Kisruh Sidang Kedelapan
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SIDANG kedelapan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Selasa 31 Januari 2017, disusul kekisruhan. Pasalnya kubu terdakwa (Ahok dan tim hukumnya) dinilai menghardik saksi KH Ma’ruf Amin melalui pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan secara kurang proporsional. Yang ditanyakan adalah tentang benar atau tidaknya saksi pada tanggal 7 Oktober 2016 menerima telepon dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Pembicaraan telepon itu, menurut kubu terdakwa, berisi permintaan dari SBY agar KH Ma’ruf Amin menerima kunjungan putranya Agus H Yudhoyono dan agar MUI segera mengeluarkan fatwa. Saat KH Ma’ruf Amin mengaku tidak ada (karena biasa, kita pun sering lupa menerima telepon dari siapa dan kapan), muncullah semacam hardikan dan pelecehan terhadap Ketua MUI itu.
Misalnya tudingan bahwa KH Ma’ruf Amin bohong, menyembunyikan identitas sebagai mantan Wantimpres, dan memberi keterangan palsu. Bahkan Humphrey Djemat menyampaikan kepada majelis hakim untuk memproses kesaksian palsu tersebut secara hukum.
Itu semua ada di dalam suara dan transkrip yang disiarkan oleh banyak media elektronik maupun cetak. Semakin dibantah, semakin benderang karena orang memutar aslinya lagi. Saya punya 11 catatan atas peristiwa tersebut.
Pertama, untuk mencari kebenaran materiil pihak terdakwa bisa menanyakan apa saja sejauh ada konteksnya dengan perkara. Itu hak sepenuhnya. Pihak terdakwa tidak perlu meminta maaf dalam melakukan itu.
Kedua, pihak terdakwa atau penasihat hukum, dalam rangka mencari kebenaran materiil, dilarang mengintimidasi, menghardik, membentak, dan mengancam saksi. Selain melanggar etika, hal tersebut juga melanggar hukum.
Ketiga, seumpama benar ada pembicaraan antara SBY dan KH Ma’ruf Amin, seperti yang kemudian diakui Ma’ruf Amin setelah dicari di catatannya, maka tidak ada pelanggaran hukum apa pun. Orang menerima telepon dan kemudian menerima tamu sama sekali tidak melanggar hukum, malahan kalau dalam konteks fikih adalah sunah, apalagi di Kantor PBNU dan sebagai pimpinan NU.
Menitipkan anak untuk meminta dukungan atau doa sebagai calon gubernur juga tidak melanggar hukum, sebab pasangan calon lain juga datang ke PBNU, menemui KH Said Agil Siradj untuk minta doa. Tentunya yang menghadap KH Agil Siradj juga menelepon lebih dulu. Apa salahnya?
Keempat, bahkan seumpama pun benar (tapi ini sudah dibantah SBY dan KH Ma’ruf Amin), SBY mengusulkan dikeluarkannya fatwa oleh MUI itu tidak salah. Yang penting fatwa harus sesuai dengan standar rujukan dan prosedur yang berlaku.
KH Ma’ruf Amin diminta bagaimanapun tentu tidak bisa mengeluarkan dan memaksakan keluarnya fatwa tertentu. Kita tentu masih ingat, yang memesan fatwa adalah Polri. Waktu itu Polri menunggu fatwa MUI saat akan memproses hukum kasus ini.
Kelima, sejauh menyangkut pembicaraan telepon yang menurut pihak Ahok punya bukti yang lengkap dan siap disampaikan di persidangan nanti, kemungkinannya ada dua, yaitu bukti itu adalah hasil penyadapan atau kesaksian orang.
Baik sadapan maupun ada saksi yang mendengarkan dan menyampaikan pembicaraan orang di telepon dengan tanpa hak adalah melanggar hukum dan konstitusi yang serius. Hukumannya berat berdasar UU ITE, UU Telekomunikasi, KUHP, dan lain-lain.
Keenam, jika bukti yang dijanjikan dan katanya lengkap itu nanti hanya berupa kliping berita Liputan6 SCTV, itu sungguh absurd dan tidak bisa dianggap bukti kecuali Liputan6 menyadap sendiri pembicaraan itu. Kalau kemudian mau mempersoalkan akurasi Liputan6, hal itu juga tidak bisa karena Liputan6 bukan pihak dalam perkara ini. Kesalahan Liputan6, kalau ada, tidak bisa ditimpakan kepada KH Ma’ruf Amin dan MUI.
Ketujuh, tak bisa disembunyikan bahwa yang diintimidasi dan diancam untuk diproses hukum itu adalah KH Ma’ruf Amin, sebab ketika itu jelas ditujukan kepada dia dan bukan kepada saksi pelapor. Bahwa saksi pelapor diancam akan dikepolisikan itu sudah dilakukan dengan benderang seusai sidang pemeriksaan saksi pelapor beberapa minggu lalu. Lagipula jelas kuasa hukum menyatakan saksi memberi keterangan palsu dan langsung mengatakan kepada majelis hakim untuk memprosesnya secara hukum.
