Korupsi Kepala Daerah dan Dinasti Politik
A
A
A
Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
PENANGKAPAN sejumlah kepala daerah dalam kasus korupsi dan dinasti politik dalam beberapa waktu terakhir menjadi isu yang banyak diperbincangkan oleh masyarakat. Jika dicermati kembali, keduanya seringkali berkaitan. Korupsi kepala daerah cenderung dilakukan oleh dinasti politik dan keberadaan dinasti politik potensial mendorong kepala daerah untuk melakukan korupsi.
Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan pada 2015 terdapat 361 kepala daerah yang tersangkut korupsi. Jumlah tersebut terdiri atas 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota yang kasusnya ditangani institusi kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Sebagian besar di antaranya telah dinyatakan hakim terbukti melakukan korupsi dan mendekam di penjara.
Dari ratusan kasus tersebut, sedikitnya ada enam kasus korupsi oleh kepala daerah yang ditangani KPK diduga terkait dengan dinasti politik. Mereka adalah Ratu Atut Chosiyah (gubernur Banten), Atty Suharti (wali kota Cimahi), Fuad Amin (bupati Bangkalan), Syaukani Hasan Rais (bupati Kutai Kartanegara), Yan Anton Ferdian (bupati Banyuasin), dan terakhir adalah Sri Hartini (bupati Klaten).
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017 menunjukkan sedikitnya ada 58 daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang terindikasi sebagai dinasti politik. Jumlah saat ini mungkin kurang 20% dari total seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, namun keberadaan dinasti politik dan korupsi yang dilakukan kepala daerah dari waktu ke waktu semakin meningkat dan mengkhawatirkan.
Modus korupsi yang dilakukan oleh dinasti politik juga beragam. Untuk daerah yang kaya sumber daya alam, modus korupsi yang seringkali dilakukan kepala daerah adalah menerima suap untuk penerbitan izin-izin usaha pertambangan, perkebunan, atau kehutanan.
Sedangkan untuk daerah yang tidak cukup kaya sumber daya alam, modus korupsinya adalah menerima suap atau terlibat langsung dari proyek-proyek yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah.
Adapun motif korupsi yang dilakukan dinasti politik antara lain untuk mengembalikan biaya politik yang sudah dan akan dikeluarkan untuk proses pilkada, merawat kekuasaan dan jaringan yang mendukung dinasti politik, serta sudah tentu untuk memperkaya kelompok dinasti politik.
Tidak saja korupsi, dinasti politik juga telah menjadi duri dalam daging proses demokrasi di negeri ini. Demokrasi mendorong desentralisasi kekuasaan, dan mencegah terjadi pemusatan kekuasaan hanya pada elite tertentu.
Keberadaan dinasti politik yang korup pada akhirnya merusak proses demokrasi. Terjadi sentralisasi kekuasaan khususnya di wilayah eksekutif. Birokrasi dikendalikan oleh segelintir orang dan fungsi pengawasan yang biasanya dilakukan oleh parlemen daerah tidak berjalan akibat disuap atau ikut menikmati proyek maupun fasilitas dari dinasti politik.
Setidaknya ada tiga faktor penyebab semakin merebaknya dinasti politik di Indonesia. Pertama, buruknya mekanisme pemilihan kandidat kepala daerah di internal partai politik. Aspek kompetensi dan integritas seringkali diabaikan sebagai syarat utama dalam penilaian calon kepala daerah yang akan mewakili partai politik.
Partai cenderung memilih calon yang loyal, memiliki kemampuan finansial, dan dekat dengan elite partai politik. Hal ini juga akibat dari dikuasainya sejumlah jabatan strategis di internal partai oleh kelompok dinasti sehingga proses elite politik hanya berputar di keluarga atau jejaring kelompok tertentu dan menutup potensi partisipasi politik calon yang lain. Akibat itu, proses demokratisasi di partai politik sekadar slogan.
Kedua, tidak ada regulasi yang membatasi potensi penguasaan politik oleh dinasti. Sesungguhnya inisiatif untuk memangkas dinasti politik sudah dimulai sejak 2015 dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada.
Pasal 7 huruf r UU Pilkada pada intinya menyebutkan seseorang yang mempunyai hubungan darah atau ikatan perkawinan dengan petahana tidak boleh maju menjadi kepala daerah kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan atau lima tahun.
Sayangnya, ketentuan yang mengatur soal mencegah berkembangnya dinasti politik tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketiadaan regulasi ini akhirnya dimanfaatkan oleh para kepala daerah untuk berlomba-lomba menyiapkan keluarganya sebagai pengganti dan mempertahankan dinastinya tetap berkuasa. Dalam catatan ICW pada Pilkada Serentak 2017 ini diikuti oleh 12 kandidat yang terkait dengan dinasti politik.
