Hakim MK Kena OTT KPK, Bukti Rusaknya Demokrasi di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diduga menyasar salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, merupakan kado buruk yang muncul di bulan perdana 2017.
Peneliti Formappi Lucius Karus menilai, KPK telah melakukan operasi belakangan ini masuk pada kelompok eksekutif (bupati) yang sedang ramai-ramainya dicokok. Sebelumnya legislatif juga jadi sasaran OTT KPK, dan saat ini menyasar kelompok yudikatif.
"Tertangkapnya seorang hakim konstitusi, kita dengan sangat yakin bisa mengatakan demokrasi kita sudah rusak. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tiga pilar utama demokrasi itu semuanya menderita penyakit kronis korupsi," kata Lucius, Kamis (26/1/2017).
Lucius mengungkapkan, tingkat korupsi masih tinggi dan merata pada semua institusi utama demokrasi, tentu tidak bisa dianggap sekadar kebetulan belaka. "Jika sekadar kebetulan, maka tidak mungkin pelaku bisa secara rutin dicokok KPK," jelasnya.
Mental korupsi sambungnya, sesuatu yang sudah mendarah-daging. Saking mendarah-dagingnya mental korupsi itu, para pejabat kita bahkan tak takut lagi untuk mengulangi perbuatan korupsi.
"Itu artinya sebagian pejabat baik yudikatif, eksekutif, dan legislatif sudah kebal dengan ancaman hukuman yang mengakhiri setiap pengadilan kejahatan korupsi yang terjadi," tuturnya.
"Tentu tak ada lagi lembaga yang merasa masih bersih saat ini. Pun sama halnya, tak ada pejabat yang bisa dengan sangat meyakinkan mengaku bersih," tegasnya.
Peneliti Formappi Lucius Karus menilai, KPK telah melakukan operasi belakangan ini masuk pada kelompok eksekutif (bupati) yang sedang ramai-ramainya dicokok. Sebelumnya legislatif juga jadi sasaran OTT KPK, dan saat ini menyasar kelompok yudikatif.
"Tertangkapnya seorang hakim konstitusi, kita dengan sangat yakin bisa mengatakan demokrasi kita sudah rusak. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tiga pilar utama demokrasi itu semuanya menderita penyakit kronis korupsi," kata Lucius, Kamis (26/1/2017).
Lucius mengungkapkan, tingkat korupsi masih tinggi dan merata pada semua institusi utama demokrasi, tentu tidak bisa dianggap sekadar kebetulan belaka. "Jika sekadar kebetulan, maka tidak mungkin pelaku bisa secara rutin dicokok KPK," jelasnya.
Mental korupsi sambungnya, sesuatu yang sudah mendarah-daging. Saking mendarah-dagingnya mental korupsi itu, para pejabat kita bahkan tak takut lagi untuk mengulangi perbuatan korupsi.
"Itu artinya sebagian pejabat baik yudikatif, eksekutif, dan legislatif sudah kebal dengan ancaman hukuman yang mengakhiri setiap pengadilan kejahatan korupsi yang terjadi," tuturnya.
"Tentu tak ada lagi lembaga yang merasa masih bersih saat ini. Pun sama halnya, tak ada pejabat yang bisa dengan sangat meyakinkan mengaku bersih," tegasnya.
(maf)