Menjaga Optimisme 2017

Jum'at, 06 Januari 2017 - 09:43 WIB
Menjaga Optimisme 2017
Menjaga Optimisme 2017
A A A
Dr Jazuli Juwaini, MA
Ketua Fraksi PKS DPR RI

KITA baru saja memasuki tahun 2017. Di luar gegap gempita perayaan tahun baru hendaknya kita tidak lupa untuk membangun optimisme selama satu tahun ke depan.

Optimisme yang berangkat dari refleksi perjalanan bangsa selama tahun 2016 dan sebelumnya, tentang capaian yang terealisasi dan kondisi yang layak dievaluasi agar menjadi milestone bagi perbaikan ke depan.

Dalam artikel singkat ini, penulis berusaha menyajikan refleksi dan catatan kritis atas kondisi kebangsaan dan relasinya dengan sejumlah kebijakan dalam aspek ekonomi, sosial-politik, hukum, dan keamanan.

Dinamika problematika dalam kehidupan bernegara adalah hal yang lumrah, terpenting adalah kemampuan kita menjadikan problematika itu sebagai momentum (peluang) untuk perbaikan dan peningkatan kemajuan.

Ekonomi Stagnan, Kualitas Perlu Ditingkatkan
Terkait kondisi ekonomi, dari sisi kuantitatif cenderung stagnan pada angka 5,02%, masih jauh dari janji Jokowi-JK yakni target pertumbuhan 7% selama lima tahun sampai 2019. Dari sisi kualitatif (kontribusi pertumbuhan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat) juga dirasakan masih jauh dari menggembirakan.

Faktanya, pertumbuhan ekonomi rendah dalam menyerap tenaga kerja karena banyak ditopang oleh sektor jasa. Penurunan angka kemiskinan juga tidak signifikan. Struktur perekonomian nasional pun masih bertumpu pada kekuatan sektor konsumsi rumah tangga sehingga sangat rentan terhadap gejolak inflasi.

Pertumbuhan ekonomi 2016, juga tercatat lebih rendah dalam penurunan pengangguran terbuka. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi menyerap 107.206 tenaga kerja. Bandingkan dengan tahun 2014, di mana setiap 1% pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 260.000 tenaga kerja, bahkan pada tahun 2004 setiap 1% pertumbuhan menyerap 400.000 tenaga kerja.

Artinya, janji kampanye Nawacita Jokowi-JK yang menargetkan terciptanya lapangan kerja untuk 2 juta orang per tahun, sehingga totalnya adalah 10 juta orang selama 5 tahun pemerintahan akan sangat sulit direalisasikan.

Efektivitas investasi besar-besaran di sektor infrastruktur yang menjadi prioritas pemerintah dalam dua tahun terakhir layak untuk dipertanyakan utamanya dalam penyerapan tenaga kerja.

Demikian halnya dengan paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan pemerintah nyatanya juga belum efektif mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik, salah satunya terkait implementasi paket-paket tersebut di daerah sejalan dengan kondisi daerah.

Bahkan, paket kebijakan kelonggaran kepemilikan usaha yang dimiliki investor asing (daftar negatif investasi) hingga 100% dirasakan kontradiktif bagi kemandirian ekonomi nasional serta amanat konstitusi bahwa perekonomian diorientasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan realitas di atas, ke depan pemerintah harus serius mengambil langkah-langkah terukur guna memperbaiki kinerja perekonomian pada 2017 sehingga makin tumbuh secara berkualitas. Pemerintah harus bisa merancang kebijakan ekonomi yang baik dan mengimplementasikannya secara efektif guna mendorong mesin perekonomian.

Sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja tinggi harus mendapat perhatian yang lebih serius, seperti manufaktur, pertanian, dan perkebunan, agar dampak pertumbuhan ekonomi bisa dirasakan oleh masyarakat luas. Butuh kerja keras dan kerja cerdas pemerintah karena tantangan ekonomi ke depan sangatlah berat, apalagi konstelasi ekonomi dan politik global telah berubah sangat drastis.

Isu Meresahkan, Butuh Respons Tepat
Selama 2016, kita mendapati munculnya berbagai isu yang meresahkan dan mengkhawatirkan di kalangan masyarakat, antara lain isu bangkitnya kembali paham/ideologi komunisme, isu masifnya tenaga kerja asing khususnya dari China, isu terorisme yang seolah tak berkesudahan meski penindakan terhadap orang-orang yang dituduh (akan) melakukan tindak teror begitu gencar.

