Delusi Penegak Hukum Kasus Ahok
A
A
A
Syamsuddin Radjab
Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar, Direktur Jenggala Center
SECARA beruntun pada Senin 5 Desember 2016 dan Selasa 6 Desember 2016, Komisi III DPR RI melakukan raker dengan mitranya, yaitu Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung. Raker disiarkan secara live beberapa stasiun televisi sehingga kita bisa mendengarkan langsung apa jawaban pejabat dua institusi penegak hukum itu. Kasus Ahok mendominasi jalannya dialog selama dua hari itu.
Terkait dengan kasus Ahok, saya menuliskan dengan pendekatan analisis wacana kritis ala Teun Van Dijk dengan penekanan pada tingkah laku, ucapan, dan teks (kalimat) para penegak hukum; kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus dugaan penistaan agama yang disangkakan ke Saudara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dalam tahap penyelidikan dan penyidikan; Pertama, saksi ahli, kepolisian memanggil puluhan saksi ahli, terutama ahli agama, bahasa, dan pidana. Yang menarik, status ahli agama dari Mesir, Syaikh Mushthofa Amr Wardani.
Menurut penyidik, pihak Ahok yang mengundangnya sebagai saksi yang meringankan (14/11/2016), tetapi kemudian dibantah Ahok sendiri bahwa dia tidak merasa mendatangkan saksi tersebut.
Lalu, siapa? Penyidikkah? Dubes kah? Atau, hantukah? Cara-cara manipulasi dan menjebak agar seseorang bersaksi tidak dapat dibenarkan secara hukum dan merendahkan martabat penegak hukum sendiri.
Kedua, penentuan status tersangka berdasarkan voting. Seseorang ditetapkan sebagai tersangka harus sesuai ketentuan KUHAP dan KUHAP tidak menyatakan bahwa dalam penetapan status tersangka berdasarkan voting, tetapi bukti permulaan (Pasal 1 angka [14] KUHAP).
Kata “voting” tidak saja sesuai hukum, tetapi berdiksi politik dan penuh tolak-tarik kepentingan orang per orang atau kelompok. Seolah para penyidik merupakan kelompok kepentingan politik dalam penetapan status tersangka Ahok.
Ketiga, klaim hanya kepolisian yang bisa menetapkan status tersangka Ahok. Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Kapolri Tito Karnavian dalam orasi aksi damai III (2/12/2016) di Monas, Jakarta.
Pernyataan Kapolri ini tidak etis dan menihilkan peran penegak hukum lain seperti kejaksaan dan KPK. Secara nyata bahkan disampaikan KPK tidak dapat menetapkan Ahok sebagai tersangka dan hanya bisa dilakukan oleh kepolisian. Ini menandakan sikap rivalitas sesama penegak hukum dan bahayanya jika hanya mengejar prestasi kuantitas tanpa menimbang bukti-bukti hukum.
Keempat, provokasi Kapolda DKI Jakarta. Dalam raker Kapolri dan Komisi III DPR ditayangkan video provokasi Kapolda DKI Jakarta agar FPI menyerang HMI pada aksi 411.
Pernyataan kapolda dalam tayangan tersebut merupakan perbuatan tercela dan hina karena tidak mencerminkan aparatur negara sebagai pengayom dan pengendali ketertiban masyarakat. Polisi seharusnya menghadirkan rasa aman pun dapat berperilaku menjadi teror bagi masyarakat dan hilangnya rasa aman bagi warga negara.
Hingga raker selesai, pertanyaan anggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa tidak mendapatkan penjelasan baik dari kapolri maupun kapolda sendiri. Sikap ketidakadilan dalam penegakan hukum merupakan ladang subur tumbuhnya radikalisme dan terorisme serta meruntuhkan wibawa institusi penegak hukum.
Kasus Ahok di tangan kejaksaan sebagai penuntut umum. Jaksa penuntut umum (JPU) mewakili kepentingan publik dan bukan tersangka, kepentingan publik siapa? Kepentingan para pelapor yang terdiri atas 13 elemen umat Islam.
Dari beberapa pernyataan petinggi Kejaksaan Agung ada yang harus dikritisi. Pertama, terkait desakan penahanan Ahok.
Salah satu dalih tidak ditahan Ahok sebagaimana disampaikan Kapuspenkum Kejagung M Rum (1/12/2016) dan Jaksa Agung Prasetyo dalam raker Komisi III DPR (6/12/2016) bahwa Ahok tidak ditahan karena penyidik Polri juga tak menahan tersangka sesuai SOP. Penyidik dan penuntut memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan masing-masing sesuai KUHAP kendatipun penahanan tersangka dapat saja ditangguhkan atau dialihkan penahanannya.
