Merentang Takdir Pemilu
A
A
A
Idil Akbar
Dosen FISIP Unpad dan
Peneliti di Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad
SEJATINYA pemilu merupakan rangkaian empiris dari partisipasi politik publik secara lebih luas. Sejatinya pula pemilu menjadi penanda penting apakah sebuah negara sudah mampu dijalankan secara demokratis atau tidak.
Pemilu adalah takdir penentu bagi institusionalisasi hak-hak rakyat secara konstitusional. Bahwa pemilu adalah bagian dari dinamika politik berorientasi kekuasaan, hal tersebut tidak lantas menjadikan pemilu hanya menjadi alat demi mencapai kekuasaan.
Karena itu, meski secara praksis pemilu menjadi jalan bagi siapa pun dan kelompok politik manapun berkuasa, tetapi secara prinsip implementatif pemilu membutuhkan reorientasi, secara struktural maupun fungsional.
Perlu kiranya mengingat lagi soal indikator-indikator demokrasi strategis dalam sebuah sistem pemerintahan, yang menurut Prof Affan Gaffar (2004: 7-9) ada lima: akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen politik, pemilu dan pemenuhan hak-hak dasar.
Terlihat jelas bahwa pemilu merupakan salah satu indikator penting dalam sebuah sistem yang demokratis. Sebagai indikator, pemilu mestinya menjadi sarana konsensus bagi semua pihak, terutama rakyat sebagai subjek politik.
Bisa dibayangkan, alangkah ngerinya jika pemilu hanya diorientasikan sepihak, oleh kelompok politik tertentu, yang ingin memperbesar pengaruh dan memperpanjang usia kekuasaan.
Pada dasarnya kebutuhan reorientasi prinsip-prinsip dalam pemilu ini dilandasi keinginan dan harapan mendapatkan sistem pemilu yang lebih baik, melibatkan seluruh unsur masyarakat, menjaga keadilan sosial, dan mendapatkan hasil yang optimal dan berintegritas.
Korespondensi ini sebetulnya menjawab pertanyaan penting, apakah pemilu yang sudah dan akan berjalan nantinya mampu menjamin kelanggengan demokrasi dengan segala prinsip yang menyertainya.
Secara struktural, kinerja pemerintahan menjadi indikasi krusial di mana pemerintah secara kelembagaan harus menunjukkan integrasi yang menyeluruh bagaimana sistem pemilu dilaksanakan. Dengan kata lain, prinsip akuntabilitas adalah sebuah keniscayaan institusional, yang termasuk di dalamnya adalah pertanggungjawaban akan jabatan yang dikuasakan.
Pemerintah semestinya terbuka dengan situasi dan idealisme politik yang diharapkan, lalu bersosialisasi cukup intens untuk mencegah su’uzhan politik oleh publik. Sayangnya, proses ini cenderung diabaikan.
Hal ini terlihat jelas dengan pengajuan RUU Pemilu 2019 yang dirasakan "mendadak" dan harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Padahal, terdapat cukup banyak ketentuan krusial di dalamnya yang membutuhkan perdebatan akademis. Bahwa pemilu kemudian disinyalir akan menjadi alat bancakan elite politik pada akhirnya juga tak bisa dihindari akibat transparansi yang rendah.
Secara fungsional pun logika reorientasi perlu mengarah pada perbaikan substansial, terutama menjaga marwah pemilu sebagai sarana berdemokrasi rakyat semesta Indonesia. Titik tekannya adalah bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam politik dan karenanya rakyat diberi pilihan yang integral terkait mereka, personal maupun lembaga politik, yang memang layak untuk dipilih dalam pemilu.
Sebagaimana Affan Gaffar memaknai demokrasi dengan indikator-indikator yang ada, reorientasi prinsip-prinsip dalam pemilu mutlak diperlukan.
Pertama, terkait rotasi kekuasaan yang harus terlaksana secara benar dan konstitusional. Pemilu karenanya harus menjamin bahwa kekuasaan bukan milik segelintir elite dan kelompok politik tertentu.
Pemilu juga menjamin perputaran kekuasaan berlangsung secara demokratis, natural dan tanpa trik-trik politik yang sangat vulgar mendegradasi pengaruh lawan politik. Sayangnya, kondisi dan situasi ini juga cenderung abai dilaksanakan pemerintah.
Dalam RUU Pemilu, pemerintah, misalnya, mengajukan bahwa bakal calon presiden diajukan oleh 20% kursi atau 25% suara berdasarkan perolehan suara pada pemilu sebelumnya. Jika ini berlaku maka hanya parpol pemenang Pemilu 2014 yang berhak mengajukan calon presiden.