Terhadap sejumlah isu di atas dibutuhkan kecepatan respons dari negara cq pemerintah dengan memberikan perhatian serius, menyajikan fakta dan data yang akurat sebagai bentuk klarifikasi agar kecemasan dan kekhawatiran masyarakat tidak berkembang eskalatif dan mengarah pada hal-hal yang kontraproduktif. Pun, jika isu tersebut benar adanya agar pemerintah dapat melakukan tindakan yang tepat dan terukur.

Isu bangkitnya kembali paham ideologi komunisme merupakan ancaman terhadap ideologi negara. Kita punya sejarah kelam terhadap gerakan komunisme, pun Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) masih berlaku. Oleh sebab itu, segala hal yang berbau paham komunis merupakan hal terlarang.

Isu masifnya tenaga kerja asing (TKA) dipersepsikan mengancam kemandirian ekonomi, apalagi di tengah surplus tenaga kerja dalam negeri dan tingginya pengangguran/kemiskinan. Isu ini tidak bisa dilepaskan dari sejumlah kebijakan pemerintah yang melonggarkan arus orang berupa kebijakan bebas visa kepada 169 negara dan kepemilikan (usaha) asing.

Kita tentu tindak antiasing, tapi seperti yang dilakukan negara mana pun, masuknya warga negara asing ke Indonesia perlu diatur secara baik menyangkut regulasi dan sistem pengawasannya. Pemerintah sudah seharusnya memprioritaskan tenaga kerja dalam negeri, membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi anak bangsa.

Tidak ada masalah dengan investasi asing, tapi tidak harus kepemilikan usaha 100 milik asing agar tetap ada share dan bargaining bagi kepentingan dalam negeri khususnya penyerapan tenaga kerja lokal.

Selanjutnya, isu terorisme menjadi konsen bersama karena ancamannya terhadap keamanan nasional. Lebih dari itu, aksi terorisme merupakan ancaman terhadap kemanusiaan dan tidak ada satu agama pun yang membenarkannya. Maka stigmatisasi terorisme terhadap agama tertentu (khususnya Islam) harus dihindari, karena Islam dan umatnya justru menjadi korban terbesar terorisme.

Disharmoni Kebangsaan, Perlu Kedewasaan
Sepanjang 2016 kita juga merasakan hawa disharmoni kebangsaan menyeruak di tengah-tengah masyarakat kita, baik di dunia nyata dan terlebih lagi di dunia maya (media sosial).

Kita dapati acap sesama anak bangsa saling serang, caci maki, sebarkan berita "hoax" dan tidak sedikit berupa fitnah. Hal ini memicu salah paham, saling lapor, bahkan konflik terbuka. Presiden Jokowi sampai harus menggelar rapat khusus membahas tren negatif medsos ini sebagai respons keseriusan masalah.

Demonstrasi besar massa rakyat (khususnya umat Islam) akhir tahun lalu, yang dikenal dengar Aksi Bela Islam 411 dan 212, juga patut dijadikan bahan perenungan bersama dalam konteks kebangsaan.

Aksi yang bertujuan menuntut penegakan hukum yang tegas dan adil kepada seorang pejabat publik pelaku penistaan agama dan ulama ini mengingatkan kita pentingnya penjagaan kebinekaan dan NKRI dengan sikap toleransi, penghargaan dan penghormatan terhadap segala perbedaan yang ada. Di samping itu, negara harus menjamin penegakan hukum yang tegas dan adil kepada pelaku penistaan agama karena jelas mengancam kebinekaan itu sendiri.

Dibutuhkan kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara dari segenap elemen. Pemimpin harus bersikap arif dan bijak agar bisa menjadi teladan bagi rakyatnya. Segala kebijakannya harus berorientasi pada kepentingan rakyat, tidak tendensius dan diskriminatif, apalagi hanya berpihak pada kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Aparat penegak hukum harus menjamin tegaknya supremasi hukum, tidak tebang pilih dan/atau mengikuti selera kepentingan dalam menegakkan hukum, sehingga keadilan benar-benar dapat ditegakkan di republik ini.

Kepada seluruh warga bangsa diharapkan bisa bertenggang rasa dalam berkomunikasi, bersikap, dan berperilaku dengan menjaga betul agar tidak menyinggung dan melukai perasaan. Hanya dengan cara itu keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bisa terjaga.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5939 seconds (0.1#10.140)