Rekonstruksi Investasi Syariah
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
POSISI pembangunan di Indonesia seperti terjebak dalam “periode cobaan” hingga terus dirundung berbagai macam kesulitan. Berulang kali dilakukan upaya reformis, tetap belum menampakkan hasil meyakinkan.
Kita harus mawas diri, untuk saat ini kekuatan perekonomian nasional sudah jauh menurun jika dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya. Pemerintah dipaksa mengimbangi gelombang ekuilibrium yang terus mengalami pasang-surut karena pengaruh kondisi internal dan eksternal.
Kita justru lebih banyak didikte dan terdistorsi ketimbang menguasai pasar. Maka sangat wajar jika julukan sebagai macan Asia di masa lampau untuk menggambarkan betapa garangnya perekonomian kita kini dianggap sebatas bagian dari cerita masa lalu.
Sumber permasalahan yang kita hadapi memang sudah cenderung semakin dekat dengan titik kulminasi. Kalau dirunut berdasarkan mata rantai perekonomian, titik awalnya bermula dari proses perencanaan pembangunan yang berjalan kurang terarah.
Pergerakan kebijakan pemerintah cenderung sekadar mengikuti dinamika kondisi nasional dan global sehingga arah kebijakannya seperti terus mengambang. Celakanya lagi pihak perencana kita seperti kebingungan menentukan program-program prioritas di atas keterbatasan ruang fiskal.
Akibatnya banyak aspek pembangunan yang belum tersentuh secara optimal. Proses birokrasi penyerapan anggaran yang rumit juga mendukung terhambatnya pembangunan. Kasus penyerapan anggaran yang rendah paling banyak justru terjadi di tingkat daerah.
Tahun 2016 lalu bahkan masih banyak dana pembangunan daerah yang “mubazir” dan mengendap di perbankan. Jika diakumulasikan, total dana idle mencapai Rp83,3 triliun (DJPK, 2017).
Tahap perencanaan dan penyerapan anggaran yang kurang optimal kemudian berimbas pada indikator-indikator daya saing investasi di Indonesia. Secara makro, daya saing kita turun dari peringkat 37 dunia menjadi 41 dunia (World Economic Forum, 2016).
Penyebabnya lagi-lagi disebabkan persepsi birokrasi yang rawan korupsi, ditambah dengan kualitas infrastruktur transportasi dan energi yang rendah serta produktivitas tenaga kerja yang sangat terbatas. Akibatnya pertumbuhan ekonomi kita cenderung terus melambat. Apalagi pola pertumbuhan Indonesia lebih banyak disokong sisi konsumsi daripada sisi investasi.
Padahal daya konsumsi masyarakat sangat tergantung pada tingkat pendapatan dan daya beli sebagai buah dari kegiatan investasi. Jadi boleh dibilang, selama ini kita berjalan di atas jalur yang sangat rapuh untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas.
Pada mata rantai berikutnya, hasil kegiatan ekonomi baik dari sisi investasi, produksi maupun konsumsi pada akhirnya akan memengaruhi tingkat pendapatan negara yang bersumber dari pajak dan nonpajak. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak Presiden Joko Widodo menjabat, realisasi pendapatan negara terus disorot karena cenderung semakin terjepit.
Potensi pajak kian besar, tetapi tax ratio masih jauh dari angka ideal. Penyebabnya karena tax compliance masyarakat yang begitu rendah dan disertai dengan infrastruktur penarikan pajak yang masih dinilai berbiaya tinggi.
Ditambah lagi dengan merosotnya kinerja ekonomi objek-objek pajak potensial akibat resesi perekonomian global (terkait ekspor dan impor komoditas strategis) serta spekulasi mengenai suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) yang membuat banyak pemodal potensial menarik dana investasinya dari Indonesia.
Pemerintah memiliki pekerjaan besar lainnya yang terkait dengan pengendalian defisit fiskal sebagai imbas dari gap kapasitas penerimaan dan belanja. Selama ini pemerintah sudah sangat gamblang kian menigkatkan jumlah utang sebagai dana talangan biaya pembangunan.
