Rokok Ilegal, Sumber Baru Potensi Pendanaan Terorisme

Rabu, 21 Desember 2016 - 13:48 WIB
Rokok Ilegal, Sumber Baru Potensi Pendanaan Terorisme
Rokok Ilegal, Sumber Baru Potensi Pendanaan Terorisme
A A A
Kodrat Wibowo
Dosen dan Peneliti Senior CEDS-FEB Universitas Padjadjaran

FENOMENA aksi terorisme yang tetap marak belakangan ini, termasuk penangkapan teroris di sejumlah daerah akhir November lalu, juga kasus bom panci di Bekasi sangat menggelitik penulis, mengingatkan kita satu pertanyaan yang belum bisa terjawab tuntas: dari mana sajakah sumber pendanaan kegiatan terorisme?

Ada pergeseran pola pendanaan pada era jaringan terorisme Al-Qaeda sebelumnya ke jaringan ISIS saat ini. Sejumlah laporan dan analisis menyebut, sumber pendanaan kegiatan teror Al-Qaeda berasal dari transfer langsung ke eksekutor seperti peristiwa 9/11 dan bom Bali, ditengarai pula sumber dana utama adalah penjualan minyak ilegal, sementara pola ISIS sangat bervariasi, termasuk menggunakan dana pribadi.

Peristiwa Paris Attack membuktikan hal ini. Teroris yang terafiliasi ke jaringan ISIS ini terbukti ”hanya” mengeluarkan dana yang bisa dijangkau dengan kocek pribadi: USD10.000 atau sekitar Rp140 juta. Sementara aksi teror 9 September 2001 (911) sebagaimana dilaporkan Komisi 9/11 menghabiskan sedikitnya USD400.000 atau sekitar Rp5,2 miliar (NBCNews.com).

Paris Attack memberi sinyal bahwa sumber dana aksi teroris bisa berasal dari kejahatan kecil (petty crimes) sehingga sulit dilacak. Paris dan sejumlah kota di Eropa yang tak pernah lepas dari aksi-aksi teroris dikenal sebagai kota-kota yang menjadi pusat aktivitas perdagangan gelap, termasuk rokok ilegal.

Menurut penelitian terbaru KPMG, salah satu firma konsultan bisnis terbesar di dunia, Prancis adalah negara nomor satu di Eropa dalam perdagangan rokok ilegal, di mana terdapat 9 miliar batang rokok hasil selundupan pada 2014 (The Guardian, How to beat Islamic State? Crack down on cigarette smuggling).

Makin bervariasinya sumber pendanaan teroris ini sekaligus menjustifikasi kelahiran Resolution 2199 of the UN Security Council dan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 yang di Indonesia telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006.

Dalam skala global, selain pergeseran pola pendanaan, juga ada pergeseran sumber dana teroris, dari sektor migas dan opium, beralih ke narkoba dan rokok ilegal. Financial Action Task Force (FATF) memperkuat hal ini dengan merilis laporan bahwa uang hasil perdagangan rokok ilegal digunakan sebagai dana kejahatan terorganisasi, termasuk kelompok teroris.

Bagaimana dengan Indonesia? Bila ditilik secara teliti, kekhawatiran bahwa penyelundupan rokok ilegal digunakan untuk membiayai jaringan terorisme mulai menunjukkan tanda-tandanya. Ini bisa dilihat dari tingginya praktik perdagangan rokok ilegal termasuk penyelundupan di beberapa wilayah yang selama ini menjadi basis terorisme serta wilayah perbatasan.

Hasil investigasi Pusat Studi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang Survei Rokok Ilegal 2014 menemukan, kasus terbanyak dari praktik perdagangan rokok ilegal berada di Sulawesi Selatan dan tertinggi di Jawa Tengah. Hasil survei ini selaras dengan data yang dimiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebutkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah termasuk daerah rawan terorisme dan kelompok radikal di Indonesia.

Laporan terkini juga menyebutkan, September 2016 Dirjen Bea Cukai menggagalkan penyelundupan 5 juta batang rokok di Pelabuhan Makassar. Secara total sepanjang Januari—September 2016 ada 52 juta batang rokok yang diselundupkan di empat pelabuhan laut di Sulawesi dan ini setara dengan kerugian negara sebesar Rp11 miliar.