Pelbagai kasus pidana membuktikan, penyidik menahan tersangka kejaksaan menangguhkan atau sebaliknya. Jadi, dalih kejaksaan tidak menahan Ahok karena kepolisian juga tidak menahan yang bersangkutan merupakan langkah cari aman dan mengada-ada. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-036/A/JA/09/2011 tentang SOP Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, alasan di atas tidak ditemukan.
Kedua, penggantian JPU Ahok. Penunjukan jaksa Iriene R Korengkeng sebagai JPU tersangka Ahok oleh Jaksa Agung dalam raker tersebut diganti karena merespons aspirasi masyarakat melalui sosial media.
Selain itu, dinilai tidak objektif karena Iriene beragama Kristen seagama dengan tersangka Ahok dan perempuan (6/12/2016). Argumen penggantian Iriene di atas tidak logis dan bertentangan dengan independensi kejaksaan.
Jika penggantian jaksa Ahok karena ada desakan masyarakat melalui sosial media, kenapa sikap Jaksa Agung beda atas desakan penahanan Ahok juga melalui sosial media? Jika karena tersangka beragama Kristen dan tidak boleh dihadapi dengan jaksa beragama Kristen KUHAP, apa yang dipakai?
Jika karena Iriene berjenis kelamin perempuan dan tidak boleh menjadi JPU Ahok, bukankah itu perlakuan diskriminatif dan bias gender dalam tubuh kejaksaan? Meragukan kompetensi dan kapasitas bawahan sendiri sangatlah tidak bijak sebagai Jaksa Agung. Cara berpikir Jaksa Agung seperti ini telah menempatkan proses penegakan hukum berdasarkan tekanan publik atau trial by the press.
Kasus Ahok mulai disidangkan pada 13/12/2016 oleh Pengadilan Jakarta Utara sesuai dengan locus delicti peristiwa, di mana Kepulauan Seribu masuk dalam wilayah administratif Jakarta Utara.
Tempat persidangan di kawasan Harmoni Jalan Hayam Wuruk kemudian dipindahkan lagi ke Auditorium Gedung Departemen Pertanian kawasan Ragunan Jakarta Selatan berdasarkan Keputusan Ketua MA No 22/KMA/SK/2016 (22/12/2016) atas permintaan Kapolda Metro Jaya dengan pertimbangan kondisi sidang yang dipenuhi massa kedua kubu, pendukung Ahok, dan massa pelapor.
Dengan situasi sidang kasus Ahok seperti itu tentu saja sangat mengganggu aktivitas keseharian masyarakat dan karyawan sekitar serta menyebabkan kondisi jalan makin macet. Dalam sidang keempat, Selasa (3/1), diwarnai dengan bentrokan dua massa pendukung dan kemungkinan masa sidang berikutnya makin menaikkan tensi dua kubu dan memakan waktu panjang hingga selesainya pemungutan suara pilkada Jakarta.
Dua kubu menekan pengadilan dalam orasi-orasi yang disampaikan dengan tuntutan agar Ahok dipenjara dan massa lainnya menuntut Ahok dibebaskan. Masalah kita bukan hanya utang negara yang kian tinggi atau kenaikan tarif STNK/BPKB, BBM, dan listrik, tapi juga Ahok sudah menjadi bagian dari masalah nasional dan Jokowi.
Yang menarik, soal kasus Ahok juga diperdebatkan di kalangan media massa, apakah disiarkan langsung atau tidak. Oleh Dewan Pers melalui rapatnya (9/12/2016) memutuskan agar tidak disiarkan langsung untuk menghormati asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan trial by the press.
Alasan Dewan Pers ini, menurut saya, tidak relevan karena asas praduga tidak bersalah hanya boleh dipakai dalam proses projustisia tidak terkait dengan soal siaran langsung dan tidak langsung, warga berhak untuk tahu (right to know) sebagai bagian dari penerapan asas transparansi pengadilan maupun pemerintahan.
Akan lebih baik jika Dewan Pers dan Media merumuskan bersama dalam hal apa media massa boleh menyiarkan langsung atau tidak dalam regulasi yang mengikat tanpa mengebiri hak-hak dasar warga negara sehingga tidak bergantung pada kasus-kasus tertentu.
Bagi saya, menilai independensi dan objektivitas para penegak hukum baik polisi, jaksa, dan hakim dalam sidang kasus Ahok cukup menilai kalimat dan diksi materi BAP, dakwaan, dan putusan hakim serta mengamati pernyataan dan perilakunya.
Jika materi BAP, dakwaan, dan putusannya lemah dengan menggunakan kata, prasa, dan kalimat tidak tegas (multitafsir), tentu saja para penegak hukum itu memihak terdakwa. Inilah pentingnya menggunakan pendekatan wacana kritis dalam kasus Ahok. Wallahualam.
