Ketika Daerah dan Pusat Pisah Jalan

Jum'at, 30 Desember 2016 - 09:49 WIB
Ketika Daerah dan Pusat...
Ketika Daerah dan Pusat Pisah Jalan
A A A
Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF

SEGALA bentuk reformasi dan kebijakan bagus yang dilakukan pemerintah pusat akan percuma jika pemerintah daerah memilih jalan yang berbeda. Hal ini tercermin dari mangkraknya dana simpanan pemerintah daerah di perbankan menjelang akhir 2016.

Per Oktober, berdasarkan data Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, masih terdapat Rp206,85 triliun dana yang disimpan di brankas bank. Sebagian besar disimpan dalam bentuk giro dengan porsi 58,14%, deposito 40,17%, dan sisanya tabungan.

Pemerintah provinsi justru mengalami kenaikan saldo simpanan sebesar Rp2,58 triliun dibanding periode September lalu. Sementara itu, pemerintah kota juga tidak mau kalah menumpuk saldo pada akhir tahun dengan kenaikan Rp347,4 miliar dibanding bulan sebelumnya. Kondisi ini jelas mencemaskan.

Uang yang seharusnya dibelanjakan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat justru ditahan di perbankan. Pemerintah daerah tanpa bekerja keras pun akan mendapatkan bunga dari perbankan yang cukup besar sehingga APBD terlihat gemuk. Padahal, dana transfer pusat ke daerah bertambah signifikan selama lima tahun terakhir.

Pada 2012 jumlahnya Rp480,6 triliun, kini pada 2016 sudah mencapai Rp723,2 triliun atau meningkat lebih dari 50,4%. Pada 2017 anggaran yang disiapkan untuk daerah termasuk dana desa mencapai Rp764,9 triliun lebih besar dari belanja kementerian/lembaga yakni Rp763,6 triliun. Artinya, pemerintah pusat ingin memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah.

Semangat dari otonomi daerah memang kuat dirasakan dalam APBN 2017. Tapi, penguatan fiskal daerah ini justru bisa menjadi blunder bagi perekonomian ketika performa pemerintah daerah masih tidak berubah. Untuk mengatasi mangkraknya dana pemerintah daerah di bank, pemerintah pusat telah mengeluarkan aneka aturan tentang lelang dini misalnya dalam Perpres No 4 Tahun 2015.

Selain itu, daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun sudah dimajukan agar pemerintah daerah bisa cepat melakukan lelang. Namun, semua imbauan itu bagaikan pepesan kosong. Sanksi dari pemerintah juga terbukti kurang efektif contohnya pemotongan gaji kepala daerah dan anggota DPRD yang belum mengesahkan APBD paling lambat 30 November.

Banyak pemerintah daerah terbukti masih membandel. Buktinya pada Maret 2016, lelang dini yang digadang-gadang akan meningkatkan serapan anggaran tidak terbukti.

Penyerapan hanya mencapai 8% di tingkat kabupaten/kota, dan 8,3% di level provinsi. Serapan yang rendah jadi salah satu biang keladi ekonomi diprediksi sulit tumbuh di atas 5% pada 2016 ini.

Pengeluaran konsumsi pemerintah dengan lambatnya penyerapan anggaran bahkan sempat tumbuh -2,97% pada triwulan III 2016. Karena itu, perlu diformulasikan sanksi yang sifatnya lebih tegas seperti moratorium dana transfer daerah bagi pemerintah daerah yang terlewat lambat menyalurkan anggaran. Dengan cara itu, pemerintah daerah mendapatkan dua tekanan sekaligus.

Pertama, tuntutan internal termasuk pegawai pemerintah daerah karena tunjangan menjadi berkurang. Kedua, masyarakat lebih menekan pemerintah daerah untuk meningkatkan penyerapan anggaran karena aneka program sosial menjadi terhambat akibat moratorium. Masalah lain soal kinerja daerah yang perlu jadi catatan selain lambatnya penyerapan adalah efektivitas penyaluran anggaran.

Rata-rata anggaran daerah sebesar 39% dihabiskan untuk belanja pegawai, sedangkan sisanya hanya 24% untuk belanja modal. Padahal, yang seharusnya lebih dominan agar daerah maju secara ekonomi adalah belanja modal karena berkaitan dengan peningkatan usaha dan produksi di daerah, yang akhirnya memberikan manfaat berupa kenaikan penerimaan pajak, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran daerah.

Renggangnya koordinasi pusat dan daerah dalam mendorong perekonomian juga terlihat dari implementasi paket kebijakan yang lambat. Sebanyak 14 paket kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah pusat tampaknya ditanggapi dingin oleh pemerintah daerah. Soal deregulasi dan debirokratisasi misalnya pusat dan daerah banyak menghadapi perbedaan persepsi.

Pemerintah pusat berkeinginan memotong segala bentuk regulasi yang selama ini dianggap menjadi beban bagi dunia usaha dan investasi. Dengan regulasi yang lebih singkat dan pelayanan izin investasi yang mudah akan mengurangi ekonomi berbiaya tinggi. Apalagi pada 2017 pemerintah menargetkan peringkat kemudahan berbisnis di posisi ke-40.

Saat ini posisi kemudahan berbisnis masih di peringkat ke- 91 sehingga butuh upaya ekstra untuk meningkatkan performa perizinan. Sayangnya, respons di daerah justru melihat deregulasi yang dilakukan pusat akan menghilangkan sumber penerimaan yang selama ini banyak dinikmati pejabat hingga pegawai yang paling bawah.

Intinya, ada pihak yang selama ini ingin mempertahankan status quo, yaitu penikmat rente pengurusan izin. Dampak dari lambatnya reformasi perizinan di daerah juga terlihat dari penurunan realisasi investasi.

Minat investor memang besar untuk menanamkan modal di Indonesia. Sudah bukan rahasia bahwa kelas menengah dengan tingkat konsumsi yang tinggi jadi daya tarik.

Sumber daya alam yang berlimpah juga sering dibahas dalam setiap kunjungan Presiden ke berbagai negara lain. Permasalahan muncul ketika investor mulai melakukan pendaftaran usaha di daerah. Betul ada perizinan satu pintu, disertai janji tiga jam izin mendirikan usaha beres. Itu terjadi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sayangnya, ketika investor mengurus izin di daerah bagaikan masuk satu pintu, tapi keluar di banyak jendela.

Pungli pun masih berkeliaran. Alhasil, realisasi investasi cuma tumbuh 10,7% di triwulan III 2016 lebih rendah dibanding triwulan III 2015 yang mencapai 17%. Nalar masyarakat melihat fenomena ini jelas dibuat bingung. Saat ekonomi sedang mengalami kelesuan dengan panjangnya deretan masalah, pemerintah daerah seakan menutup mata dantelinga.

Karena itu, titik berat reformasi ekonomi yang dicanangkan pusat bisa tidak berarti walaupun sebagian besar uang sudah diberikan ke daerah, belanja infrastruktur didorong, serta aneka program pemberantasan kemiskinan dijalankan. Jelas diperlukan reformasi total. Fokus pemerintah pada 2017 seharusnya lebih pada peningkatan kapasitas pengelolaan daerah, bukan sekadar peningkatan kapasitas fiskal.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0810 seconds (0.1#10.140)