Secara ekonomi memang tingkat utang kita masih relatif aman jika dilihat berdasarkan UU Keuangan Negara (sekitar 27% terhadap PDB). Namun dari sisi politik, justru sangat mudah menimbulkan polemik. Peran perusahaan-perusahaan pelat merah (BUMN) sebagai kepanjangan tangan pemerintah juga masih sangat terbatas. Alih-alih akan menambah perbendaharaan kas negara, beberapa BUMN hingga saat ini bahkan masih rajin “memohon” penyertaan modal pemerintah yang bersumber dari APBN.
Untuk itulah perlu ada alternatif kebijakan untuk menanggulangi stagnasi perekonomian Indonesia. Jika model perekonomian yang bersifat konvensional (umum) sedang jumud (beku), mengapa kita tidak memulai untuk semakin erat merangkul potensi investasi berbasis syariah?
Apalagi menurut lansiran beberapa media, Raja Arab Saudi yang fokus dalam pengembangan ekonomi syariah sebentar lagi akan mengunjungi Indonesia. Kita bisa mempersiapkan beberapa potensi kerja sama bilateral.
Salah satunya dengan mengembangkan instrumen investasi syariah yang hingga saat ini kontribusinya belum banyak teroptimalkan. Menurut hitung-hitungan Otoritas Jasa Keuangan (2016), pergerakan investasi syariah di pasar modal baru mencapai 0,2% dari total penduduk Indonesia.
Kelemahan pengelolaan investasi syariah di Indonesia lebih disebabkan belum adanya infrastruktur investasi yang memadai untuk mengakomodasi prospek produk-produk syariah. Infrastruktur syariah yang paling mendesak untuk segera dibangun ialah pengembangan sumber daya insani (SDI) dan pengembangan lembaga keuangan syariah melalui riset atau pusat-pusat studi kajian ilmiah.
Apalagi pengembangan lembaga keuangan syariah belum dipandu secara simultan dengan rencana portofolio jangka panjang (cetak biru perencanaan) sehingga sangat wajar jika kita sudah tertinggal cukup jauh oleh negara lain seperti Arab Saudi, Bahrain, Sudan. Negeri tetangga kita Malaysia bahkan sudah di tahap pematangan produk pengelolaan kekayaan setelah sukses mengembangan skala bisnis perbankan syariah, asuransi (takaful), sukuk, dan pengelolaan aset berbasis syariah.
Instrumen berbasis syariah dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan investasi. Strategi ini selain dapat ditujukan untuk masyarakat Indonesia sendiri, juga dimaksudkan untuk menggarap potensi investasi dari Kawasan Timur Tengah.
Meskipun kita saat ini relatif lebih tertinggal dari Malaysia, kita tetap masih berpeluang mengejar mereka mengingat atensi masyarakat kian besar terhadap produk-produk ekonomi berbasis syariah. Apalagi Indonesia memiliki latar belakang sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia sehingga pemerintah sebagai regulator dan katalitasor kebijakan tinggal memfokuskan pada beberapa poin sebagai berikut.
Pertama, tentu pemerintah harus menyiapkan sederet soft infrastructure investasi syariah mulai dari cetak biru/portofolio pengembangan bisnis syariah, unsur regulasi dan kemudahan birokrasi, pengembangan sumber daya insani hingga ketersediaan lembaga-lembaga riset pengembangan produk syariah.
Dari sisi hard infrastructure seperti kualitas sarana dan prasarana transportasi, kemajuan teknologi hingga ketersediaan energi dan air bersih juga menjadi prasyarat yang penting untuk menekan tingginya biaya transaksi. Strategi ini sudah diterapkan Malaysia hingga mereka mampu menjadi salah satu pusat pengembangan bisnis ekonomi syariah di Kawasan ASEAN dan Asia.
Kedua, wacana pemerintah untuk mengembangkan Islamic Finance Industry Centre perlu didukung agar lekas terealisasi. Lembaga ini nantinya diharapkan bisa melahirkan banyak manajer investasi syariah yang andal sebagaimana yang sudah diterapkan di Inggris dan Malaysia.
Inggris dan Malaysia mampu mengoptimalkan penerimaan sukuk (khususnya dari investor Timur Tengah) berkat adanya kebijakan ini. Tugas para manajer dikhususkan sebagai pemandu masyarakat dan para investor asing untuk memahami karakteristik dan regulasi bisnis syariah serta gambaran potensi ekonomi yang dapat dikelola di Indonesia.
