Presiden di Antara Perang Industri Pertahanan Dunia

Kamis, 29 Desember 2016 - 09:25 WIB
Presiden di Antara Perang...
Presiden di Antara Perang Industri Pertahanan Dunia
A A A
DR Connie Rahakundini Bakrie
Dewan Pembina National Air and Space Power of Indonesia,
President Indonesia Institute for Maritime Studies

DENGAN beberapa bidikan dari tempat tersembunyi, paparazzi military industry Rich Pittman berhasil mengambil foto jarak jauh dari heli Agusta Westland AW 101 yang dibeli TNI AU di pusat pabriknya di Yeofil, Inggris pada 19 Desember 2016.

Hal ini telah kembali berhasil membuat heboh belantika industri pertahanan Tanah Air karena Pittman tidak lupa menyisipkan info penyesatan bahwa heli tersebut merupakan bagian dari helikopter AW 101 yang sedianya dibeli India, tetapi dibatalkan karena kasus korupsi.

Berita plesetan ini membawa ke pertanyaan, apa yang sebenarnya sedang terjadi di belantara industri pertahanan kita? Siapa yang bermain dan untuk tujuan apa?

Dalam membahas industri pertahanan, patut diingat bahwa terdapat kaitan (link) yang erat antara politik dan perdagangan senjata. Kaitan tersebut dapat mengakibatkan perkembangan sebagaimana digambarkan Presiden AS Dwight D Eisenhower sebagai sebuah pertarungan di mana angkatan bersenjata, perdagangan, industri, dan politik terjalin dalam hubungan erat.

Terkadang proses tender yang kompetitif terjadi, di mana keputusan dibuat berdasarkan bukan hanya pada harga alutsista yang dipilih, melainkan juga pada manfaat dari desain, kelengkapan persenjataan, keterkinian technology, offset, and transfer of technology, serta beragam peraturan dan kontrak yang diajukan antara perusahaan penjual dan negara pembeli. Karena kelihaian dalam mengelola link antara politik dan perdagangan inilah, hingga kini Amerika tetap mengambil bagian terpenting pemasok senjata ke negara berkembang (36% dari penjualan senjata dunia), diikuti oleh Rusia, Inggris, Jerman, dan China.

***
Pembelian AW 101 sejak akhir 2015 memang terlihat jelas sengaja dibuat untuk terus mengundang kontroversi dan kegaduhan. Proses pengadaan ini awalnya menjadi konsumsi publik karena mendapat kritik keras sebab helikopter ini dinilai berspesifikasi sama dengan EC725 Cougar (Super Puma) yang “dianggap” telah mampu diproduksi PT Dirgantara Indonesia.

Kontroversi lalu disusul pemberitaan Presiden Jokowi menolak pembelian heli VVIP seharga USD55 juta (Rp761 miliar) ini untuk menunjang tugasnya karena dianggap terlalu mahal.

Terdapat dua hal yang terus dengan sengaja dicampurbaurkan dalam pemberitaan tendensius terkait AW 101: Pertama, terkait heli VVIP untuk tugas kenegaraan Presiden. Kedua, terkait aspek pembelian heli sesuai daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dalam memenuhi tuntutan penyerapan anggaran dan tugas pokok TNI AU.

Terkait kegaduhan AW101 di Indonesia dan proses pengadaannya, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi:

Pertama, KASAU dalam hal pengadaan AW 101—bukan, tidak pernah dan tidak sedang—melawan perintah Presiden selaku panglima tertinggi, melainkan KASAU dengan peran tugasnya justru sedang berusaha memenuhi tuntutan terkait perpres, UU tentang pelaksanaan buku DIPA, dan penyerapan anggaran. Saat anggaran VVIP heli kembali ke TNI AU, untuk mengalihkan anggaran tersebut ke heli angkut KASAU bersurat pada semua institusi terlibat, baik Kabaranahan Kemhan, Mabes TNI, Depkeu, Sekab, maupun Setneg.

Ini dilakukan karena masing-masing matra juga memiliki anggaran yang dikelolanya sendiri sehingga yang paling mengetahui placement anggaran akan pemenuhan kebutuhannya adalah hanya matra terkait. Itu mengapa ketika Kemhan sekalipun berkeinginan membeli alutsista atau apa pun itu yang nanti akan didistribusikan ke masing-masing matra, Kemhan harus meminta spesifikasi ke angkatan masing-masing dan tidak dapat mengintervensi spesifikasi dan anggaran matra tersebut.

Kedua, AW 101 yang sedang dalam proses persiapan serah terima pada 2017 mendatang bukanlah heli VVIP yang diperuntukkan bagi Presiden, melainkan heli angkut pasukan, evakuasi bencana, dan medis TNI AU. Itu mengapa pengoperasian AW 101 bukan pada Skadron 45 (Skadron VVIP), melainkan oleh Skadron 6 di Lanud Atang Sanjaya, Kalijati, untuk segera menggantikan Puma yang masa pakainya tinggal dua tahun.

Ketiga, tidak pada tempatnya untuk membandingkan AW101 terhadap Puma Cougar (EC725). Dari segi bobot, AW 101 berbobot 16 ton, sedangkan Puma hanya 11 ton. Dari segi engine and endurance, AW101 ditopang tiga engine dengan endurance 900nm, sedangkan EC725 ditopang tiga engine dengan endurance 600nm sehingga sangat tidak fair jika dari perbedaan antara bobot, endurance and machine tersebut, kemudian Presiden dan masyarakat dipaksa membandingkannya semata dari segi harga.