Ilmu Hukum UIN Alauddin Makassar, Direktur Jenggala Center
SECARA beruntun pada Senin 5 Desember 2016 dan Selasa 6 Desember 2016, Komisi III DPR RI melakukan raker dengan mitranya, yaitu Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung. Raker disiarkan secara live beberapa stasiun televisi sehingga kita bisa mendengarkan langsung apa jawaban pejabat dua institusi penegak hukum itu. Kasus Ahok mendominasi jalannya dialog selama dua hari itu.
Terkait dengan kasus Ahok, saya menuliskan dengan pendekatan analisis wacana kritis ala Teun Van Dijk dengan penekanan pada tingkah laku, ucapan, dan teks (kalimat) para penegak hukum; kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus dugaan penistaan agama yang disangkakan ke Saudara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dalam tahap penyelidikan dan penyidikan; Pertama, saksi ahli, kepolisian memanggil puluhan saksi ahli, terutama ahli agama, bahasa, dan pidana. Yang menarik, status ahli agama dari Mesir, Syaikh Mushthofa Amr Wardani.
Menurut penyidik, pihak Ahok yang mengundangnya sebagai saksi yang meringankan (14/11/2016), tetapi kemudian dibantah Ahok sendiri bahwa dia tidak merasa mendatangkan saksi tersebut.
Lalu, siapa? Penyidikkah? Dubes kah? Atau, hantukah? Cara-cara manipulasi dan menjebak agar seseorang bersaksi tidak dapat dibenarkan secara hukum dan merendahkan martabat penegak hukum sendiri.
Kedua, penentuan status tersangka berdasarkan voting. Seseorang ditetapkan sebagai tersangka harus sesuai ketentuan KUHAP dan KUHAP tidak menyatakan bahwa dalam penetapan status tersangka berdasarkan voting, tetapi bukti permulaan (Pasal 1 angka [14] KUHAP).
Kata “voting” tidak saja sesuai hukum, tetapi berdiksi politik dan penuh tolak-tarik kepentingan orang per orang atau kelompok. Seolah para penyidik merupakan kelompok kepentingan politik dalam penetapan status tersangka Ahok.
Ketiga, klaim hanya kepolisian yang bisa menetapkan status tersangka Ahok. Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Kapolri Tito Karnavian dalam orasi aksi damai III (2/12/2016) di Monas, Jakarta.
Pernyataan Kapolri ini tidak etis dan menihilkan peran penegak hukum lain seperti kejaksaan dan KPK. Secara nyata bahkan disampaikan KPK tidak dapat menetapkan Ahok sebagai tersangka dan hanya bisa dilakukan oleh kepolisian. Ini menandakan sikap rivalitas sesama penegak hukum dan bahayanya jika hanya mengejar prestasi kuantitas tanpa menimbang bukti-bukti hukum.
Keempat, provokasi Kapolda DKI Jakarta. Dalam raker Kapolri dan Komisi III DPR ditayangkan video provokasi Kapolda DKI Jakarta agar FPI menyerang HMI pada aksi 411.
Pernyataan kapolda dalam tayangan tersebut merupakan perbuatan tercela dan hina karena tidak mencerminkan aparatur negara sebagai pengayom dan pengendali ketertiban masyarakat. Polisi seharusnya menghadirkan rasa aman pun dapat berperilaku menjadi teror bagi masyarakat dan hilangnya rasa aman bagi warga negara.
Hingga raker selesai, pertanyaan anggota Komisi III DPR Desmond J Mahesa tidak mendapatkan penjelasan baik dari kapolri maupun kapolda sendiri. Sikap ketidakadilan dalam penegakan hukum merupakan ladang subur tumbuhnya radikalisme dan terorisme serta meruntuhkan wibawa institusi penegak hukum.
Kasus Ahok di tangan kejaksaan sebagai penuntut umum. Jaksa penuntut umum (JPU) mewakili kepentingan publik dan bukan tersangka, kepentingan publik siapa? Kepentingan para pelapor yang terdiri atas 13 elemen umat Islam.
Dari beberapa pernyataan petinggi Kejaksaan Agung ada yang harus dikritisi. Pertama, terkait desakan penahanan Ahok.
Salah satu dalih tidak ditahan Ahok sebagaimana disampaikan Kapuspenkum Kejagung M Rum (1/12/2016) dan Jaksa Agung Prasetyo dalam raker Komisi III DPR (6/12/2016) bahwa Ahok tidak ditahan karena penyidik Polri juga tak menahan tersangka sesuai SOP. Penyidik dan penuntut memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan masing-masing sesuai KUHAP kendatipun penahanan tersangka dapat saja ditangguhkan atau dialihkan penahanannya.
