 lalu, oleh ketua Dewan Pers dan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Dewan Pers, sertifikasi ini merupakan tahap awal, dan lembaga ini masih akan terus melakukan proses tersebut pada tahun ini.
Dalam siaran persnya, Dewan Pers menyatakan bahwa program verifikasi perusahaan pers merupakan amanat UU No 40 Tahun 1999, tentang Pers untuk mendata perusahaan pers. Lebih lanjut, langkah ini diambil juga untuk memastikan pelaksanaan komitmen perusahaan pers dalam menegakkan profesionalitas dan perlindungan terhadap wartawan guna mewujudkan kemerdekaan pers.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetya bahkan menegaskan kaitan program ini dengan peran pers yang perlu “menjunjung kemerdekaan pers, menyampaikan informasi kepada publik secara jujur dan berimbang, serta bebas dari tekanan kapitalisme dan politik”.
Namun, niat dan tujuan mulia Dewan Pers dalam melakukan verifikasi ini menimbulkan polemik berbagai pihak. Ada yang menyebut langkah ini sebagai tindakan reaktif atas banyak berkembangnya fenomena hoax (berita/informasi palsu) terkait dinamika pilkada di negeri ini dan terutama tersebar melalui media-media dalam jaringan.
Kritik berikutnya adalah tentang kriteria yang tidak saja dianggap “tidak jelas”, namun juga dinilai diskriminatif sehingga tidak memungkinkan media-media tertentu yang secara “by nature” tidak dapat masuk verifikasi serta adanya ketentuan bahwa hanya perusahaan media yang telah terverifikasi yang akan mendapatkan dukungan dan perlindungan Dewan Pers jika terjadi sengketa.
Ada pula yang menilai langkah Dewan Pers ini kurang sosialisasi sehingga banyak perusahaan pers yang kurang mengetahui kebijakan ini. Bahkan yang paling ekstrem, muncul nada miring (kalau tidak disebut sebagai efek psikologis trauma masa lalu), bahwa Dewan Pers sejatinya sedang melakukan “pembredelan” secara halus.
Harus diakui memang, kebijakan yang dilakukan oleh Dewan Pers ini masih banyak kekurangan dari berbagai aspek, mulai pendekatan yang digunakan; ketidakpekaan terhadap dinamika perkembangan teknologi media dan praktisinya; hingga kecondongan mencari solusi jangka pendek yang mengabaikan aspek literasi media pada sisi pembaca (atau konsumen media).
Pendekatan Judgmental
Pendekatan yang dilakukan Dewan Pers dengan istilah “verifikasi” ini memang potensi untuk mengundang kritik. “Verifikasi” itu tidak sekadar mendata, tapi juga melakukan serangkaian tahapan proses penilaian sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Artinya Dewan Pers di sini telah cenderung menjadi otoritas “judgmental” yang menjadi penentu suatu organisasi pers untuk terverifikasi atau tidak.
Padahal merujuk pada enam fungsi Dewan Pers, tidak terdapat satu pun yang mengarah ke arah seperti itu. Pada UU Pokok Pers No 40/1999 Bab V Pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; f. mendata perusahaan pers.
Merujuk pada fungsi tersebut bisa ditarik poin penting bahwa Dewan Pers memiliki peran pengkajian, pengawasan, mediasi dan advokasi, komunikasi, dan edukasi/literasi. Dalam konteks kembali ke marwah fungsi Dewan Pers inilah, program verifikasi tersebut menjadi kurang tepat pendekatannya karena memosisikan diri sebagai sebuah lembaga yang memverifikasi.
Polemik akan makin panjang jika kemudian tanpa ada kriteria-kriteria yang tidak melalui proses pengkajian panjang dan dalam, dan tidak dikomunikasikan serta diedukasikan secara baik kepada organisasi media.
Dinamika Jurnalistik
Satu lagi yang terlihat lemah dalam pelaksanaan program verifikasi ini adalah kegagapan Dewan Pers dalam menangkap dinamika perkembangan organisasi media berbasis jurnalisme warga dan komunitas.
Padahal, mereka selama ini menjadi garda depan yang menjamin keberagaman isi media, mengatasi kejenuhan isi media arus-utama yang terlalu berorientasi pasar (kadang juga politis), Jakarta-sentris, dan tidak relevan bagi konsumen media di berbagai pelosok Indonesia.
