Apatisme Kemacetan

Kamis, 05 Januari 2017 - 08:40 WIB
Apatisme Kemacetan
Apatisme Kemacetan
A A A
Dr Ir Agus Puji Prasetyono M Eng
Staf Ahli Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Bidang Relevansi dan Produktivitas

DEMOGRAFI penduduk Indonesia pada era modern sepertinya tidak bisa lagi dijadikan “alasan rasional” dalam mengendalikan kemacetan yang telah melegenda di kota-kota besar di Indonesia.

Sekalipun berbagai teori telah melahirkan beragam analisis, semua akan berujung pada suatu kesimpulan bahwa ketika pertumbuhan penduduk melewati kapasitas muat suatu wilayah atau lingkungan, hasilnya akan berakhir dengan terjadi ledakan penduduk yang berakibat pada terganggunya populasi yang menyebabkan berbagai masalah seperti polusi dan kemacetan lalu lintas.

Natalitas dan mortalitas sepertinya tidak lagi menjadi relevan sebagai input teori dalam mengendalikan kemacetan karena kenyataannya bahwa kemacetan semakin parah ketika tensi emosional pengendara meningkat akibat kemacetan di sepanjang jalan utama kota di Indonesia.

Legenda kemacetan di kota besar Indonesia justru dimulai dari “migrasi” penduduk yang memiliki mimpi yang sama, yaitu meningkatkan kualitas hidup dengan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Pemenuhan kebutuhan pokok akan membuat manusia secara otomatis melakukan migrasi ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.

Terlebih jika melihat ramalan Paul R Ehrlich dalam bukunya yang berjudul The Population Bomb (Ledakan Penduduk) pada 1968 tentang ada bencana kemanusiaan akibat terlalu banyak penduduk dan ledakan penduduk.

Karya tersebut menggunakan argumen yang sama seperti yang dikemukakan Thomas Malthus dalam An Essay on the Principle of Population (1798) bahwa laju pertumbuhan penduduk mengikuti pertumbuhan eksponensial dan akan melampaui suplai makanan yang akan mengakibatkan kelaparan.

Namun, sepertinya hal ini “tidak berlaku” bagi negara makmur gemah ripah loh jinawi yang bernama Indonesia. Negara dengan 17.000 pulau ini sepertinya pantas-pantas saja memiliki jumlah penduduk sekitar 240 juta jiwa jika dilihat dari luasan geografis negara kita.

Justru kemacetan yang terjadi di Indonesia adalah karena persebaran penduduk yang tidak merata. Jika jumlah penduduk di suatu wilayah dibandingkan dengan luas wilayahnya yang dihitung dari jumlah jiwa per kilometer persegi, akan mendapat hasil yang timpang dan memiliki perbedaan yang tinggi bila hal itu dibandingkan antarprovinsi satu dengan yang lain.

Di Indonesia sendiri terjadi konsentrasi kepadatan penduduk yang berpusat di Pulau Jawa, hampir lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia mendiami Jawa. Hal ini menjadi masalah apabila pusat pemerintahan, informasi, transportasi, ekonomi, dan berbagai fasilitas hanya berada di satu wilayah.

Penduduk akan berusaha untuk melakukan migrasi dan akhirnya akan berdampak pada permasalahan pemerataan pembangunan yang dampaknya adalah terjadi ledakan kemacetan yang bahkan telah merenggut sejumlah nyawa manusia dalam beberapa waktu lalu.

Apatisme Kemacetan
Kemacetan tidak bisa lagi disikapi dengan apatis, tetapi bagaimana memberi apresiasi terhadap insan yang mampu memberikan solusi dalam menanggulangi itu. Pemerintah harus selalu berasosiasi dan berafiliasi dalam menyusun langkah-langkah strategis jangka panjang dalam mengatasi ledakan kemacetan.

Berbagai studi empiris tentang kemacetan telah dikupas secara gamblang bagaimana kemacetan dapat diibaratkan bagai sebuah “virus” yang harus dibasmi dengan “vaksin” yang tepat dalam upaya penanganannya, baik secara preventive ataupun breakdown.

Namun, pada akhirnya manusia adalah objek yang paling dirugikan ketika kemacetan menciptakan rintangan utama bagi manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Terlalu miris jika kasus kemacetan berakibat pada Quadriplegia, namun mata tidaklah bisa berbohong, frustrasi yang diakibatkannya telah berhasil merenggut nyawa manusia.

Jika berbagai studi yang telah ada dirasionalisasi, setidaknya ada tiga efek berbahaya dari ledakan kemacetan yang dipercaya akan memfiksasikan tingkah laku manusia. Pertama, efek kemacetan terhadap pengendara dilihat dari sisi psikologis akan melahirkan “stres” dengan “happy ending”-nya adalah rasa frustrasi.

Berbagai penelitian yang telah dilakukan telah menjustifikasi bahwa anak-anak yang tumbuh di sekitar daerah dengan emisi CO2 yang tinggi memiliki tingkat inteligensi yang lebih rendah, mudah mengalami depresi, kecemasan, dan kesulitan konsentrasi. Selain anak-anak, orang dewasa pun dapat merasakan pengaruh dari emisi CO2, yaitu mengalami masalah ingatan dan pikiran.

Tingkat polusi udara yang tinggi akibat kendaraan bermotor juga memengaruhi kandungan ibu. Heather Volk dari USC Keck School of Medicine menemukan bahwa ibu-ibu yang tinggal 1.000 kaki dari jalan raya di Los Angeles, San Francisco, dan Sacramento kemungkinan besar akan melahirkan anak dengan gangguan autisme.