Bukti survei lapangan juga menunjukkan sampel rokok ilegal yang tersedia di masyarakat terus meningkat, dari 6,8% pada 2010 hingga 11,7% pada 2014. UGM memperkirakan, kerugian negara akibat pelanggaran pita cukai ini sekitar Rp612 miliar sampai Rp714 miliar atau sekitar 0,57%- 0,67% dari total penerimaan cukai rokok pada 2013.

Angka kerugian ini diperkirakan terus meningkat mengingat pemerintah beberapa kali melaksanakan optimalisasi pendapatan negara melalui kebijakan kenaikan cukai rokok guna mendukung target penerimaan pajak pemerintah selain kebijakan tax amnesty.

Fakta-fakta di atas, kendati belum didukung kajian empiris yang membuktikan korelasi langsung antara praktik perdagangan rokok ilegal dengan pendanaan teroris, patut menjadi perhatian pemerintah, khususnya institusi penegak hukum.

Adalah menjadi sebuah keharusan bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), BNPT, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, institusi di bawah Kemenko Polhukam dan Kemenko Ekonomi untuk bersinergi duduk bersama membahas dan mengantisipasi hal ini sejak dini. Pemangku kepentingan di Indonesia sebaiknya tidak terjebak pada isu konvensional seputar dampak rokok ilegal dalam tataran kesehatan, penerimaan negara/daerah, industri, serta perdagangan saja.

PPATK, yang diberi kewenangan untuk menerima, menganalisis, dan melaporkan hasil analisis Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme dan tindak pidana pencucian uang, dapat berkoordinasi dan sinergi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mendeteksi sejak dini alur pendanaan kelompok teroris yang selama ini beroperasi di Indonesia dan menjadi bagian dari jaringan global.

Deteksi ini bisa dimulai dari dua sumber pendanaan utama teroris, baik yang ilegal seperti kejahatan dunia maya (hacker) atau perampokan maupun legal seperti penyalahgunaan dana yayasan serta dana lembaga usaha bisnis/profit.

Seluruh pemangku kepentingan patut mengantisipasi upaya replikasi model pendanaan terorisme melalui perdagangan rokok ilegal di Tanah Air seperti terjadi dalam skala global. Sebab, fenomena, karakteristik, dan kondisi Paris Attack mulai dari motif, asal pendanaan, dan kondisi demografis sebagai pusat perdagangan gelap, termasuk di dalamnya rokok ilegal, senada dengan fenomena di Indonesia.

Belajar dari langkah otoritas keamanan Prancis yang jelas tidak mengantisipasi aspek perdagangan ilegal, Pemerintah RI dan seluruh pemangku kepentingan, dalam hal ini Bea Cukai, institusi di bawah Kemenko Polhukam dan Kemenko Ekonomi, Kementerian Keuangan, serta kepolisian, harus lebih giat melakukan pemberantasan rokok ilegal. Sangat mungkin praktik perdagangan rokok ilegal menjadi sumber pendanaan bagi teroris seperti Paris Attack. Terlebih gejala dan fenomenanya sudah sangat jelas.

Bila tak diantisipasi sejak dini, dikhawatirkan perdagangan rokok ilegal dijadikan sebagai sumber pendanaan jaringan teroris. Terlebih, di lapangan, celah bagi terjadi perdagangan rokok ilegal untuk pendanaan terorisme masih terbuka lebar.

Dari sisi tata niaga, ekspor tembakau belum diatur secara jelas serta masih sporadis dan sektoral. Kebijakan pajak dan cukai terkini khususnya cukai rokok juga cenderung mendorong terus peningkatan praktik perdagangan ilegal rokok.

Selain dampak kebijakan pajak dan cukai kepada aspek penerimaan negara, kesehatan masyarakat, ketenagakerjaan, industri, dan perdagangan, penulis juga berpikir bahwa concern dampak rokok ilegal terhadap kejahatan terorganisasi seperti terorisme akan signifikan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, setidaknya dari aspek politik dan keamanan negara. Bila bukan kita, siapa lagi. Bila tidak sekarang, kapan lagi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0829 seconds (0.1#10.140)
pixels