Terlebih dengan perkembangan teknologi informasi sekarang ini, akses “orang biasa” dan komunitas untuk dapat melakukan kerja jurnalistik seperti mencari, menghimpun, mengemas, mengolah, serta mendistribusikan informasi menjadi sangat terbuka lebar.
Mereka bahkan mampu untuk menawarkan inovasi-inovasi karya jurnalistik yang dapat melebihi karya jurnalis profesional, lewat story-telling yang menarik, penerapan teknologi yang canggih, serta model distribusi yang luas, dan terkadang bahkan model monetasi yang menguntungkan.
Mereka bisa jadi tidak memiliki badan hukum, atau badan usaha, dan mungkin tidak memiliki standar operasi yang jelas, namun keberlangsungannya sudah banyak memberi manfaat dalam kapasitas positif menyediakan hak publik atas informasi. Sayangnya, dalam kerangka program verifikasi ini, tentu mereka menjadi terasing, tekerdilkan keberadaannya.
Oleh karena itu, Dewan Pers perlu untuk memikirkan langkah yang tepat, tak hanya mendata, lebih jauh juga memikirkan strategi yang tepat meningkatkan kualitas mereka sebagai bagian dari kehidupan dan kemerdekaan pers.
Literasi Media
Pemangku kepentingan yang perlu disentuh Dewan Pers dalam kapasitas melakukan perannya seperti termaktub dalam UU No 40/1999 tentu tidak melulu berfokus pada perusahaan media saja, namun pemerintah, serta juga (yang tak kalah penting) masyarakat.
Dalam kaitan dengan program verifikasi media ini saya membayangkan betapa tersitanya waktu dan tenaga Dewan Pers sehingga perannya untuk melakukan edukasi, komunikasi, dan strategi lainnya untuk meningkatkan komunikasi dengan masyarakat (dalam hal ini konsumen media) menjadi berpotensi terabaikan.
Padahal jika menilik dari perspektif masyarakat, merekalah yang menjadi bulan-bulanan atas produk/karya jurnalistik yang tidak berimbang, tidak objektif, tidak akurat, dan tidak layak menurut ukuran masyarakat. Mereka sering dipaksa untuk melihat, mendengar, atau membaca karya jurnalistik yang sarat agenda pemilik media, penuh muatan politis, dan menyesatkan.
Untuk itu, warga masyarakat perlu terus dan intensif mendapatkan literasi media. Literasi media merepresentasikan sebuah kepentingan yang tidak dapat ditunda bagi masyarakat untuk secara nyata mampu merespons segala kompleksitas perkembangan produk-produk jurnalistik dengan ragam entitasnya.
Mereka harus mampu untuk diberdayakan hingga menjadi warga yang turut bertanggung jawab (responsible citizens). Masyarakatlah yang “menyeleksi” keberadaan produk pers yang tidak kredibel, semacam seleksi alam bagi kelangsungan organisasi media. Namun, ini akan sulit jika tingkat literasi media dari masyarakat masih rendah.
Nah, secara umum, kita semua menyadari bahwa Indonesia membutuhkan pers yang baik. Dalam usia ke-18 memasuki masa kebebasannya sejak 1999, kita berharap kehidupan pers dapat selalu berfungsi penting untuk menyediakan informasi, mendidik sekaligus menghibur publik.
Untuk dapat menuju ke situasi yang selalu ideal seperti itu, tentu kita perlu menyambut usaha yang dilakukan Dewan Pers sesuai kapasitas dan kewenangannya. Seiring dengan dinamika yang ada, Dewan Pers tetap perlu untuk menyusun program secara lebih hati-hati, terukur, dan jelas objektifnya.
Pelibatan aktif peran pemangku kepentingan yang lain, pemerintah (dalam hal kebijakan dan landasan hukum), serta juga elemen masyarakat secara umum menjadi tak dapat dihindarkan. Pers Indonesia adalah milik dan tanggung jawab kita bersama. Selamat Hari Pers Nasional!