Potensi bisnis syariah tidak hanya sebatas berupa sukuk, melainkan ada juga potensi lain seperti melalui pasar modal, asuransi, reksadana, dan investasi emas yang secara keseluruhan menggunakan prinsip-prinsip syariah. Jadi masyarakat yang tergolong awam tidak sekadar merencanakan bisnis secara intuisi personal, tetapi akan didampingi para manajer untuk menyusun portofolio investasinya.
Ketiga, para kelompok penggiat aktivitas berbasis Islam seperti pondok pesantren atau lembaga pendidikan dan dakwah Islam perlu dirangkul untuk ikut menyemarakkan kegiatan ekonomi syariah. Pada umumnya kesadaran dan ghirah mereka mengenai pentingnya melakukan kegiatan ekonomi berlandaskan syariah sudah lama terbentuk. Hanya saja belum ada kebijakan yang konkret untuk memfasilitasi aspirasi mereka.
Nah, ke depannya pemerintah dapat memfasilitasi mereka untuk melakukan berbagai kegiatan produktif berbasis ekonomi syariah. Contoh yang paling konkret sudah dilakukan Pondok Pesantren Sidogiri yang berpusat di Pasuruan, Jawa Timur, yang telah melakukan berbagai layanan bisnis syariah mulai dari layanan umum koperasi hingga produksi dan pertokoan.
Dan keempat, perlunya sinergi dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk melakukan pengawasan dan pembinaan di setiap lini kegiatan ekonomi syariah. Kepentingan lainnya ialah untuk menjaga marwah lembaga ekonomi syariah.
Bagaimanapun preferensi masyarakat yang memilih menggunakan jasa lembaga ini lebih disebabkan aspek aksioma berdasarkan prinsip keimanan ketimbang preferensi dalam prinsip ekonomi. Karena itu pola aktivitas ekonominya harus benar-benar terjamin kehalalannya demi menjaga tingkat kepercayaan masyarakat senantiasa tetap utuh.
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
POSISI pembangunan di Indonesia seperti terjebak dalam “periode cobaan” hingga terus dirundung berbagai macam kesulitan. Berulang kali dilakukan upaya reformis, tetap belum menampakkan hasil meyakinkan.
Kita harus mawas diri, untuk saat ini kekuatan perekonomian nasional sudah jauh menurun jika dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya. Pemerintah dipaksa mengimbangi gelombang ekuilibrium yang terus mengalami pasang-surut karena pengaruh kondisi internal dan eksternal.
Kita justru lebih banyak didikte dan terdistorsi ketimbang menguasai pasar. Maka sangat wajar jika julukan sebagai macan Asia di masa lampau untuk menggambarkan betapa garangnya perekonomian kita kini dianggap sebatas bagian dari cerita masa lalu.
Sumber permasalahan yang kita hadapi memang sudah cenderung semakin dekat dengan titik kulminasi. Kalau dirunut berdasarkan mata rantai perekonomian, titik awalnya bermula dari proses perencanaan pembangunan yang berjalan kurang terarah.
Pergerakan kebijakan pemerintah cenderung sekadar mengikuti dinamika kondisi nasional dan global sehingga arah kebijakannya seperti terus mengambang. Celakanya lagi pihak perencana kita seperti kebingungan menentukan program-program prioritas di atas keterbatasan ruang fiskal.
Akibatnya banyak aspek pembangunan yang belum tersentuh secara optimal. Proses birokrasi penyerapan anggaran yang rumit juga mendukung terhambatnya pembangunan. Kasus penyerapan anggaran yang rendah paling banyak justru terjadi di tingkat daerah.
Tahun 2016 lalu bahkan masih banyak dana pembangunan daerah yang “mubazir” dan mengendap di perbankan. Jika diakumulasikan, total dana idle mencapai Rp83,3 triliun (DJPK, 2017).
Tahap perencanaan dan penyerapan anggaran yang kurang optimal kemudian berimbas pada indikator-indikator daya saing investasi di Indonesia. Secara makro, daya saing kita turun dari peringkat 37 dunia menjadi 41 dunia (World Economic Forum, 2016).