Kedelapan, tragedi sidang kedelapan itu mengandung dua aspek hukum, yaitu hak pribadi Pak SBY bersama KH Ma’ruf Amin dan hak masyarakat serta negara. Sejauh menyangkut Pak SBY dan KH Ma’ruf Amin yang haknya dilanggar, itu sudah selesai dengan pemberian maaf karena ini merupakan delik aduan.
Tapi sejauh menyangkut hak masyarakat dan negara, hal itu tidak bisa selesai dengan maaf. Orang melakukan kejahatan itu melanggar hak masyarakat dan hukum negara, tidak bisa dimaafkan oleh korban sendiri.
Kesembilan, oleh sebab itu, tanpa pelaporan pun negara harus segera menyelidiki dan menindak secara hukum jika ada kejahatan yang di luar delik aduan. Laporan itu hanya diperlukan kalau kejahatan terjadi tapi aparat penegak hukum tidak tahu karena tersembunyi.
Kalau sudah dilakukan secara telanjang, misalnya ada orang membakar rumah orang, aparat penegak hukum tidak perlu menunggu laporan untuk bertindak. Itu aturannya kalau hukum mau ditegakkan.
Ke-10, saya sempat menyampaikan dan berdiskusi dengan teman saya yang anggota DPR, Benny K Harman, tentang jalannya perkara penistaan agama ini. Ada kesan pengadilan ini mau digiring untuk mengadili fatwa MUI, bukan mengadili penodaan agama.
Terakhir, pengadilan tidak boleh mempersoalkan prosedur, kuorum, dan rujukan Fatwa MUI seperti yang dicecarkan pihak Ahok. Itu otonomi penuh MUI. Kasus ini adalah kasus penodaan agama, bukan kasus pengadilan atas fatwa MUI.
Fatwa MUI tidak boleh diadili oleh pengadilan. Fatwa memang bukan hukum positif, tetapi bukan berarti fatwa itu melawan hukum atau tidak baik, melainkan hanya dalam arti tidak bisa ditegakkan oleh aparat penegak hukum negara; kecuali fatwa yang sudah menjadi isi UU. Makanya fatwa MUI tak bisa diadili seperti halnya jika akademisi mengeluarkan pendapat.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
SIDANG kedelapan kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Selasa 31 Januari 2017, disusul kekisruhan. Pasalnya kubu terdakwa (Ahok dan tim hukumnya) dinilai menghardik saksi KH Ma’ruf Amin melalui pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan secara kurang proporsional. Yang ditanyakan adalah tentang benar atau tidaknya saksi pada tanggal 7 Oktober 2016 menerima telepon dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Pembicaraan telepon itu, menurut kubu terdakwa, berisi permintaan dari SBY agar KH Ma’ruf Amin menerima kunjungan putranya Agus H Yudhoyono dan agar MUI segera mengeluarkan fatwa. Saat KH Ma’ruf Amin mengaku tidak ada (karena biasa, kita pun sering lupa menerima telepon dari siapa dan kapan), muncullah semacam hardikan dan pelecehan terhadap Ketua MUI itu.
Misalnya tudingan bahwa KH Ma’ruf Amin bohong, menyembunyikan identitas sebagai mantan Wantimpres, dan memberi keterangan palsu. Bahkan Humphrey Djemat menyampaikan kepada majelis hakim untuk memproses kesaksian palsu tersebut secara hukum.
Itu semua ada di dalam suara dan transkrip yang disiarkan oleh banyak media elektronik maupun cetak. Semakin dibantah, semakin benderang karena orang memutar aslinya lagi. Saya punya 11 catatan atas peristiwa tersebut.
Pertama, untuk mencari kebenaran materiil pihak terdakwa bisa menanyakan apa saja sejauh ada konteksnya dengan perkara. Itu hak sepenuhnya. Pihak terdakwa tidak perlu meminta maaf dalam melakukan itu.
Kedua, pihak terdakwa atau penasihat hukum, dalam rangka mencari kebenaran materiil, dilarang mengintimidasi, menghardik, membentak, dan mengancam saksi. Selain melanggar etika, hal tersebut juga melanggar hukum.
Ketiga, seumpama benar ada pembicaraan antara SBY dan KH Ma’ruf Amin, seperti yang kemudian diakui Ma’ruf Amin setelah dicari di catatannya, maka tidak ada pelanggaran hukum apa pun. Orang menerima telepon dan kemudian menerima tamu sama sekali tidak melanggar hukum, malahan kalau dalam konteks fikih adalah sunah, apalagi di Kantor PBNU dan sebagai pimpinan NU.