Hal ini sudah memperlihatkan adanya upaya mengangkangi prinsip demokrasi yang mensyaratkan adanya rotasi kekuasaan. Parpol baru atau parpol yang tidak mendapat kursi di parlemen pada Pemilu 2014 dipaksa untuk bergabung dengan parpol peraih kursi parlemen. Lebih jauh rakyat juga dipaksa untuk menerima calon yang diajukan parpol pemenang Pemilu 2014, tanpa bisa memilih calon alternatif lain.
Selain itu, pemerintah mengajukan sebuah metode baru dalam konversi suara menjadi kursi, yakni dengan metode Saintlague Modifikasi. Metode ini menggunakan perhitungan 1, 4, 3, 5, 7 sebagai nilai pembagi.
Jika perhitungan ini diberlakukan dengan mengacu pada perolehan suara parpol di Pemilu 2014, maka dipastikan akan memberi keuntungan signifikan pada parpol besar. Di lain pihak, parpol dengan perolehan suara kecil akan semakin sedikit perolehan kursinya, dan menutup peluang bagi parpol baru untuk bisa masuk dan memperoleh kursi di DPR.
Kedua, terkait rekrutmen politik yang terbuka. Terbuka dalam arti tak hanya setiap orang bisa secara aktif terlibat masuk menjadi anggota parpol tertentu. Tetapi juga adalah bagaimana parpol bisa menempatkan calon anggota legislatif yang lebih terbuka, berkeadilan dan menjadi pilihan publik.
Dengan kata lain, parpol haruslah membuka ruang keterpilihan yang sama bagi setiap anggota yang berusaha menjadi wakil rakyat. Kecenderungan sayangnya tidak demikian.
Ada upaya untuk menjadikan parpol sebagai pihak yang paling berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakil rakyat, dan bukan ditentukan langsung oleh rakyat. Pemerintah mengajukan sistem pemilu yakni proporsional terbuka terbatas. Dalam sistem ini rakyat tetap bisa melihat siapa saja calon yang diusung.
Namun, rakyat tidak bisa memilih calon tersebut secara langsung, sebab pemilih hanya boleh mencoblos nomor urut atau gambar parpol saja. Sementara calon akan disusun berdasarkan nomor urut.
Dalam keadaan ini rakyat kembali dihadapkan pada kenyataan yang sama ketika pemilu berlangsung di era orde baru, meski saat ini terdapat modifikasi sistem. Padahal prinsipnya sama yakni menutup peluang calon yang lebih populer dan electable untuk bisa terpilih sebagai anggota parlemen.
Lalu buat apa ada keterbukaan calon jika mereka yang akan mendapat kesempatan untuk menjadi wakil sudah ditentukan berdasarkan nomor urut?
Dalam konteks ini, sekali lagi, adalah sebuah tantangan berdemokrasi, terutama sejauh mana pengejawantahan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi secara konsekuen dijalankan. Ataukah hanya sebatas lip service untuk mengesankan bahwa pemilu telah dijalankan dengan baik?
Diperlukan Perubahan
Tatanan politik memang perlu dibuat untuk memastikan sistem berjalan dengan aman. Tetapi, membuat tatanan politik yang hanya berkesesuaian dengan segelintir kepentingan elite dan kelompok politik tertentu juga sangat tidak bijak.
Perlu pendewasaan politik yang paripurna, dan tak hanya sekedar memenuhi hasrat kepentingan yang membabi buta. Termasuk perlu perubahan yang signifikan untuk mengembalikan sistem pemilu yang lebih demokratis dan sesuai dengan kepentingan rakyat.
Karenanya, upaya yang dilakukan sekber kodifikasi pemilu misalnya dengan mengajukan naskah akademik RUU Pemilu alternatif merupakan sebuah upaya untuk merentang takdir pemilu yang berkeadilan bagi semua pihak, khususnya rakyat Indonesia. Peran kelembagaan seperti ini perlu diperhitungkan agar mampu meredam nafsu politik parpol yang kadang tak bisa ditahan.
Secara sederhana, sistem pemilu diorientasikan pada tiga tujuan utama. Pertama, sejauh mana bisa menjaga kompetisi politik secara sehat, berkeadilan dan berkesinambungan.
Kedua, sejauh mana mampu mendegradasi dari berbagai bentuk kecurangan pemilu dan money politik. Ketiga, sejauh mana bisa menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
Ketiga hal ini harus menjadi jiwa di dalam menyusun dan membentuk sistem pemilu yang nantinya akan dijalankan. Maka dari itu, setiap proses yang berlangsung di dalamnya haruslah mampu menunjukkan dinamika politik yang positif bagi rakyat Indonesia. Karena itu sudah waktunya untuk kita merentang takdir pemilu yang lebih demokratis, berkeadilan dan sepenuhnya berorientasi pada kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.