Dosen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara,
Deputi Direktur The Political Literacy Institute Jakarta
DEWAN Pers telah melakukan verifikasi terhadap 74 media massa nasional, baik cetak, elektronik, maupun media dalam jaringan (daring). Penyerahan sertifikat terverifikasi ini dilakukan saat puncak perayaan Hari Pers Nasional di Ambon, Rabu 8 Februari 2017 lalu, oleh ketua Dewan Pers dan disaksikan oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Dewan Pers, sertifikasi ini merupakan tahap awal, dan lembaga ini masih akan terus melakukan proses tersebut pada tahun ini.
Dalam siaran persnya, Dewan Pers menyatakan bahwa program verifikasi perusahaan pers merupakan amanat UU No 40 Tahun 1999, tentang Pers untuk mendata perusahaan pers. Lebih lanjut, langkah ini diambil juga untuk memastikan pelaksanaan komitmen perusahaan pers dalam menegakkan profesionalitas dan perlindungan terhadap wartawan guna mewujudkan kemerdekaan pers.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetya bahkan menegaskan kaitan program ini dengan peran pers yang perlu “menjunjung kemerdekaan pers, menyampaikan informasi kepada publik secara jujur dan berimbang, serta bebas dari tekanan kapitalisme dan politik”.
Namun, niat dan tujuan mulia Dewan Pers dalam melakukan verifikasi ini menimbulkan polemik berbagai pihak. Ada yang menyebut langkah ini sebagai tindakan reaktif atas banyak berkembangnya fenomena hoax (berita/informasi palsu) terkait dinamika pilkada di negeri ini dan terutama tersebar melalui media-media dalam jaringan.
Kritik berikutnya adalah tentang kriteria yang tidak saja dianggap “tidak jelas”, namun juga dinilai diskriminatif sehingga tidak memungkinkan media-media tertentu yang secara “by nature” tidak dapat masuk verifikasi serta adanya ketentuan bahwa hanya perusahaan media yang telah terverifikasi yang akan mendapatkan dukungan dan perlindungan Dewan Pers jika terjadi sengketa.
Ada pula yang menilai langkah Dewan Pers ini kurang sosialisasi sehingga banyak perusahaan pers yang kurang mengetahui kebijakan ini. Bahkan yang paling ekstrem, muncul nada miring (kalau tidak disebut sebagai efek psikologis trauma masa lalu), bahwa Dewan Pers sejatinya sedang melakukan “pembredelan” secara halus.
Harus diakui memang, kebijakan yang dilakukan oleh Dewan Pers ini masih banyak kekurangan dari berbagai aspek, mulai pendekatan yang digunakan; ketidakpekaan terhadap dinamika perkembangan teknologi media dan praktisinya; hingga kecondongan mencari solusi jangka pendek yang mengabaikan aspek literasi media pada sisi pembaca (atau konsumen media).
Pendekatan Judgmental
Pendekatan yang dilakukan Dewan Pers dengan istilah “verifikasi” ini memang potensi untuk mengundang kritik. “Verifikasi” itu tidak sekadar mendata, tapi juga melakukan serangkaian tahapan proses penilaian sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Artinya Dewan Pers di sini telah cenderung menjadi otoritas “judgmental” yang menjadi penentu suatu organisasi pers untuk terverifikasi atau tidak.
Padahal merujuk pada enam fungsi Dewan Pers, tidak terdapat satu pun yang mengarah ke arah seperti itu. Pada UU Pokok Pers No 40/1999 Bab V Pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; f. mendata perusahaan pers.
Merujuk pada fungsi tersebut bisa ditarik poin penting bahwa Dewan Pers memiliki peran pengkajian, pengawasan, mediasi dan advokasi, komunikasi, dan edukasi/literasi. Dalam konteks kembali ke marwah fungsi Dewan Pers inilah, program verifikasi tersebut menjadi kurang tepat pendekatannya karena memosisikan diri sebagai sebuah lembaga yang memverifikasi.
Polemik akan makin panjang jika kemudian tanpa ada kriteria-kriteria yang tidak melalui proses pengkajian panjang dan dalam, dan tidak dikomunikasikan serta diedukasikan secara baik kepada organisasi media.
Dinamika Jurnalistik
Satu lagi yang terlihat lemah dalam pelaksanaan program verifikasi ini adalah kegagapan Dewan Pers dalam menangkap dinamika perkembangan organisasi media berbasis jurnalisme warga dan komunitas.