Selain itu, patut dicatat bahwa dengan harga USD55 juta, setiap AW 101 telah mencakup suku cadang, peralatan kerja, pelatihan, paket pendidikan, dan sebagainya.

Keempat, sehebat-hebatnya manusia dan teknologi yang terlibat dalam industri pertahanan, industri ini bukanlah industri sulap dan abrakadabra. Artinya, ia memerlukan waktu untuk tumbuh, belajar, dan berkembang.

Di lain sisi, militer dari seluruh angkatan termasuk juga TNI AU sebagai pengguna dalam pemenuhan tuntutan tugas pokoknya juga jelas tidak dapat menunggu kesiapan terwujudnya kemampuan kemandirian industri pertahanan (indhan) tersebut. Inilah jawaban mengapa AW 101 menjadi pilihan KASAU yang juga sebagai Preskom PTDI sadar sangat akan kemampuan PTDI yang masih tertatih dan jelas tidak dapat ditunggu jika dihadapkan pada tuntutan tugas yang wajib dilaksanakan.

Patut diketahui oleh masyarakat bahwa dari dua unit EC725 yang telah diserahkan masing-masing ke TNI AU dan dua unit Dauphin AS355 ke Basarnas, hanya dua yang bisa beroperasi karena dua lainnya juga mengalami kebocoran pada gearbox sehingga sampai hari ini belum dapat dioperasikan. Jelas hal ini mengancam pemenuhan tugas pokok pengguna, baik TNI AU maupun Basarnas.

Selain terdapat pertimbangan terkait airbus/Eurocopter di mana hingga saat ini Super Puma masih di-grounded oleh EASA dan FAA, selain menjadi target investigasi oleh British Anti-Corruption Watchdog terkait penyogokan dan korupsi.

Kelima, indhan dan pembangunannya bukanlah hak prerogatif BUMN, tapi juga hak setiap perusahaan swasta yang tertarik dan mampu untuk dapat menjadi industri pertahanan. Mengapa swasta harus didorong dan difasilitasi untuk juga dapat tumbuh besar? Karena, swasta tidak memerlukan dana bantuan negara untuk mewujudkan industrinya.

Bandingkan misalnya dengan BUMN yang setiap gagal atau terkendala harus disusui oleh pemerintah. Dengan masuknya pihak swasta, baik BUMN maupun BUMNIS dapat bersaing dengan sehat dan bukan lagi saling mengejar proteksi negara atau melekat pada pejabat pengadaan, di mana dengan kebiasaan ini hanya akan menghasilkan immature defence industry.

Menurut SIPRI pada 2015 dan 2016 negara penggelontor anggaran pertahanan terbesar adalah Amerika, China, Rusia, Arab Saudi, dan Inggris. Sementara kontraktor terbesar dunia sebagai pemasok persenjataan adalah Leonardo Finmeccanica (USD14,56 miliar), EADS (USD16,39 miliar), Northrop Grumman (USD21,39 miliar), Raytheon (USD22,74 miliar), General Dynamics (USD23,76 miliar), BAE Systems (USD29,15 miliar), Boeing (USD31,83 miliar), dan Lockheed Martin (USD36,27 miliar).

***
Bisakah BUMN dan BUMNIS kita mengejar mereka? Tentu bisa dengan syarat negara memberikan keleluasaan yang besar pada end user untuk menentukan pilihannya berdasarkan kebutuhan operasi dan kajian teknis.

Pengembangan indhan perlu mempertimbangkan transparansi teknologi dan nilai tepat guna dari segi pertahanan. Karena itu, indhan harus memprioritaskan TNI sebagai konsumen utama karena dengan keterlibatan TNI dapat dihasilkan feedback system yang dapat menunjang perkembangan industri penerbangan baik militer dan nonmiliter yang dinamis.

Terkait hal ini, seharusnya terdapat transparansi dalam aspek local content dari EC725 yang diserahkan ke TNI AU, 11 Panther milik TNI AL, serta Dauphin AS365 milik Basarnas. Sehingga, pertanyaan apakah Eurocopter adalah hasil produksi ataukah hasil pembelian PT DI dapat terpapar dengan jelas. Bukankah Presiden serta rakyat negeri ini berhak mengetahui tentang kemandirian indhan dirgantara yang sesungguhnya?

Karena diperlukan proses identifikasi prioritas dalam pengadaan alutsista serta peningkatan profesionalisme indhan dalam segi produksi, distribusi, maupun pelayanan, end user harus memiliki kemandirian menentukan produk pilihannya (Sikorsky, Leonardo, Belltextron, Eurocopter, MI, dan sebagainya). Setelah itu, baru kemudian memilih BUMN dan BUMNIS mana yang mampu menangkap peluang berkolaborasi dengan manufaktur terkait sesuai kebutuhan pengembangan kekuatan dan teknologi heli yang diperlukan.

Jelaslah sangat, proses pengadaan alutsista yang memiliki objective pembangunan kekuatan dan kemandirian indhan harus dapat kita jaga dari jebakan persaingan raksasa indhan dunia di mana dengan sekadar jepretan paparazzi berujung menjadi ajang benturan kepentingan yang saling menjatuhkan antara komponen bangsa dan memecah belah persatuan.

Hanya dengan kesadaran tersebut, bangsa ini akan semakin mampu memperkuat kemampuan militer dan kemandirian indhannya dan yang terpenting, berarti membebaskan Presiden dan TNI tercinta kita dari perangkap permainan licin perang industri pertahanan dunia!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0593 seconds (0.1#10.140)