Mabuk Pilkada
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
SUASANA menjelang Pilkada DKI Jakarta tidak hanya membuat masyarakat demam, melainkan juga mabuk. Seakan tak ada agenda lain yang lebih penting kecuali pilkada untuk memenangkan jagonya. Sebuah kompetisi antar-AS, yaitu Agus-Sylvi, Ahok-Saiful Djarot, dan Anies-Sandiaga.
Setidaknya begitulah yang disajikan media massa, utamanya televisi dan media sosial semisal Twitter dan Facebook. Semakin mendekati hari pencoblosan, suasana batin masyarakat semakin gaduh dan heboh.
Kehebohan ini semakin dirasakan ketika yang tampil ke panggung wacana pilkada merupakan figur-figur nasional yang tidak sembarangan. Masing-masing berkepentingan untuk memenangkan jagonya. Sebut saja misalnya Pak SBY, Pak Prabowo, dan Bu Megawati.
Masyarakat sangat paham dan tahu siapa jago mereka masing-masing. Situasi lebih membingungkan lagi ketika tokoh-tokoh agama ikut bermain.
Yang paling mencolok adalah FPI di bawah komando Habib Rizieq yang menuntut agar Ahok segera diadili dan ditahan karena dituduh telah menistakan Alquran. Masyarakat juga masih menduga-duga, ke mana suara FPI sesungguhnya akan disalurkan.
Semula polisi sudah membuat peraturan, siapa pun yang tengah berlaga dalam pilkada, kalau terkena urusan hukum, akan diproses seusai pilkada. Itu agar pertandingan berjalan damai dan menarik ditonton. Tapi karena desakan masyarakat begitu kuat, agar situasi mereda, Ahok diadili dengan tuduhan penistaan agama.
Konsekuensinya, karena Ahok diproses kasusnya, ketika polisi mendapat laporan calon lain melanggar hukum, misalnya tuduhan korupsi, proses hukum juga mesti dijalankan. Demikianlah, di luar Ahok juga terdapat beberapa calon lain termasuk di luar Jakarta yang potensial jadi bidikan polisi untuk diproses karena tuduhan korupsi.
Tak terhindarkan lagi, suasana politik jelang pilkada tambah ramai dan ruwet. Ibarat pepatah lama, ketika gajah-gajah keluar kandang saling beradu, kebun binatang jadi heboh.
Hewan-hewan lain lari atau sembunyi ketakutan. Atau malah ikut tepuk tangan menambah kegaduhan. Termasuk para pengunjungnya.
Pengibaratan ini tentu tidak tepat mengingat pilkada sejatinya bukan sebuah perseteruan. Bukan pula sebuah peperangan karena jika dianggap perang, berbagai tipu daya boleh dilakukan.
Pilkada merupakan mata rantai untuk memilih pemimpin secara periodik. Secara teoretis di situlah salah satu keunggulan sistem demokrasi. Rakyat diberi kebebasan memilih calon pemimpinnya dengan terlebih dahulu meneliti dan mengkaji rekam jejak serta kompetensinya.
Maka salah satu acara yang ditampilkan adalah debat terbuka bagi para calon agar para pemilih lebih mengenal kualitas jagonya. Bagi masyarakat yang sudah berpendidikan, sesungguhnya tidak sulit mengenal dan menimbang para calon yang maju karena sumber informasi terbuka dari berbagai jalur.
Tapi memilih calon pemimpin tidak semata didasarkan pada pertimbangan rasional. Di sana berlaku juga pengaruh perkoncoan, pertimbangan etnik, agama, dan prestasi kerja.
Tak ketinggalan juga bujuk rayu disertai uang. Kesemuanya bercampur dan pemilih bebas menentukan pilihannya. Makanya masa kampanye sebagai masa jualan dan pendekatan kepada calon pemilih menjadi sangat strategis.
Intinya, promosi layaknya iklan kecap, masing-masing mengaku nomor satu. Uang miliaran mesti dibelanjakan untuk biaya iklan dan menggaji para buzzer untuk melakukan perang di medan medsos. Mereka saling mencari celah dan strategi untuk menjatuhkan pesaingnya.
Maka pilkada berubah menjadi medan perang. Berbagai tipu daya dilakukan. Hoax sengaja diciptakan, lalu dilempar ke publik. Rakyat pun dibuat bingung dan mabuk.
Tokoh-tokoh agama ditarik-tarik dengan berbagai argumen dan dalih. Bahkan muncul ungkapan populer, ini pilkada serasa pemilu. Siapa pun yang memenangi Pilkada DKI berarti sudah menang satu langkah untuk memenangi pilpres. Ini semua bisa dilihat sebagai dinamika dan proses pendewasaan berdemokrasi.