Padahal, mereka selama ini menjadi garda depan yang menjamin keberagaman isi media, mengatasi kejenuhan isi media arus-utama yang terlalu berorientasi pasar (kadang juga politis), Jakarta-sentris, dan tidak relevan bagi konsumen media di berbagai pelosok Indonesia.
Terlebih dengan perkembangan teknologi informasi sekarang ini, akses “orang biasa” dan komunitas untuk dapat melakukan kerja jurnalistik seperti mencari, menghimpun, mengemas, mengolah, serta mendistribusikan informasi menjadi sangat terbuka lebar.
Mereka bahkan mampu untuk menawarkan inovasi-inovasi karya jurnalistik yang dapat melebihi karya jurnalis profesional, lewat story-telling yang menarik, penerapan teknologi yang canggih, serta model distribusi yang luas, dan terkadang bahkan model monetasi yang menguntungkan.
Mereka bisa jadi tidak memiliki badan hukum, atau badan usaha, dan mungkin tidak memiliki standar operasi yang jelas, namun keberlangsungannya sudah banyak memberi manfaat dalam kapasitas positif menyediakan hak publik atas informasi. Sayangnya, dalam kerangka program verifikasi ini, tentu mereka menjadi terasing, tekerdilkan keberadaannya.
Oleh karena itu, Dewan Pers perlu untuk memikirkan langkah yang tepat, tak hanya mendata, lebih jauh juga memikirkan strategi yang tepat meningkatkan kualitas mereka sebagai bagian dari kehidupan dan kemerdekaan pers.
Literasi Media
Pemangku kepentingan yang perlu disentuh Dewan Pers dalam kapasitas melakukan perannya seperti termaktub dalam UU No 40/1999 tentu tidak melulu berfokus pada perusahaan media saja, namun pemerintah, serta juga (yang tak kalah penting) masyarakat.
Dalam kaitan dengan program verifikasi media ini saya membayangkan betapa tersitanya waktu dan tenaga Dewan Pers sehingga perannya untuk melakukan edukasi, komunikasi, dan strategi lainnya untuk meningkatkan komunikasi dengan masyarakat (dalam hal ini konsumen media) menjadi berpotensi terabaikan.
Padahal jika menilik dari perspektif masyarakat, merekalah yang menjadi bulan-bulanan atas produk/karya jurnalistik yang tidak berimbang, tidak objektif, tidak akurat, dan tidak layak menurut ukuran masyarakat. Mereka sering dipaksa untuk melihat, mendengar, atau membaca karya jurnalistik yang sarat agenda pemilik media, penuh muatan politis, dan menyesatkan.
Untuk itu, warga masyarakat perlu terus dan intensif mendapatkan literasi media. Literasi media merepresentasikan sebuah kepentingan yang tidak dapat ditunda bagi masyarakat untuk secara nyata mampu merespons segala kompleksitas perkembangan produk-produk jurnalistik dengan ragam entitasnya.
Mereka harus mampu untuk diberdayakan hingga menjadi warga yang turut bertanggung jawab (responsible citizens). Masyarakatlah yang “menyeleksi” keberadaan produk pers yang tidak kredibel, semacam seleksi alam bagi kelangsungan organisasi media. Namun, ini akan sulit jika tingkat literasi media dari masyarakat masih rendah.
Nah, secara umum, kita semua menyadari bahwa Indonesia membutuhkan pers yang baik. Dalam usia ke-18 memasuki masa kebebasannya sejak 1999, kita berharap kehidupan pers dapat selalu berfungsi penting untuk menyediakan informasi, mendidik sekaligus menghibur publik.
Untuk dapat menuju ke situasi yang selalu ideal seperti itu, tentu kita perlu menyambut usaha yang dilakukan Dewan Pers sesuai kapasitas dan kewenangannya. Seiring dengan dinamika yang ada, Dewan Pers tetap perlu untuk menyusun program secara lebih hati-hati, terukur, dan jelas objektifnya.
Pelibatan aktif peran pemangku kepentingan yang lain, pemerintah (dalam hal kebijakan dan landasan hukum), serta juga elemen masyarakat secara umum menjadi tak dapat dihindarkan. Pers Indonesia adalah milik dan tanggung jawab kita bersama. Selamat Hari Pers Nasional!
(poe)