Sebuah penelitian jangka panjang yang dikembangkan oleh Frederica Perera dari Columbia University’s Center for Children’s Enviromental Health menunjukkan ada pengaruh buruk dari emisi CO2 terhadap kandungan. Perkembangan kapasitas mental yang lambat, tingkat IQ yang lebih rendah, serta tingkat kecemasan, depresi, dan kesulitan konsentrasi merupakan sebagian dari efek samping yang dihasilkan.

Kedua, efek kemacetan terhadap kendaraan itu sendiri. Azhar Aris dalam jurnal ilmiahnya memberikan statement bahwa kendaraan yang melaju pada lalu lintas normal biasanya mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM) sesuai dengan efisiensi mesin kendaraan dalam mengonsumsi BBM.

Kendaraan bermotor biasanya ditunjukkan dengan perbandingan per 1 liter bensin dengan jarak yang dapat ditempuhnya. Misalnya konsumsi 1 liter bensin untuk 8 kilometer untuk jenis kendaraan mobil, tetapi efisiensi kendaraan ini juga dipengaruhi oleh jenis mobil, kapasitas mesin, dan merek mobil tersebut.

Namun, ketika kendaraan terjebak dalam kemacetan akan terjadi peningkatan kebutuhan BBM sebesar 36,7% dari pengeluaran rata-rata normal untuk setiap mobil, sedangkan motor sebesar 32,3% dari rata-rata normal.

Bisa kita bayangkan jika nilai tersebut dikalikan dengan jumlah kendaraan bermotor yang ada di kota-kota besar di Indonesia. Potensi nilai ekonomi yang hilang ini merupakan nilai yang sangat besar untuk kota yang termasuk daerah suburban.

Penurunan cepat performa kendaraan juga terjadi, sebagai contoh perawatan berkala kendaraan dengan interval 10.000 km tentu menjadi poin lebih bagi penjual kendaraan. Namun, toleransi akibat ledakan kemacetan apakah juga salah satu variabel dalam menghitung performa kendaraan?

Dan, apakah acuan jarak tempuh masih bisa diberlakukan dalam kondisi ekstrem? Pada akhirnya pengendara akan memiliki extra cost dalam menyiasati perawatan kendaraan seperti oli mesin, busi, dan filter udara.

Ketiga, efek kemacetan terhadap lingkungan. Di antara berbagai studi tentang kemacetan sepertinya “ekologi” adalah salah satu faktor yang terkena dampak paling parah. Provinsi DKI Jakarta pernah merilis bahwa penurunan tingkat kualitas udara memiliki kategori sangat tidak sehat dan tidak sehat menunjukkan peningkatan, masing-masing 0,85 dan 31,23 dari nilai sebelumnya, yaitu 0,27 dan 8,49 pada 2001. Sebaliknya, kategori baik menurun dari 20,55 menjadi 5,75 pada 2002.

Hasil ini juga sangat bertentangan dengan upaya-upaya yang gencar dilakukan pemerintah dengan program pengendalian pencemaran udara (program langit biru) yang dicanangkan sejak 1986 melalui keputusan menteri lingkungan hidup. Namun, terdapat hasil positif atas dihapuskannya kandungan timbal (Pb) dalam bensin pada Juli 2001, dengan semakin menurunnya kadar Pb dalam udara di Jakarta.

Berpikir Out of the Box
Jika laju penurunan angka penjualan kendaraan menjadi “tidak lazim” untuk dilakukan, keberlanjutan pembangunan infrastruktur transportasi hendaknya dapat direvitalisasi tata kelolanya. Yang terjadi saat ini adalah keterbatasan dana APBD menjadi penyebab rendahnya alokasi perawatan dan perbaikan jalan, ditambah dengan permasalahan mendasar birokrasi seperti proses tender, dan pembebasan lahan.

Menarik melihat pandangan Joko Tri Haryanto bahwa ketiadaan mekanisme ear marking (penerimaan perpajakan dikembalikan kepada sektor yang berkontribusi) menyebabkan tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk mengembalikan penerimaan pajak ke sektor transportasi dan perbaikan jalan.

Padahal jika diwajibkan ear marking 10% saja, Pemda DKI Jakarta akan memiliki sumber dana minimal Rp1,7 triliun, yang dapat digunakan untuk perawatan serta perbaikan jalan.

Selain itu, sektor financial licensing Indonesia juga perlu dievaluasi secara serius, kemudahan berutang dalam membeli kendaraan diyakini akan menyesakkan lalu lintas dan dipercaya akan mempersulit implementasi peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa jika penjualan tidak ditingkatkan, negara akan mengalami “kekurangan” pendapatan.

Karena itulah, pemerintah perlu mendesain ulang pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari sektor transportasi untuk kemudian mengembalikan penerimaan pajak dalam peningkatan infrastruktur transportasi yang diimpikan sebagian besar penduduk kota besar yaitu “tersedianya” public transport yang memiliki waktu tempuh perjalanan efisien (cepat), tidak ada kemacetan, nyaman, aman, dan bebas kecelakaan. Untuk mencapai kondisi tersebut, pemerintah membutuhkan dukungan anggaran yang tidak sedikit.

Penerapan kebijakan pengaturan lalu lintas di waktu-waktu sibuk juga merupakan upaya yang sangat efektif yang dapat dilakukan. Pengaturan volume kendaraan selain mengurangi polusi udara juga diyakini sebagai model kajian kebijakan dalam membentuk afiliasi positif antara pelaku industri dan perdagangan dalam bergotong-royong membangun sarana transportasi modern di Bumi Pertiwi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3436 seconds (0.1#10.140)