Ambang Batas 0% Tekan Politik Uang
A
A
A
JAKARTA - Penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold/PT) dapat meminimalisasi praktik politik uang yang sering terjadi pada tahap pencalonan di pemilu presiden (pilpres) atau sering disebut 'uang perahu'.
Praktik inilah yang disebut-sebut menjadi faktor utama penghambat orang terbaik untuk bisa maju dalam pilpres.
"Dengan potensi banyak partai politik mengajukan calon, maka terdapat distribusi bangunan koalisi. Tentu istilah 'uang perahu' yang seringkali digunakan partai besar agar calon bisa mendapatkan dukungan kursi di pemilu bisa dikurangi," kata Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz seperti dikutip dari Koran SINDO, Senin (16/1/2017).
Menurut Hafidz, jika distribusi bangunan koalisi di pilpres terjadi, setidaknya dapat menekan politik sewa perahu yang tinggi juga. Dengan PT 0%, seluruh parpol hasil verifikasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mencalonkan kader-kader terbaiknya tanpa perlu dukungan parpol lain meskipun koalisi adalah sebuah keniscayaan.
"Akan terjadi kompetisi yang lebih terbuka sehingga peluang pencalonan ada dan politik transaksional tersebut bisa dihindari," ujarnya.
Senada diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Menurut dia, dengan semua parpol peserta pemilu bisa mengusung calon, bisa mengurangi potensi politik transaksional akibat ada threshold pencalonan.
Banyak terjadi sebelumnya di mana ada kader yang potensial, tapi berasal dari parpol kecil mereka pun tersandera oleh presidential threshold yang tinggi sehingga tidak bisa mencalonkan.
"Ketika ini syaratnya parpol yang menjadi peserta pemilu, maka basis pencalonan individu yang diusung partai justru lebih bisa menekan potensi terjadinya politik transaksional karena sandera threshold pencalonan," kata Titi.
Adapun kekhawatiran presiden terpilih sulit mendapat dukungan mayoritas di parlemen, Titi mengatakan, karena pemenang pilpres adalah pasangan calon yang mencapai keterpilihan 50%+1 atau mayoritas, secara alamiah parpolparpol akan melakukan koalisi pada putaran kedua.
Hal itu bisa terlihat pada Pemilu 2004 di mana ada lima pasangan calon (paslon) di putaran pertama dan mengerucut menjadi dua paslon di putaran kedua. Begitu juga dengan Pemilu 2009 dari tiga paslon jadi dua paslon.
"Jadi, untuk memastikan presiden mendapatkan dukungan, rekayasanya bukan dari presidential threshold, tapi melalui besaran daerah pemilihan (dapil). Metode konversi suara menjadi kursi. UUD kita sudah mengenal threshold 50%+1 sehingga terjadi koalisi alamiah karena kita mengenal majority run off," terangnya.
Mengenai kekhawatiran bahwa parpol baru belum teruji, Titi menilai, jika seluruh parpol peserta pemilu bisa mencalonkan capres-cawapres, pemilih yang akan menguji mereka lewat ketentuan 50%+1.
Kalau tidak memenuhi 50%+1, parpol mana pun tidak bisa menjadi presiden terpilih karena penyaring ada di masyarakat pemilih.
"Kalau tidak ada yang memperoleh 50%+1, kan ada putaran kedua. Jadi tidak relevan jika mengatakan partai teruji atau tidak hanya karena dia sudah punya kursi atau belum," tandasnya.
Praktik inilah yang disebut-sebut menjadi faktor utama penghambat orang terbaik untuk bisa maju dalam pilpres.
"Dengan potensi banyak partai politik mengajukan calon, maka terdapat distribusi bangunan koalisi. Tentu istilah 'uang perahu' yang seringkali digunakan partai besar agar calon bisa mendapatkan dukungan kursi di pemilu bisa dikurangi," kata Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz seperti dikutip dari Koran SINDO, Senin (16/1/2017).
Menurut Hafidz, jika distribusi bangunan koalisi di pilpres terjadi, setidaknya dapat menekan politik sewa perahu yang tinggi juga. Dengan PT 0%, seluruh parpol hasil verifikasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa mencalonkan kader-kader terbaiknya tanpa perlu dukungan parpol lain meskipun koalisi adalah sebuah keniscayaan.
"Akan terjadi kompetisi yang lebih terbuka sehingga peluang pencalonan ada dan politik transaksional tersebut bisa dihindari," ujarnya.
Senada diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Menurut dia, dengan semua parpol peserta pemilu bisa mengusung calon, bisa mengurangi potensi politik transaksional akibat ada threshold pencalonan.
Banyak terjadi sebelumnya di mana ada kader yang potensial, tapi berasal dari parpol kecil mereka pun tersandera oleh presidential threshold yang tinggi sehingga tidak bisa mencalonkan.
"Ketika ini syaratnya parpol yang menjadi peserta pemilu, maka basis pencalonan individu yang diusung partai justru lebih bisa menekan potensi terjadinya politik transaksional karena sandera threshold pencalonan," kata Titi.
Adapun kekhawatiran presiden terpilih sulit mendapat dukungan mayoritas di parlemen, Titi mengatakan, karena pemenang pilpres adalah pasangan calon yang mencapai keterpilihan 50%+1 atau mayoritas, secara alamiah parpolparpol akan melakukan koalisi pada putaran kedua.
Hal itu bisa terlihat pada Pemilu 2004 di mana ada lima pasangan calon (paslon) di putaran pertama dan mengerucut menjadi dua paslon di putaran kedua. Begitu juga dengan Pemilu 2009 dari tiga paslon jadi dua paslon.
"Jadi, untuk memastikan presiden mendapatkan dukungan, rekayasanya bukan dari presidential threshold, tapi melalui besaran daerah pemilihan (dapil). Metode konversi suara menjadi kursi. UUD kita sudah mengenal threshold 50%+1 sehingga terjadi koalisi alamiah karena kita mengenal majority run off," terangnya.
Mengenai kekhawatiran bahwa parpol baru belum teruji, Titi menilai, jika seluruh parpol peserta pemilu bisa mencalonkan capres-cawapres, pemilih yang akan menguji mereka lewat ketentuan 50%+1.
Kalau tidak memenuhi 50%+1, parpol mana pun tidak bisa menjadi presiden terpilih karena penyaring ada di masyarakat pemilih.
"Kalau tidak ada yang memperoleh 50%+1, kan ada putaran kedua. Jadi tidak relevan jika mengatakan partai teruji atau tidak hanya karena dia sudah punya kursi atau belum," tandasnya.
(maf)