Indonesia Darurat Narkotika
A
A
A
Bagong Suyanto
Dosen FISIP Universitas Airlangga, Meneliti Peredaran
dan Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Anak Muda di Kota Surabaya
ULAH mafia dan pengedar narkoba yang makin merajalela di Tanah Air, tampaknya sudah tidak lagi bisa ditoleransi. Sejumlah pelaku penyelundupan narkoba dilaporkan tewas ditembak aparat kepolisian.
Kasus yang terbaru adalah tewasnya Brian, 30, seorang sindikat penyelundupan narkoba 8,8 kg sabu-sabu oleh jajaran Ditresnarkoba Pola Metro Jaya. Sebelumnya kasus penembakan terhadap pengedar narkoba juga dialami dua warga Nigeria dan seorang kurir narkoba di Medan yang tewas ditembak aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) karena mencoba melarikan diri.
Tindakan tegas yang dilakukan jajaran kepolisian ini bukan tanpa alasan. Keprihatinan terhadap bahaya peredaran narkoba tampaknya sudah tidak lagi bisa ditahan.
Indonesia, seperti dinyatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, saat ini sudah pada situasi darurat narkoba. Jumlah pengguna narkotik di Indonesia tercatat sudah lebih dari 4 juta orang.
Jumlah narkoba jenis baru pun naik sekitar 44 jenis dan terus bertambah setiap waktu. Hal ini diperparah dengan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba yang mencapai 2,20%.
Berdasarkan catatan BNN, sepanjang 2015-2016 terungkap paling-tidak ada 1.015 kasus dari 72 jaringan sindikat narkoba dengan jumlah tersangka 1.681 pelaku. Meski demikian, dari berbagai kasus yang berhasil diproses aparat penegak hukum, uang yang berhasil dirampas negara dari hasil praktik pencucian uang dari bisnis narkoba hanya sekitar Rp142 miliar. Angka ini tentu jauh dari layak karena peredaran uang dari bisnis narkoba ditengarai mencapai puluhan triliun rupiah.
Dari Pengedar ke Produsen
Presiden Jokowi sendiri sejak lama memang menginginkan tindakan tegas dari seluruh aparat keamanan untuk mengejar dan menangkap para pengedar maupun bandar. Jika undang-undang memperbolehkan, Presiden juga memerintahkan agar pelaku kejahatan narkotik didor di tempat. Demikian penyataan Presiden Jokowi dalam acara Hari Antinarkotik Internasional di Jakarta, 26 Juni 2016.
Bagi aparat kepolisian, pesan yang disampaikan Presiden Jokowi agar aparat tak segan bertindak tegas dan jika perlu menembak pelaku, tentu merupakan sinyal positif untuk penanganan bahaya narkoba masa depan.
Artinya, dengan komitmen Presiden yang memberi keleluasaan kepada aparat agar menindak tegas pengedar narkoba, tentu bisa menjadi energi tambahan untuk makin meningkatkan kinerja pemberantasan narkoba di Tanah Air.
Sejak BNN dipimpin Budi Waseso (Buwas), ditambah dengan sikap tegas Kapolri Jenderal Tito Karnavian, harus kita akui bahwa kinerja pemberantasan narkoba telah meningkat pesat. Aparat kepolisian kini tidak hanya rajin menggelar berbagai operasi atau razia tangkap tangan, tetapi juga mengancamkan sanksi yang makin berat bagi pengedar yang tertangkap.
Ide-ide segar, seperti menaruh pengedar narkoba di sel yang dijaga buaya dan pesan maut yang disampaikan kepada para pengedar narkoba, bagaimanapun telah meniupkan angin segar bahwa memberantas narkoba memang membutuhkan penanganan yang benar-benar serius.
Selama ini media massa telah banyak memberitakan bahwa Indonesia kini tidak lagi sekadar menjadi pengedar atau bagian dari jalur distribusi narkoba. Sejumlah pengedar kelas kakap kini disinyalir telah menaikkan peran mereka dari sekadar pengedar menjadi produsen.