Menitipkan anak untuk meminta dukungan atau doa sebagai calon gubernur juga tidak melanggar hukum, sebab pasangan calon lain juga datang ke PBNU, menemui KH Said Agil Siradj untuk minta doa. Tentunya yang menghadap KH Agil Siradj juga menelepon lebih dulu. Apa salahnya?
Keempat, bahkan seumpama pun benar (tapi ini sudah dibantah SBY dan KH Ma’ruf Amin), SBY mengusulkan dikeluarkannya fatwa oleh MUI itu tidak salah. Yang penting fatwa harus sesuai dengan standar rujukan dan prosedur yang berlaku.
KH Ma’ruf Amin diminta bagaimanapun tentu tidak bisa mengeluarkan dan memaksakan keluarnya fatwa tertentu. Kita tentu masih ingat, yang memesan fatwa adalah Polri. Waktu itu Polri menunggu fatwa MUI saat akan memproses hukum kasus ini.
Kelima, sejauh menyangkut pembicaraan telepon yang menurut pihak Ahok punya bukti yang lengkap dan siap disampaikan di persidangan nanti, kemungkinannya ada dua, yaitu bukti itu adalah hasil penyadapan atau kesaksian orang.
Baik sadapan maupun ada saksi yang mendengarkan dan menyampaikan pembicaraan orang di telepon dengan tanpa hak adalah melanggar hukum dan konstitusi yang serius. Hukumannya berat berdasar UU ITE, UU Telekomunikasi, KUHP, dan lain-lain.
Keenam, jika bukti yang dijanjikan dan katanya lengkap itu nanti hanya berupa kliping berita Liputan6 SCTV, itu sungguh absurd dan tidak bisa dianggap bukti kecuali Liputan6 menyadap sendiri pembicaraan itu. Kalau kemudian mau mempersoalkan akurasi Liputan6, hal itu juga tidak bisa karena Liputan6 bukan pihak dalam perkara ini. Kesalahan Liputan6, kalau ada, tidak bisa ditimpakan kepada KH Ma’ruf Amin dan MUI.
Ketujuh, tak bisa disembunyikan bahwa yang diintimidasi dan diancam untuk diproses hukum itu adalah KH Ma’ruf Amin, sebab ketika itu jelas ditujukan kepada dia dan bukan kepada saksi pelapor. Bahwa saksi pelapor diancam akan dikepolisikan itu sudah dilakukan dengan benderang seusai sidang pemeriksaan saksi pelapor beberapa minggu lalu. Lagipula jelas kuasa hukum menyatakan saksi memberi keterangan palsu dan langsung mengatakan kepada majelis hakim untuk memprosesnya secara hukum.
Kedelapan, tragedi sidang kedelapan itu mengandung dua aspek hukum, yaitu hak pribadi Pak SBY bersama KH Ma’ruf Amin dan hak masyarakat serta negara. Sejauh menyangkut Pak SBY dan KH Ma’ruf Amin yang haknya dilanggar, itu sudah selesai dengan pemberian maaf karena ini merupakan delik aduan.
Tapi sejauh menyangkut hak masyarakat dan negara, hal itu tidak bisa selesai dengan maaf. Orang melakukan kejahatan itu melanggar hak masyarakat dan hukum negara, tidak bisa dimaafkan oleh korban sendiri.
Kesembilan, oleh sebab itu, tanpa pelaporan pun negara harus segera menyelidiki dan menindak secara hukum jika ada kejahatan yang di luar delik aduan. Laporan itu hanya diperlukan kalau kejahatan terjadi tapi aparat penegak hukum tidak tahu karena tersembunyi.
Kalau sudah dilakukan secara telanjang, misalnya ada orang membakar rumah orang, aparat penegak hukum tidak perlu menunggu laporan untuk bertindak. Itu aturannya kalau hukum mau ditegakkan.
Ke-10, saya sempat menyampaikan dan berdiskusi dengan teman saya yang anggota DPR, Benny K Harman, tentang jalannya perkara penistaan agama ini. Ada kesan pengadilan ini mau digiring untuk mengadili fatwa MUI, bukan mengadili penodaan agama.
Terakhir, pengadilan tidak boleh mempersoalkan prosedur, kuorum, dan rujukan Fatwa MUI seperti yang dicecarkan pihak Ahok. Itu otonomi penuh MUI. Kasus ini adalah kasus penodaan agama, bukan kasus pengadilan atas fatwa MUI.
Fatwa MUI tidak boleh diadili oleh pengadilan. Fatwa memang bukan hukum positif, tetapi bukan berarti fatwa itu melawan hukum atau tidak baik, melainkan hanya dalam arti tidak bisa ditegakkan oleh aparat penegak hukum negara; kecuali fatwa yang sudah menjadi isi UU. Makanya fatwa MUI tak bisa diadili seperti halnya jika akademisi mengeluarkan pendapat.
(poe)