Pelbagai kasus pidana membuktikan, penyidik menahan tersangka kejaksaan menangguhkan atau sebaliknya. Jadi, dalih kejaksaan tidak menahan Ahok karena kepolisian juga tidak menahan yang bersangkutan merupakan langkah cari aman dan mengada-ada. Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-036/A/JA/09/2011 tentang SOP Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, alasan di atas tidak ditemukan.
Kedua, penggantian JPU Ahok. Penunjukan jaksa Iriene R Korengkeng sebagai JPU tersangka Ahok oleh Jaksa Agung dalam raker tersebut diganti karena merespons aspirasi masyarakat melalui sosial media.
Selain itu, dinilai tidak objektif karena Iriene beragama Kristen seagama dengan tersangka Ahok dan perempuan (6/12/2016). Argumen penggantian Iriene di atas tidak logis dan bertentangan dengan independensi kejaksaan.
Jika penggantian jaksa Ahok karena ada desakan masyarakat melalui sosial media, kenapa sikap Jaksa Agung beda atas desakan penahanan Ahok juga melalui sosial media? Jika karena tersangka beragama Kristen dan tidak boleh dihadapi dengan jaksa beragama Kristen KUHAP, apa yang dipakai?
Jika karena Iriene berjenis kelamin perempuan dan tidak boleh menjadi JPU Ahok, bukankah itu perlakuan diskriminatif dan bias gender dalam tubuh kejaksaan? Meragukan kompetensi dan kapasitas bawahan sendiri sangatlah tidak bijak sebagai Jaksa Agung. Cara berpikir Jaksa Agung seperti ini telah menempatkan proses penegakan hukum berdasarkan tekanan publik atau trial by the press.
Kasus Ahok mulai disidangkan pada 13/12/2016 oleh Pengadilan Jakarta Utara sesuai dengan locus delicti peristiwa, di mana Kepulauan Seribu masuk dalam wilayah administratif Jakarta Utara.
Tempat persidangan di kawasan Harmoni Jalan Hayam Wuruk kemudian dipindahkan lagi ke Auditorium Gedung Departemen Pertanian kawasan Ragunan Jakarta Selatan berdasarkan Keputusan Ketua MA No 22/KMA/SK/2016 (22/12/2016) atas permintaan Kapolda Metro Jaya dengan pertimbangan kondisi sidang yang dipenuhi massa kedua kubu, pendukung Ahok, dan massa pelapor.
Dengan situasi sidang kasus Ahok seperti itu tentu saja sangat mengganggu aktivitas keseharian masyarakat dan karyawan sekitar serta menyebabkan kondisi jalan makin macet. Dalam sidang keempat, Selasa (3/1), diwarnai dengan bentrokan dua massa pendukung dan kemungkinan masa sidang berikutnya makin menaikkan tensi dua kubu dan memakan waktu panjang hingga selesainya pemungutan suara pilkada Jakarta.
Dua kubu menekan pengadilan dalam orasi-orasi yang disampaikan dengan tuntutan agar Ahok dipenjara dan massa lainnya menuntut Ahok dibebaskan. Masalah kita bukan hanya utang negara yang kian tinggi atau kenaikan tarif STNK/BPKB, BBM, dan listrik, tapi juga Ahok sudah menjadi bagian dari masalah nasional dan Jokowi.
Yang menarik, soal kasus Ahok juga diperdebatkan di kalangan media massa, apakah disiarkan langsung atau tidak. Oleh Dewan Pers melalui rapatnya (9/12/2016) memutuskan agar tidak disiarkan langsung untuk menghormati asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan trial by the press.
Alasan Dewan Pers ini, menurut saya, tidak relevan karena asas praduga tidak bersalah hanya boleh dipakai dalam proses projustisia tidak terkait dengan soal siaran langsung dan tidak langsung, warga berhak untuk tahu (right to know) sebagai bagian dari penerapan asas transparansi pengadilan maupun pemerintahan.
Akan lebih baik jika Dewan Pers dan Media merumuskan bersama dalam hal apa media massa boleh menyiarkan langsung atau tidak dalam regulasi yang mengikat tanpa mengebiri hak-hak dasar warga negara sehingga tidak bergantung pada kasus-kasus tertentu.
Bagi saya, menilai independensi dan objektivitas para penegak hukum baik polisi, jaksa, dan hakim dalam sidang kasus Ahok cukup menilai kalimat dan diksi materi BAP, dakwaan, dan putusan hakim serta mengamati pernyataan dan perilakunya.
Jika materi BAP, dakwaan, dan putusannya lemah dengan menggunakan kata, prasa, dan kalimat tidak tegas (multitafsir), tentu saja para penegak hukum itu memihak terdakwa. Inilah pentingnya menggunakan pendekatan wacana kritis dalam kasus Ahok. Wallahualam.
(poe)