Ini terbukti dari kasus-kasus yang berhasil dibongkar aparat kepolisian, yakni di berbagai daerah telah ditemukan sejumlah rumah yang berfungsi sebagai pabrik-pabrik dalam skala yang cukup besar, yang memproduksi narkoba dalam berbagai jenis.
Temuan seperti ini tentu sangat mencemaskan sebab dengan naik kelasnya peran bandar narkoba di Indonesia dari pengedar menjadi produsen membuktikan bahwa Indonesia benar-benar sudah berada pada situasi darurat nasional narkoba.
Dikatakan darurat karena meski berbagai upaya telah dilakukan, ternyata untuk memutus mata rantai peredaran narkoba bukanlah hal yang mudah. Setiap satu pengedar berhasil dicokok aparat, dalam waktu yang sama ditengarai selalu muncul pengedar baru yang tak kalah agresif.
Sekali lagi, iming-iming tawaran keuntungan yang luar biasa besar menjadikan bisnis ilegal ini selalu menyedot keterlibatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kesulitan yang Dihadapi
Menurut data Kejaksaan Agung yang dipaparkan di Dewan Perwakilan Rakyat, hingga kini sebetulnya sudah ada sekitar 18 terpidana narkoba yang telah divonis mati dan menunggu untuk dieksekusi.
Tetapi, makin berat ancaman hukuman bagi pengedar narkoba tampaknya tidak juga menyurutkan ulah mafia dan pengedar narkoba yang memahami benar besarnya keuntungan dari berbisnis ilegal mengedarkan narkoba.
Di masyarakat, siapa saja yang menjadi korban dari peredaran dan penyalahgunaan narkoba kita tahu telah merasuk ke berbagai kelompok dan level. Peredaran penggunaan narkoba tidak hanya terjadi dalam lingkungan kelompok yang terbatas seperti para penggiat aktivitas malam atau anak-anak muda urban yang bergaya hidup permisif.
Seperti diakui Presiden Jokowi sendiri bahwa korban narkoba kini telah merambah hingga pelajar, bahkan anak-anak sekolah dasar, ibu-ibu rumah tangga, dan berbagai kelompok yang selama ini dikenal sebagai kelompok masyarakat yang seharusnya berisiko rendah terpapar narkoba.
Iklim persaingan di antara sesama pengedar yang makin kompetitif membuat sejumlah pengedar kini tidak lagi hanya mengandalkan pada konsumen yang konvensional seperti pengunjung diskotek atau para eksekutif muda yang kebablasan. Paket narkoba yang dikemas dan dijual dengan harga paket hemat disinyalir telah merambah ke berbagai level masyarakat. Per hari diperkirakan sekitar 40-50 orang meninggal akibat penyalahgunaan narkotik.
Kesulitan untuk memberantas peredaran narkoba karena modus yang dikembangkan pengedar makin lama cenderung makin canggih. Di samping itu, kesulitan untuk memperkecil ruang gerak pengedar narkoba juga dipengaruhi oleh jaringan di antara pengedar dan berbagai pihak—termasuk backing dari kalangan oknum aparat maupun oknum pihak yang berkuasa.
Banyak bukti memperlihatkan bahwa meski seorang bandar narkoba telah ditangkap dan dipenjara, ternyata dengan uang yang dimiliki mereka tetap bisa membeli kebebasan dan mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji penjara.
Untuk memberantas jaringan peredaran narkoba hingga ke akar-akarnya, yang dibutuhkan sebetulnya bukan sekadar sikap tegas aparat untuk menembak para pengedar narkoba, tetapi juga menghukum seberat-beratnya oknum-oknum penguasa yang ikut kecipratan besarnya uang bisnis haram ini atau oknum aparat yang terbukti bertindak sebagai backing di balik peredaran narkoba. Tanpa didukung sikap tegas yang konsisten, niscaya upaya untuk memberantas peredaran narkoba hanya tetap tinggal harapan.