Ketiga, proses penegakan hukum tidak maksimal di tingkat daerah. Keberadaan dinasti politik di daerah umumnya tidak saja menguasai kalangan eksekutif dan legislatif, namun juga yudikatif atau institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan setempat.
Kondisi ini dapat menyebabkan pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan kroni dinasti politik tidak pernah tuntas atau akhirnya dihentikan di tengah jalan. Sementara ini hanya lembaga penegak hukum yang independen seperti KPK yang dinilai mampu memproses aktor-aktor dari dinasti politik hingga tuntas ke pengadilan.
Pada akhirnya mencegah eksistensi dinasti politik agar tidak menjadi dinasti koruptor menjadi kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan. Dalam jangka pendek ada sejumlah upaya yang dapat dilakukan.
Menghadapi Pilkada Serentak 2017, perlu dibangun penyadaran politik bagi publik untuk tidak lagi memilih calon kepala daerah yang terafiliasi atau dekat dengan dinasti politik. Hal ini juga diingatkan oleh Agus Rahardjo, ketua KPK, pada 2 Desember 2016 yang meminta masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah, khususnya bila kandidat mengarah pada pembentukan politik dinasti.
Proses penegakan hukum sebaiknya mulai menyasar pada daerah-daerah di mana dinasti politik sedang berkuasa. Memenjarakan aktor-aktor dinasti politik sementara ini dianggap sebagai cara jitu memutus mata rantai dinasti koruptor.
Upaya pemiskinan dan penjatuhan hukuman penjara secara maksimal perlu diberikan pada kepala daerah yang terbukti korupsi untuk mencegah ada konsolidasi di internal dinasti politik untuk kembali berkuasa.
Sedangkan dalam jangka panjang sebaiknya UU Pilkada perlu segera direvisi secara terbatas. Ketentuan mengenai pencegahan dinasti politik –yang sempat dibatalkan oleh MK– sebaiknya diatur kembali. Pada sisi lain partai politik perlu melakukan reformasi dalam mekanisme penjaringan bakal calon kepala daerah.
Pencalonan oleh partai politik sebaiknya dilakukan melalui mekanisme yang lebih demokratis, tidak lagi diputuskan oleh hanya ketua umum atau ketua dewan pimpinan partai, namun oleh rapat pengurus anggota partai.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
PENANGKAPAN sejumlah kepala daerah dalam kasus korupsi dan dinasti politik dalam beberapa waktu terakhir menjadi isu yang banyak diperbincangkan oleh masyarakat. Jika dicermati kembali, keduanya seringkali berkaitan. Korupsi kepala daerah cenderung dilakukan oleh dinasti politik dan keberadaan dinasti politik potensial mendorong kepala daerah untuk melakukan korupsi.
Data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan pada 2015 terdapat 361 kepala daerah yang tersangkut korupsi. Jumlah tersebut terdiri atas 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota yang kasusnya ditangani institusi kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Sebagian besar di antaranya telah dinyatakan hakim terbukti melakukan korupsi dan mendekam di penjara.
Dari ratusan kasus tersebut, sedikitnya ada enam kasus korupsi oleh kepala daerah yang ditangani KPK diduga terkait dengan dinasti politik. Mereka adalah Ratu Atut Chosiyah (gubernur Banten), Atty Suharti (wali kota Cimahi), Fuad Amin (bupati Bangkalan), Syaukani Hasan Rais (bupati Kutai Kartanegara), Yan Anton Ferdian (bupati Banyuasin), dan terakhir adalah Sri Hartini (bupati Klaten).
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017 menunjukkan sedikitnya ada 58 daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang terindikasi sebagai dinasti politik. Jumlah saat ini mungkin kurang 20% dari total seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, namun keberadaan dinasti politik dan korupsi yang dilakukan kepala daerah dari waktu ke waktu semakin meningkat dan mengkhawatirkan.
Modus korupsi yang dilakukan oleh dinasti politik juga beragam. Untuk daerah yang kaya sumber daya alam, modus korupsi yang seringkali dilakukan kepala daerah adalah menerima suap untuk penerbitan izin-izin usaha pertambangan, perkebunan, atau kehutanan.
Sedangkan untuk daerah yang tidak cukup kaya sumber daya alam, modus korupsinya adalah menerima suap atau terlibat langsung dari proyek-proyek yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah.
Adapun motif korupsi yang dilakukan dinasti politik antara lain untuk mengembalikan biaya politik yang sudah dan akan dikeluarkan untuk proses pilkada, merawat kekuasaan dan jaringan yang mendukung dinasti politik, serta sudah tentu untuk memperkaya kelompok dinasti politik.