Dosen FISIP Unpad dan
Peneliti di Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad
SEJATINYA pemilu merupakan rangkaian empiris dari partisipasi politik publik secara lebih luas. Sejatinya pula pemilu menjadi penanda penting apakah sebuah negara sudah mampu dijalankan secara demokratis atau tidak.
Pemilu adalah takdir penentu bagi institusionalisasi hak-hak rakyat secara konstitusional. Bahwa pemilu adalah bagian dari dinamika politik berorientasi kekuasaan, hal tersebut tidak lantas menjadikan pemilu hanya menjadi alat demi mencapai kekuasaan.
Karena itu, meski secara praksis pemilu menjadi jalan bagi siapa pun dan kelompok politik manapun berkuasa, tetapi secara prinsip implementatif pemilu membutuhkan reorientasi, secara struktural maupun fungsional.
Perlu kiranya mengingat lagi soal indikator-indikator demokrasi strategis dalam sebuah sistem pemerintahan, yang menurut Prof Affan Gaffar (2004: 7-9) ada lima: akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekrutmen politik, pemilu dan pemenuhan hak-hak dasar.
Terlihat jelas bahwa pemilu merupakan salah satu indikator penting dalam sebuah sistem yang demokratis. Sebagai indikator, pemilu mestinya menjadi sarana konsensus bagi semua pihak, terutama rakyat sebagai subjek politik.
Bisa dibayangkan, alangkah ngerinya jika pemilu hanya diorientasikan sepihak, oleh kelompok politik tertentu, yang ingin memperbesar pengaruh dan memperpanjang usia kekuasaan.
Pada dasarnya kebutuhan reorientasi prinsip-prinsip dalam pemilu ini dilandasi keinginan dan harapan mendapatkan sistem pemilu yang lebih baik, melibatkan seluruh unsur masyarakat, menjaga keadilan sosial, dan mendapatkan hasil yang optimal dan berintegritas.
Korespondensi ini sebetulnya menjawab pertanyaan penting, apakah pemilu yang sudah dan akan berjalan nantinya mampu menjamin kelanggengan demokrasi dengan segala prinsip yang menyertainya.
Secara struktural, kinerja pemerintahan menjadi indikasi krusial di mana pemerintah secara kelembagaan harus menunjukkan integrasi yang menyeluruh bagaimana sistem pemilu dilaksanakan. Dengan kata lain, prinsip akuntabilitas adalah sebuah keniscayaan institusional, yang termasuk di dalamnya adalah pertanggungjawaban akan jabatan yang dikuasakan.
Pemerintah semestinya terbuka dengan situasi dan idealisme politik yang diharapkan, lalu bersosialisasi cukup intens untuk mencegah su’uzhan politik oleh publik. Sayangnya, proses ini cenderung diabaikan.
Hal ini terlihat jelas dengan pengajuan RUU Pemilu 2019 yang dirasakan "mendadak" dan harus diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat. Padahal, terdapat cukup banyak ketentuan krusial di dalamnya yang membutuhkan perdebatan akademis. Bahwa pemilu kemudian disinyalir akan menjadi alat bancakan elite politik pada akhirnya juga tak bisa dihindari akibat transparansi yang rendah.
Secara fungsional pun logika reorientasi perlu mengarah pada perbaikan substansial, terutama menjaga marwah pemilu sebagai sarana berdemokrasi rakyat semesta Indonesia. Titik tekannya adalah bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam politik dan karenanya rakyat diberi pilihan yang integral terkait mereka, personal maupun lembaga politik, yang memang layak untuk dipilih dalam pemilu.
Sebagaimana Affan Gaffar memaknai demokrasi dengan indikator-indikator yang ada, reorientasi prinsip-prinsip dalam pemilu mutlak diperlukan.
Pertama, terkait rotasi kekuasaan yang harus terlaksana secara benar dan konstitusional. Pemilu karenanya harus menjamin bahwa kekuasaan bukan milik segelintir elite dan kelompok politik tertentu.
Pemilu juga menjamin perputaran kekuasaan berlangsung secara demokratis, natural dan tanpa trik-trik politik yang sangat vulgar mendegradasi pengaruh lawan politik. Sayangnya, kondisi dan situasi ini juga cenderung abai dilaksanakan pemerintah.
Dalam RUU Pemilu, pemerintah, misalnya, mengajukan bahwa bakal calon presiden diajukan oleh 20% kursi atau 25% suara berdasarkan perolehan suara pada pemilu sebelumnya. Jika ini berlaku maka hanya parpol pemenang Pemilu 2014 yang berhak mengajukan calon presiden.