Penyebabnya lagi-lagi disebabkan persepsi birokrasi yang rawan korupsi, ditambah dengan kualitas infrastruktur transportasi dan energi yang rendah serta produktivitas tenaga kerja yang sangat terbatas. Akibatnya pertumbuhan ekonomi kita cenderung terus melambat. Apalagi pola pertumbuhan Indonesia lebih banyak disokong sisi konsumsi daripada sisi investasi.
Padahal daya konsumsi masyarakat sangat tergantung pada tingkat pendapatan dan daya beli sebagai buah dari kegiatan investasi. Jadi boleh dibilang, selama ini kita berjalan di atas jalur yang sangat rapuh untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas.
Pada mata rantai berikutnya, hasil kegiatan ekonomi baik dari sisi investasi, produksi maupun konsumsi pada akhirnya akan memengaruhi tingkat pendapatan negara yang bersumber dari pajak dan nonpajak. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak Presiden Joko Widodo menjabat, realisasi pendapatan negara terus disorot karena cenderung semakin terjepit.
Potensi pajak kian besar, tetapi tax ratio masih jauh dari angka ideal. Penyebabnya karena tax compliance masyarakat yang begitu rendah dan disertai dengan infrastruktur penarikan pajak yang masih dinilai berbiaya tinggi.
Ditambah lagi dengan merosotnya kinerja ekonomi objek-objek pajak potensial akibat resesi perekonomian global (terkait ekspor dan impor komoditas strategis) serta spekulasi mengenai suku bunga The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) yang membuat banyak pemodal potensial menarik dana investasinya dari Indonesia.
Pemerintah memiliki pekerjaan besar lainnya yang terkait dengan pengendalian defisit fiskal sebagai imbas dari gap kapasitas penerimaan dan belanja. Selama ini pemerintah sudah sangat gamblang kian menigkatkan jumlah utang sebagai dana talangan biaya pembangunan.
Secara ekonomi memang tingkat utang kita masih relatif aman jika dilihat berdasarkan UU Keuangan Negara (sekitar 27% terhadap PDB). Namun dari sisi politik, justru sangat mudah menimbulkan polemik. Peran perusahaan-perusahaan pelat merah (BUMN) sebagai kepanjangan tangan pemerintah juga masih sangat terbatas. Alih-alih akan menambah perbendaharaan kas negara, beberapa BUMN hingga saat ini bahkan masih rajin “memohon” penyertaan modal pemerintah yang bersumber dari APBN.
Untuk itulah perlu ada alternatif kebijakan untuk menanggulangi stagnasi perekonomian Indonesia. Jika model perekonomian yang bersifat konvensional (umum) sedang jumud (beku), mengapa kita tidak memulai untuk semakin erat merangkul potensi investasi berbasis syariah?
Apalagi menurut lansiran beberapa media, Raja Arab Saudi yang fokus dalam pengembangan ekonomi syariah sebentar lagi akan mengunjungi Indonesia. Kita bisa mempersiapkan beberapa potensi kerja sama bilateral.
Salah satunya dengan mengembangkan instrumen investasi syariah yang hingga saat ini kontribusinya belum banyak teroptimalkan. Menurut hitung-hitungan Otoritas Jasa Keuangan (2016), pergerakan investasi syariah di pasar modal baru mencapai 0,2% dari total penduduk Indonesia.
Kelemahan pengelolaan investasi syariah di Indonesia lebih disebabkan belum adanya infrastruktur investasi yang memadai untuk mengakomodasi prospek produk-produk syariah. Infrastruktur syariah yang paling mendesak untuk segera dibangun ialah pengembangan sumber daya insani (SDI) dan pengembangan lembaga keuangan syariah melalui riset atau pusat-pusat studi kajian ilmiah.
Apalagi pengembangan lembaga keuangan syariah belum dipandu secara simultan dengan rencana portofolio jangka panjang (cetak biru perencanaan) sehingga sangat wajar jika kita sudah tertinggal cukup jauh oleh negara lain seperti Arab Saudi, Bahrain, Sudan. Negeri tetangga kita Malaysia bahkan sudah di tahap pematangan produk pengelolaan kekayaan setelah sukses mengembangan skala bisnis perbankan syariah, asuransi (takaful), sukuk, dan pengelolaan aset berbasis syariah.