Dosen FISIP Universitas Airlangga, Meneliti Peredaran
dan Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Anak Muda di Kota Surabaya
ULAH mafia dan pengedar narkoba yang makin merajalela di Tanah Air, tampaknya sudah tidak lagi bisa ditoleransi. Sejumlah pelaku penyelundupan narkoba dilaporkan tewas ditembak aparat kepolisian.
Kasus yang terbaru adalah tewasnya Brian, 30, seorang sindikat penyelundupan narkoba 8,8 kg sabu-sabu oleh jajaran Ditresnarkoba Pola Metro Jaya. Sebelumnya kasus penembakan terhadap pengedar narkoba juga dialami dua warga Nigeria dan seorang kurir narkoba di Medan yang tewas ditembak aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) karena mencoba melarikan diri.
Tindakan tegas yang dilakukan jajaran kepolisian ini bukan tanpa alasan. Keprihatinan terhadap bahaya peredaran narkoba tampaknya sudah tidak lagi bisa ditahan.
Indonesia, seperti dinyatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, saat ini sudah pada situasi darurat narkoba. Jumlah pengguna narkotik di Indonesia tercatat sudah lebih dari 4 juta orang.
Jumlah narkoba jenis baru pun naik sekitar 44 jenis dan terus bertambah setiap waktu. Hal ini diperparah dengan angka prevalensi penyalahgunaan narkoba yang mencapai 2,20%.
Berdasarkan catatan BNN, sepanjang 2015-2016 terungkap paling-tidak ada 1.015 kasus dari 72 jaringan sindikat narkoba dengan jumlah tersangka 1.681 pelaku. Meski demikian, dari berbagai kasus yang berhasil diproses aparat penegak hukum, uang yang berhasil dirampas negara dari hasil praktik pencucian uang dari bisnis narkoba hanya sekitar Rp142 miliar. Angka ini tentu jauh dari layak karena peredaran uang dari bisnis narkoba ditengarai mencapai puluhan triliun rupiah.
Dari Pengedar ke Produsen
Presiden Jokowi sendiri sejak lama memang menginginkan tindakan tegas dari seluruh aparat keamanan untuk mengejar dan menangkap para pengedar maupun bandar. Jika undang-undang memperbolehkan, Presiden juga memerintahkan agar pelaku kejahatan narkotik didor di tempat. Demikian penyataan Presiden Jokowi dalam acara Hari Antinarkotik Internasional di Jakarta, 26 Juni 2016.
Bagi aparat kepolisian, pesan yang disampaikan Presiden Jokowi agar aparat tak segan bertindak tegas dan jika perlu menembak pelaku, tentu merupakan sinyal positif untuk penanganan bahaya narkoba masa depan.
Artinya, dengan komitmen Presiden yang memberi keleluasaan kepada aparat agar menindak tegas pengedar narkoba, tentu bisa menjadi energi tambahan untuk makin meningkatkan kinerja pemberantasan narkoba di Tanah Air.
Sejak BNN dipimpin Budi Waseso (Buwas), ditambah dengan sikap tegas Kapolri Jenderal Tito Karnavian, harus kita akui bahwa kinerja pemberantasan narkoba telah meningkat pesat. Aparat kepolisian kini tidak hanya rajin menggelar berbagai operasi atau razia tangkap tangan, tetapi juga mengancamkan sanksi yang makin berat bagi pengedar yang tertangkap.
Ide-ide segar, seperti menaruh pengedar narkoba di sel yang dijaga buaya dan pesan maut yang disampaikan kepada para pengedar narkoba, bagaimanapun telah meniupkan angin segar bahwa memberantas narkoba memang membutuhkan penanganan yang benar-benar serius.
Selama ini media massa telah banyak memberitakan bahwa Indonesia kini tidak lagi sekadar menjadi pengedar atau bagian dari jalur distribusi narkoba. Sejumlah pengedar kelas kakap kini disinyalir telah menaikkan peran mereka dari sekadar pengedar menjadi produsen.