Hal ini sudah memperlihatkan adanya upaya mengangkangi prinsip demokrasi yang mensyaratkan adanya rotasi kekuasaan. Parpol baru atau parpol yang tidak mendapat kursi di parlemen pada Pemilu 2014 dipaksa untuk bergabung dengan parpol peraih kursi parlemen. Lebih jauh rakyat juga dipaksa untuk menerima calon yang diajukan parpol pemenang Pemilu 2014, tanpa bisa memilih calon alternatif lain.
Selain itu, pemerintah mengajukan sebuah metode baru dalam konversi suara menjadi kursi, yakni dengan metode Saintlague Modifikasi. Metode ini menggunakan perhitungan 1, 4, 3, 5, 7 sebagai nilai pembagi.
Jika perhitungan ini diberlakukan dengan mengacu pada perolehan suara parpol di Pemilu 2014, maka dipastikan akan memberi keuntungan signifikan pada parpol besar. Di lain pihak, parpol dengan perolehan suara kecil akan semakin sedikit perolehan kursinya, dan menutup peluang bagi parpol baru untuk bisa masuk dan memperoleh kursi di DPR.
Kedua, terkait rekrutmen politik yang terbuka. Terbuka dalam arti tak hanya setiap orang bisa secara aktif terlibat masuk menjadi anggota parpol tertentu. Tetapi juga adalah bagaimana parpol bisa menempatkan calon anggota legislatif yang lebih terbuka, berkeadilan dan menjadi pilihan publik.
Dengan kata lain, parpol haruslah membuka ruang keterpilihan yang sama bagi setiap anggota yang berusaha menjadi wakil rakyat. Kecenderungan sayangnya tidak demikian.
Ada upaya untuk menjadikan parpol sebagai pihak yang paling berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakil rakyat, dan bukan ditentukan langsung oleh rakyat. Pemerintah mengajukan sistem pemilu yakni proporsional terbuka terbatas. Dalam sistem ini rakyat tetap bisa melihat siapa saja calon yang diusung.
Namun, rakyat tidak bisa memilih calon tersebut secara langsung, sebab pemilih hanya boleh mencoblos nomor urut atau gambar parpol saja. Sementara calon akan disusun berdasarkan nomor urut.
Dalam keadaan ini rakyat kembali dihadapkan pada kenyataan yang sama ketika pemilu berlangsung di era orde baru, meski saat ini terdapat modifikasi sistem. Padahal prinsipnya sama yakni menutup peluang calon yang lebih populer dan electable untuk bisa terpilih sebagai anggota parlemen.
Lalu buat apa ada keterbukaan calon jika mereka yang akan mendapat kesempatan untuk menjadi wakil sudah ditentukan berdasarkan nomor urut?
Dalam konteks ini, sekali lagi, adalah sebuah tantangan berdemokrasi, terutama sejauh mana pengejawantahan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi secara konsekuen dijalankan. Ataukah hanya sebatas lip service untuk mengesankan bahwa pemilu telah dijalankan dengan baik?
Diperlukan Perubahan
Tatanan politik memang perlu dibuat untuk memastikan sistem berjalan dengan aman. Tetapi, membuat tatanan politik yang hanya berkesesuaian dengan segelintir kepentingan elite dan kelompok politik tertentu juga sangat tidak bijak.
Perlu pendewasaan politik yang paripurna, dan tak hanya sekedar memenuhi hasrat kepentingan yang membabi buta. Termasuk perlu perubahan yang signifikan untuk mengembalikan sistem pemilu yang lebih demokratis dan sesuai dengan kepentingan rakyat.
Karenanya, upaya yang dilakukan sekber kodifikasi pemilu misalnya dengan mengajukan naskah akademik RUU Pemilu alternatif merupakan sebuah upaya untuk merentang takdir pemilu yang berkeadilan bagi semua pihak, khususnya rakyat Indonesia. Peran kelembagaan seperti ini perlu diperhitungkan agar mampu meredam nafsu politik parpol yang kadang tak bisa ditahan.
Secara sederhana, sistem pemilu diorientasikan pada tiga tujuan utama. Pertama, sejauh mana bisa menjaga kompetisi politik secara sehat, berkeadilan dan berkesinambungan.
Kedua, sejauh mana mampu mendegradasi dari berbagai bentuk kecurangan pemilu dan money politik. Ketiga, sejauh mana bisa menjaga persatuan dan keutuhan bangsa.
Ketiga hal ini harus menjadi jiwa di dalam menyusun dan membentuk sistem pemilu yang nantinya akan dijalankan. Maka dari itu, setiap proses yang berlangsung di dalamnya haruslah mampu menunjukkan dinamika politik yang positif bagi rakyat Indonesia. Karena itu sudah waktunya untuk kita merentang takdir pemilu yang lebih demokratis, berkeadilan dan sepenuhnya berorientasi pada kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia.
(poe)