Tidak saja korupsi, dinasti politik juga telah menjadi duri dalam daging proses demokrasi di negeri ini. Demokrasi mendorong desentralisasi kekuasaan, dan mencegah terjadi pemusatan kekuasaan hanya pada elite tertentu.
Keberadaan dinasti politik yang korup pada akhirnya merusak proses demokrasi. Terjadi sentralisasi kekuasaan khususnya di wilayah eksekutif. Birokrasi dikendalikan oleh segelintir orang dan fungsi pengawasan yang biasanya dilakukan oleh parlemen daerah tidak berjalan akibat disuap atau ikut menikmati proyek maupun fasilitas dari dinasti politik.
Setidaknya ada tiga faktor penyebab semakin merebaknya dinasti politik di Indonesia. Pertama, buruknya mekanisme pemilihan kandidat kepala daerah di internal partai politik. Aspek kompetensi dan integritas seringkali diabaikan sebagai syarat utama dalam penilaian calon kepala daerah yang akan mewakili partai politik.
Partai cenderung memilih calon yang loyal, memiliki kemampuan finansial, dan dekat dengan elite partai politik. Hal ini juga akibat dari dikuasainya sejumlah jabatan strategis di internal partai oleh kelompok dinasti sehingga proses elite politik hanya berputar di keluarga atau jejaring kelompok tertentu dan menutup potensi partisipasi politik calon yang lain. Akibat itu, proses demokratisasi di partai politik sekadar slogan.
Kedua, tidak ada regulasi yang membatasi potensi penguasaan politik oleh dinasti. Sesungguhnya inisiatif untuk memangkas dinasti politik sudah dimulai sejak 2015 dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada.
Pasal 7 huruf r UU Pilkada pada intinya menyebutkan seseorang yang mempunyai hubungan darah atau ikatan perkawinan dengan petahana tidak boleh maju menjadi kepala daerah kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan atau lima tahun.
Sayangnya, ketentuan yang mengatur soal mencegah berkembangnya dinasti politik tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketiadaan regulasi ini akhirnya dimanfaatkan oleh para kepala daerah untuk berlomba-lomba menyiapkan keluarganya sebagai pengganti dan mempertahankan dinastinya tetap berkuasa. Dalam catatan ICW pada Pilkada Serentak 2017 ini diikuti oleh 12 kandidat yang terkait dengan dinasti politik.
Ketiga, proses penegakan hukum tidak maksimal di tingkat daerah. Keberadaan dinasti politik di daerah umumnya tidak saja menguasai kalangan eksekutif dan legislatif, namun juga yudikatif atau institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan setempat.
Kondisi ini dapat menyebabkan pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan kroni dinasti politik tidak pernah tuntas atau akhirnya dihentikan di tengah jalan. Sementara ini hanya lembaga penegak hukum yang independen seperti KPK yang dinilai mampu memproses aktor-aktor dari dinasti politik hingga tuntas ke pengadilan.
Pada akhirnya mencegah eksistensi dinasti politik agar tidak menjadi dinasti koruptor menjadi kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan. Dalam jangka pendek ada sejumlah upaya yang dapat dilakukan.
Menghadapi Pilkada Serentak 2017, perlu dibangun penyadaran politik bagi publik untuk tidak lagi memilih calon kepala daerah yang terafiliasi atau dekat dengan dinasti politik. Hal ini juga diingatkan oleh Agus Rahardjo, ketua KPK, pada 2 Desember 2016 yang meminta masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah, khususnya bila kandidat mengarah pada pembentukan politik dinasti.
Proses penegakan hukum sebaiknya mulai menyasar pada daerah-daerah di mana dinasti politik sedang berkuasa. Memenjarakan aktor-aktor dinasti politik sementara ini dianggap sebagai cara jitu memutus mata rantai dinasti koruptor.
Upaya pemiskinan dan penjatuhan hukuman penjara secara maksimal perlu diberikan pada kepala daerah yang terbukti korupsi untuk mencegah ada konsolidasi di internal dinasti politik untuk kembali berkuasa.
Sedangkan dalam jangka panjang sebaiknya UU Pilkada perlu segera direvisi secara terbatas. Ketentuan mengenai pencegahan dinasti politik –yang sempat dibatalkan oleh MK– sebaiknya diatur kembali. Pada sisi lain partai politik perlu melakukan reformasi dalam mekanisme penjaringan bakal calon kepala daerah.
Pencalonan oleh partai politik sebaiknya dilakukan melalui mekanisme yang lebih demokratis, tidak lagi diputuskan oleh hanya ketua umum atau ketua dewan pimpinan partai, namun oleh rapat pengurus anggota partai.
(poe)