Ini terbukti dari kasus-kasus yang berhasil dibongkar aparat kepolisian, yakni di berbagai daerah telah ditemukan sejumlah rumah yang berfungsi sebagai pabrik-pabrik dalam skala yang cukup besar, yang memproduksi narkoba dalam berbagai jenis.
Temuan seperti ini tentu sangat mencemaskan sebab dengan naik kelasnya peran bandar narkoba di Indonesia dari pengedar menjadi produsen membuktikan bahwa Indonesia benar-benar sudah berada pada situasi darurat nasional narkoba.
Dikatakan darurat karena meski berbagai upaya telah dilakukan, ternyata untuk memutus mata rantai peredaran narkoba bukanlah hal yang mudah. Setiap satu pengedar berhasil dicokok aparat, dalam waktu yang sama ditengarai selalu muncul pengedar baru yang tak kalah agresif.
Sekali lagi, iming-iming tawaran keuntungan yang luar biasa besar menjadikan bisnis ilegal ini selalu menyedot keterlibatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kesulitan yang Dihadapi
Menurut data Kejaksaan Agung yang dipaparkan di Dewan Perwakilan Rakyat, hingga kini sebetulnya sudah ada sekitar 18 terpidana narkoba yang telah divonis mati dan menunggu untuk dieksekusi.
Tetapi, makin berat ancaman hukuman bagi pengedar narkoba tampaknya tidak juga menyurutkan ulah mafia dan pengedar narkoba yang memahami benar besarnya keuntungan dari berbisnis ilegal mengedarkan narkoba.
Di masyarakat, siapa saja yang menjadi korban dari peredaran dan penyalahgunaan narkoba kita tahu telah merasuk ke berbagai kelompok dan level. Peredaran penggunaan narkoba tidak hanya terjadi dalam lingkungan kelompok yang terbatas seperti para penggiat aktivitas malam atau anak-anak muda urban yang bergaya hidup permisif.
Seperti diakui Presiden Jokowi sendiri bahwa korban narkoba kini telah merambah hingga pelajar, bahkan anak-anak sekolah dasar, ibu-ibu rumah tangga, dan berbagai kelompok yang selama ini dikenal sebagai kelompok masyarakat yang seharusnya berisiko rendah terpapar narkoba.
Iklim persaingan di antara sesama pengedar yang makin kompetitif membuat sejumlah pengedar kini tidak lagi hanya mengandalkan pada konsumen yang konvensional seperti pengunjung diskotek atau para eksekutif muda yang kebablasan. Paket narkoba yang dikemas dan dijual dengan harga paket hemat disinyalir telah merambah ke berbagai level masyarakat. Per hari diperkirakan sekitar 40-50 orang meninggal akibat penyalahgunaan narkotik.
Kesulitan untuk memberantas peredaran narkoba karena modus yang dikembangkan pengedar makin lama cenderung makin canggih. Di samping itu, kesulitan untuk memperkecil ruang gerak pengedar narkoba juga dipengaruhi oleh jaringan di antara pengedar dan berbagai pihak—termasuk backing dari kalangan oknum aparat maupun oknum pihak yang berkuasa.
Banyak bukti memperlihatkan bahwa meski seorang bandar narkoba telah ditangkap dan dipenjara, ternyata dengan uang yang dimiliki mereka tetap bisa membeli kebebasan dan mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji penjara.
Untuk memberantas jaringan peredaran narkoba hingga ke akar-akarnya, yang dibutuhkan sebetulnya bukan sekadar sikap tegas aparat untuk menembak para pengedar narkoba, tetapi juga menghukum seberat-beratnya oknum-oknum penguasa yang ikut kecipratan besarnya uang bisnis haram ini atau oknum aparat yang terbukti bertindak sebagai backing di balik peredaran narkoba. Tanpa didukung sikap tegas yang konsisten, niscaya upaya untuk memberantas peredaran narkoba hanya tetap tinggal harapan.
(poe)