Instrumen berbasis syariah dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan investasi. Strategi ini selain dapat ditujukan untuk masyarakat Indonesia sendiri, juga dimaksudkan untuk menggarap potensi investasi dari Kawasan Timur Tengah.
Meskipun kita saat ini relatif lebih tertinggal dari Malaysia, kita tetap masih berpeluang mengejar mereka mengingat atensi masyarakat kian besar terhadap produk-produk ekonomi berbasis syariah. Apalagi Indonesia memiliki latar belakang sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia sehingga pemerintah sebagai regulator dan katalitasor kebijakan tinggal memfokuskan pada beberapa poin sebagai berikut.
Pertama, tentu pemerintah harus menyiapkan sederet soft infrastructure investasi syariah mulai dari cetak biru/portofolio pengembangan bisnis syariah, unsur regulasi dan kemudahan birokrasi, pengembangan sumber daya insani hingga ketersediaan lembaga-lembaga riset pengembangan produk syariah.
Dari sisi hard infrastructure seperti kualitas sarana dan prasarana transportasi, kemajuan teknologi hingga ketersediaan energi dan air bersih juga menjadi prasyarat yang penting untuk menekan tingginya biaya transaksi. Strategi ini sudah diterapkan Malaysia hingga mereka mampu menjadi salah satu pusat pengembangan bisnis ekonomi syariah di Kawasan ASEAN dan Asia.
Kedua, wacana pemerintah untuk mengembangkan Islamic Finance Industry Centre perlu didukung agar lekas terealisasi. Lembaga ini nantinya diharapkan bisa melahirkan banyak manajer investasi syariah yang andal sebagaimana yang sudah diterapkan di Inggris dan Malaysia.
Inggris dan Malaysia mampu mengoptimalkan penerimaan sukuk (khususnya dari investor Timur Tengah) berkat adanya kebijakan ini. Tugas para manajer dikhususkan sebagai pemandu masyarakat dan para investor asing untuk memahami karakteristik dan regulasi bisnis syariah serta gambaran potensi ekonomi yang dapat dikelola di Indonesia.
Potensi bisnis syariah tidak hanya sebatas berupa sukuk, melainkan ada juga potensi lain seperti melalui pasar modal, asuransi, reksadana, dan investasi emas yang secara keseluruhan menggunakan prinsip-prinsip syariah. Jadi masyarakat yang tergolong awam tidak sekadar merencanakan bisnis secara intuisi personal, tetapi akan didampingi para manajer untuk menyusun portofolio investasinya.
Ketiga, para kelompok penggiat aktivitas berbasis Islam seperti pondok pesantren atau lembaga pendidikan dan dakwah Islam perlu dirangkul untuk ikut menyemarakkan kegiatan ekonomi syariah. Pada umumnya kesadaran dan ghirah mereka mengenai pentingnya melakukan kegiatan ekonomi berlandaskan syariah sudah lama terbentuk. Hanya saja belum ada kebijakan yang konkret untuk memfasilitasi aspirasi mereka.
Nah, ke depannya pemerintah dapat memfasilitasi mereka untuk melakukan berbagai kegiatan produktif berbasis ekonomi syariah. Contoh yang paling konkret sudah dilakukan Pondok Pesantren Sidogiri yang berpusat di Pasuruan, Jawa Timur, yang telah melakukan berbagai layanan bisnis syariah mulai dari layanan umum koperasi hingga produksi dan pertokoan.
Dan keempat, perlunya sinergi dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk melakukan pengawasan dan pembinaan di setiap lini kegiatan ekonomi syariah. Kepentingan lainnya ialah untuk menjaga marwah lembaga ekonomi syariah.
Bagaimanapun preferensi masyarakat yang memilih menggunakan jasa lembaga ini lebih disebabkan aspek aksioma berdasarkan prinsip keimanan ketimbang preferensi dalam prinsip ekonomi. Karena itu pola aktivitas ekonominya harus benar-benar terjamin kehalalannya demi menjaga tingkat kepercayaan masyarakat senantiasa tetap utuh.
(poe)