Masyarakat Anti-Hoax
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
PADA awalnya hoax adalah penyebaran berita bohong yang dilakukan dengan sengaja karena motif kebencian. Akibat lebih jauh yang diharapkan bisa saja untuk mempermalukan atau pembunuhan karakter seseorang di depan publik.
Hoax ini begitu cepat tersebar dengan munculnya media sosial (medsos) dan sikap masyarakat yang tidak kritis atau memang senang dengan berita sensasi, lalu dengan mudah meneruskan (forward) lewat Facebook, Twitter atau WhatsApp tanpa berpikir panjang dan rasa empati, bagaimana andaikan hoax itu tertuju pada dirinya atau keluarganya.
Fenomena hoax ini tampaknya semakin akut, telah menghinggapi masyarakat kita, bagaikan penyebaran pornografi atau narkoba. Orang menjadi addicted atau kecanduan mengonsumsi dan melakukan sesuatu yang dirasakan mengasyikkan, namun merusak diri dan masyarakat.
Siklus penyebaran virus hoax ini terjadi biasanya setiap menjelang pemilu dan pilkada. Di luar itu, juga sering kita dengar terjadi di lingkaran dunia bisnis dan selebriti akibat persaingan yang tidak sehat.
Mereka menyebarkan kebohongan, antara lain dengan memutarbalikkan fakta, karena motif cemburu dan kebencian. Namun yang menonjol dalam persaingan politik untuk memperebutkan jabatan kekuasaan, sejak dari jabatan presiden, gubernur, bupati, atau wali kota.
Akibat hoax, masyarakat bisa terbelah saling curiga dan mencaci yang lain gara-gara berbeda pilihan politiknya. Suasana batin masyarakat semakin panas ketika penyebaran hoax dibumbui atau sengaja dikemas dengan melibatkan emosi dan simbol keagamaan, termasuk ayat-ayat kitab suci.
Padahal sangat mungkin itu sengaja dibuat oleh buzzers yang motifnya hanya cari uang. Mereka tega mengadu domba dan membodohi masyarakat, bukannya mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Kita mesti membela dan menjunjung tinggi martabat agama dengan cara yang juga bermartabat. Kita wajib memuliakan ajaran agama dengan cara yang mulia dan terhormat.
Melihat perkembangan hoax yang sudah memprihatinkan, Minggu, 8 Januari 2017 lalu, di tujuh kota Indonesia secara serentak dilakukan deklarasi masyarakat antihoax. Saya ikut hadir dan mendukung gerakan ini bersama Menteri Kominfo Rudiantara dan para relawan aktivis sosial.
Deklarasi ini atas inisiatif masyarakat, dan selanjutnya perlu agenda atau program yang jelas serta terencana dengan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah, pendidik, serta pemilik media massa. Bahkan para penceramah agama perlu diajak, karena mereka yang kesehariannya aktif melakukan pendidikan publik (public education) lewat forum ceramah keagamaan.
Bagi para ustad sangat mudah menemukan dalil-dalil ayat Alquran maupun Hadis bahwa menyebarkan hoax sangat tercela. Diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah bersabda, tak akan masuk surga orang yang suka menyebarkan berita bohong untuk mengadu domba. Laa yadkhulul jannata nammamun.
Dalam Alquran (49:12) Allah membuat perumpamaan, orang yang suka bergunjing dan mengungkit-ungkit kesalahan orang dari belakang itu ibarat makan bangkai saudaranya sendiri. Sungguh keras dan menjijikkan contoh yang dikemukakan Alquran. Dikatakan bangkai karena yang digunjingkan tidak tahu dan tidak berdaya untuk melawannya.
Mengapa hoax begitu digemari? Mungkin ini juga pertanda masyarakat yang sakit, malas berpikir, malas membaca buku, senang ngobrol, dan cemburu pada orang yang sukses.
Mereka yang menulis di medsos gaya bertuturnya umumnya bahasa lisan. Bahasa obrolan. Atau sekadar meneruskan (forwarding) dan copy paste.
Mereka mungkin sadar atau mungkin tidak sadar, bahwa yang di-copy dan diteruskan itu berita sampah yang beracun. Lebih bahaya lagi jika dibungkus dengan istilah-istilah agama, seakan menyebarkannya dianggap sebagai ibadah. Sebagai amal saleh. Sungguh ini merupakan kekonyolan yang berbisa.
Rasulullah mengingatkan, salah satu ciri orang munafik yang dibenci Allah adalah jika berbicara berdusta. Dusta dan hoax itu memanipulasi kebenaran, yang benar dipelintir agar terlihat salah, yang salah dipelintir agar terlihat benar. Jika dibiarkan maka semakin merosot standar moral masyarakat kita yang ujungnya akan menghancurkan bangunan kehidupan itu sendiri.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
PADA awalnya hoax adalah penyebaran berita bohong yang dilakukan dengan sengaja karena motif kebencian. Akibat lebih jauh yang diharapkan bisa saja untuk mempermalukan atau pembunuhan karakter seseorang di depan publik.