Tapi ada pula komentar, kualitas demokrasi kita kian menurun dan membusuk karena yang lebih mengemuka adalah sikap emosional yang diwarnai saling umpat dan caci maki, bukannya sikap rasional yang bersahabat demi kepentingan bangsa, tetapi demi sekelompok golongan ataupun siapa yang kuat bayar.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
SUASANA menjelang Pilkada DKI Jakarta tidak hanya membuat masyarakat demam, melainkan juga mabuk. Seakan tak ada agenda lain yang lebih penting kecuali pilkada untuk memenangkan jagonya. Sebuah kompetisi antar-AS, yaitu Agus-Sylvi, Ahok-Saiful Djarot, dan Anies-Sandiaga.
Setidaknya begitulah yang disajikan media massa, utamanya televisi dan media sosial semisal Twitter dan Facebook. Semakin mendekati hari pencoblosan, suasana batin masyarakat semakin gaduh dan heboh.
Kehebohan ini semakin dirasakan ketika yang tampil ke panggung wacana pilkada merupakan figur-figur nasional yang tidak sembarangan. Masing-masing berkepentingan untuk memenangkan jagonya. Sebut saja misalnya Pak SBY, Pak Prabowo, dan Bu Megawati.
Masyarakat sangat paham dan tahu siapa jago mereka masing-masing. Situasi lebih membingungkan lagi ketika tokoh-tokoh agama ikut bermain.
Yang paling mencolok adalah FPI di bawah komando Habib Rizieq yang menuntut agar Ahok segera diadili dan ditahan karena dituduh telah menistakan Alquran. Masyarakat juga masih menduga-duga, ke mana suara FPI sesungguhnya akan disalurkan.
Semula polisi sudah membuat peraturan, siapa pun yang tengah berlaga dalam pilkada, kalau terkena urusan hukum, akan diproses seusai pilkada. Itu agar pertandingan berjalan damai dan menarik ditonton. Tapi karena desakan masyarakat begitu kuat, agar situasi mereda, Ahok diadili dengan tuduhan penistaan agama.
Konsekuensinya, karena Ahok diproses kasusnya, ketika polisi mendapat laporan calon lain melanggar hukum, misalnya tuduhan korupsi, proses hukum juga mesti dijalankan. Demikianlah, di luar Ahok juga terdapat beberapa calon lain termasuk di luar Jakarta yang potensial jadi bidikan polisi untuk diproses karena tuduhan korupsi.
Tak terhindarkan lagi, suasana politik jelang pilkada tambah ramai dan ruwet. Ibarat pepatah lama, ketika gajah-gajah keluar kandang saling beradu, kebun binatang jadi heboh.
Hewan-hewan lain lari atau sembunyi ketakutan. Atau malah ikut tepuk tangan menambah kegaduhan. Termasuk para pengunjungnya.
Pengibaratan ini tentu tidak tepat mengingat pilkada sejatinya bukan sebuah perseteruan. Bukan pula sebuah peperangan karena jika dianggap perang, berbagai tipu daya boleh dilakukan.
Pilkada merupakan mata rantai untuk memilih pemimpin secara periodik. Secara teoretis di situlah salah satu keunggulan sistem demokrasi. Rakyat diberi kebebasan memilih calon pemimpinnya dengan terlebih dahulu meneliti dan mengkaji rekam jejak serta kompetensinya.
Maka salah satu acara yang ditampilkan adalah debat terbuka bagi para calon agar para pemilih lebih mengenal kualitas jagonya. Bagi masyarakat yang sudah berpendidikan, sesungguhnya tidak sulit mengenal dan menimbang para calon yang maju karena sumber informasi terbuka dari berbagai jalur.
Tapi memilih calon pemimpin tidak semata didasarkan pada pertimbangan rasional. Di sana berlaku juga pengaruh perkoncoan, pertimbangan etnik, agama, dan prestasi kerja.
Tak ketinggalan juga bujuk rayu disertai uang. Kesemuanya bercampur dan pemilih bebas menentukan pilihannya. Makanya masa kampanye sebagai masa jualan dan pendekatan kepada calon pemilih menjadi sangat strategis.
Intinya, promosi layaknya iklan kecap, masing-masing mengaku nomor satu. Uang miliaran mesti dibelanjakan untuk biaya iklan dan menggaji para buzzer untuk melakukan perang di medan medsos. Mereka saling mencari celah dan strategi untuk menjatuhkan pesaingnya.
Maka pilkada berubah menjadi medan perang. Berbagai tipu daya dilakukan. Hoax sengaja diciptakan, lalu dilempar ke publik. Rakyat pun dibuat bingung dan mabuk.
Tokoh-tokoh agama ditarik-tarik dengan berbagai argumen dan dalih. Bahkan muncul ungkapan populer, ini pilkada serasa pemilu. Siapa pun yang memenangi Pilkada DKI berarti sudah menang satu langkah untuk memenangi pilpres. Ini semua bisa dilihat sebagai dinamika dan proses pendewasaan berdemokrasi.
Tapi ada pula komentar, kualitas demokrasi kita kian menurun dan membusuk karena yang lebih mengemuka adalah sikap emosional yang diwarnai saling umpat dan caci maki, bukannya sikap rasional yang bersahabat demi kepentingan bangsa, tetapi demi sekelompok golongan ataupun siapa yang kuat bayar.
(poe)