Hoax ini begitu cepat tersebar dengan munculnya media sosial (medsos) dan sikap masyarakat yang tidak kritis atau memang senang dengan berita sensasi, lalu dengan mudah meneruskan (forward) lewat Facebook, Twitter atau WhatsApp tanpa berpikir panjang dan rasa empati, bagaimana andaikan hoax itu tertuju pada dirinya atau keluarganya.
Fenomena hoax ini tampaknya semakin akut, telah menghinggapi masyarakat kita, bagaikan penyebaran pornografi atau narkoba. Orang menjadi addicted atau kecanduan mengonsumsi dan melakukan sesuatu yang dirasakan mengasyikkan, namun merusak diri dan masyarakat.
Siklus penyebaran virus hoax ini terjadi biasanya setiap menjelang pemilu dan pilkada. Di luar itu, juga sering kita dengar terjadi di lingkaran dunia bisnis dan selebriti akibat persaingan yang tidak sehat.
Mereka menyebarkan kebohongan, antara lain dengan memutarbalikkan fakta, karena motif cemburu dan kebencian. Namun yang menonjol dalam persaingan politik untuk memperebutkan jabatan kekuasaan, sejak dari jabatan presiden, gubernur, bupati, atau wali kota.
Akibat hoax, masyarakat bisa terbelah saling curiga dan mencaci yang lain gara-gara berbeda pilihan politiknya. Suasana batin masyarakat semakin panas ketika penyebaran hoax dibumbui atau sengaja dikemas dengan melibatkan emosi dan simbol keagamaan, termasuk ayat-ayat kitab suci.
Padahal sangat mungkin itu sengaja dibuat oleh buzzers yang motifnya hanya cari uang. Mereka tega mengadu domba dan membodohi masyarakat, bukannya mendidik dan mencerdaskan masyarakat. Kita mesti membela dan menjunjung tinggi martabat agama dengan cara yang juga bermartabat. Kita wajib memuliakan ajaran agama dengan cara yang mulia dan terhormat.
Melihat perkembangan hoax yang sudah memprihatinkan, Minggu, 8 Januari 2017 lalu, di tujuh kota Indonesia secara serentak dilakukan deklarasi masyarakat antihoax. Saya ikut hadir dan mendukung gerakan ini bersama Menteri Kominfo Rudiantara dan para relawan aktivis sosial.
Deklarasi ini atas inisiatif masyarakat, dan selanjutnya perlu agenda atau program yang jelas serta terencana dengan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah, pendidik, serta pemilik media massa. Bahkan para penceramah agama perlu diajak, karena mereka yang kesehariannya aktif melakukan pendidikan publik (public education) lewat forum ceramah keagamaan.
Bagi para ustad sangat mudah menemukan dalil-dalil ayat Alquran maupun Hadis bahwa menyebarkan hoax sangat tercela. Diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah bersabda, tak akan masuk surga orang yang suka menyebarkan berita bohong untuk mengadu domba. Laa yadkhulul jannata nammamun.
Dalam Alquran (49:12) Allah membuat perumpamaan, orang yang suka bergunjing dan mengungkit-ungkit kesalahan orang dari belakang itu ibarat makan bangkai saudaranya sendiri. Sungguh keras dan menjijikkan contoh yang dikemukakan Alquran. Dikatakan bangkai karena yang digunjingkan tidak tahu dan tidak berdaya untuk melawannya.
Mengapa hoax begitu digemari? Mungkin ini juga pertanda masyarakat yang sakit, malas berpikir, malas membaca buku, senang ngobrol, dan cemburu pada orang yang sukses.
Mereka yang menulis di medsos gaya bertuturnya umumnya bahasa lisan. Bahasa obrolan. Atau sekadar meneruskan (forwarding) dan copy paste.
Mereka mungkin sadar atau mungkin tidak sadar, bahwa yang di-copy dan diteruskan itu berita sampah yang beracun. Lebih bahaya lagi jika dibungkus dengan istilah-istilah agama, seakan menyebarkannya dianggap sebagai ibadah. Sebagai amal saleh. Sungguh ini merupakan kekonyolan yang berbisa.
Rasulullah mengingatkan, salah satu ciri orang munafik yang dibenci Allah adalah jika berbicara berdusta. Dusta dan hoax itu memanipulasi kebenaran, yang benar dipelintir agar terlihat salah, yang salah dipelintir agar terlihat benar. Jika dibiarkan maka semakin merosot standar moral masyarakat kita yang ujungnya akan menghancurkan bangunan kehidupan itu sendiri.
(poe)