Makna Kembalinya Aleppo
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder, Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
PEMBUNUHAN Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrey Karlov, Senin 19 Desember 2016, sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa proses evakuasi yang tengah berlangsung di Aleppo Timur, Suriah akan terganggu. Rusia dan Turki dengan segera mengambil sikap yang konstruktif bahwa pembunuhan tersebut adalah tindakan teroris dan mencoba menganggu kerja sama yang dibangun antara Turki-Rusia-Iran dalam menyelesaikan krisis di Aleppo Timur.
Pembunuhan tersebut tampaknya justru akan semakin menguatkan kerja sama antara negara-negara yang selama ini dikenal saling bertolak belakang dalam kebijakan luar negeri terkait dengan Suriah. Minggu-minggu ke depan terutama saat masa lame duck di Amerika Serikat hingga pelantikan Donald Trump sebagai Presiden di Januari 2017, adalah masa yang kritis bagi penyelesaian masalah di Suriah dan wilayah lain yang saat ini sedang mengalami konflik.
Apabila para pihak di lapangan yang bertikai secara langsung dapat melakukan negosiasi dan menghasilkan keputusan yang dapat diterima semua pihak, kita bisa berharap masalah di Suriah dapat selesai sebelum Presiden baru Amerika Serikat memiliki pertimbangan lain yang dapat menimbulkan ketidakpastian baru di Suriah.
Masa lame duck di Amerika Serikat adalah masa ketika Presiden yang berkuasa saat ini, Barack Obama, sudah tidak dapat mengeluarkan keputusan yang bersifat strategis karena Presiden terpilih hasil pemilu, Donald Trump, belum mendapatkan mandat sampai nanti disumpah sebagai Presiden di Januari nanti. Artinya Presiden Obama tidak dapat mengeluarkan kebijakan terkait perkara politik luar negeri kecuali bila hal itu benar-benar menganggu kepentingan keamanan dan pertahanan dalam negeri Amerika Serikat.
Dalam masa itu, tampak terlihat, Amerika Serikat dan sekutunya, dijauhkan dalam perundingan yang melibatkan Rusia, Turki dan Iran. Bertemunya tiga negara ini adalah sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan, khususnya karena Iran dan Turki, sebagai dua negara yang mendukung langsung para pihak yang berperang di lapangan dan selalu saling menghujat di panggung diplomasi internasional.
Buah dari kerja sama tiga negara ini adalah dikuasainya kembali Aleppo Timur oleh Tentara Arab Suriah. Terdapat dua narasi yang berkembang terkait dengan situasi tersebut. Narasi pertama, pandangan yang menyatakan bahwa penguasaan kembali Aleppo Timur adalah tragedi kemanusiaan karena mengakibatkan korban yang tidak bersalah akibat serangan membabibuta pihak Pemerintah Suriah yang dibantu oleh Rusia dan Iran. Pandangan ini terutama disuarakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya di Barat termasuk PBB.
Narasi kedua, pandangan yang menyatakan sebaliknya bahwa kembalinya Aleppo Timur ke tangan Pemerintah Suriah telah menyelamatkan puluhan ribu orang yang selama ini dipenjara oleh kelompok Radikal seperti ISIS, Jabhat Fatah al-Sham, Al-Nusra Front dan beberapa kelompok radikal lainnya.
Saya tidak mengetahui narasi mana yang lebih mendekati kebenaran, namun saya menyakini bahwa sebuah perang terjadi karena buntunya sebuah perundingan dan sebaliknya, sukses dari perundingan adalah sebuah perdamaian. Hal ini sudah dibuktikan oleh perundingan antara kelompok pemberontak moderat dengan pemerintahan Suriah pada tanggal 15 Desember yang lalu yang saya sebut sementara ini sebagai Perundingan Aleppo.
Isi penting dari Perundingan Aleppo adalah diizinkannya penduduk sipil dan kelompok-kelompok pemberontak di Aleppo Timur yang saat ini terpojok untuk mengungsi ke Provinsi Idlib yang masih dikuasai oleh pemberontak. Sebaliknya, penduduk di Desa Foua and Kefraya yang beraliran Syiah di Provinsi Idlib juga diizinkan untuk mengungsi ke Aleppo atau wilayah lain yang aman. Pertukaran ini diperkirakan mengurangi korban jiwa dari penduduk sipil di Aleppo dan Provinsi Idlib karena mereka dapat berlindung di wilayah-wilayah yang lebih aman.
Secara politik dan militer, perundingan pertukaran ini telah melemahkan kekuatan kelompok radikal yang menolak berpartisipasi dalam perundingan tersebut. BBC, Senin 19 Desember 2016, melaporkan kelompok Jabhat Fatah al-Sham yang berafiliasi ke Nusra Front telah membakar bus-bus sebagai upaya menghambat pengungsian warga sipil. Perundingan pertukaran warga sipil dan pemberontak itu pun telah menyulut peperangan di antara kelompok pemberontak jihad Jabhat Fath al-Sham berhadapan dengan kelompok pemberontak moderat yaitu Islamist Ahrar al-Sham.
Dengan kata lain, perjanjian evakuasi ini dapat gagal sewaktu-waktu apabila kelompok radikal tetap terus melakukan sabotase dengan melalukan pembakaran dan penyerangan. Saat ini Turki mengatakan sudah lebih dari 20.000 orang yang terdiri atas kelompok pemberontak dan warga sipil telah tiba dengan selamat di Provinsi Idlib dan masih ada sekitar 30.000 orang lain yang menunggu untuk diungsikan. Sementara Utusan Khusus PBB Staffan de Mistura memperkirakan 50.000 orang di mana 10.000 di antaranya adalah pemberontak, terjebak di 4 dari 5 wilayah yang masih dikuasai kelompok pemberontak.
Perjanjian evakuasi antarpenduduk yang menyebabkan kembalinya Aleppo kepada Pemerintah Suriah memiliki dua implikasi diplomasi internasional. Pertama bahwa perundingan tiga negara, Rusia, Turki dan Iran dapat menjadi alternatif dari perundingan yang selama ini melibatkan negara-negara lain yang tidak berkepentingan langsung dengan stabilitas politik regional.
Banyak negara dan pihak justru membuat kepentingan para pihak yang bertikai menjadi tenggelam oleh kepentingan negara dan pihak-pihak lain. Akibatnya tidak ada jalan keluar yang dapat disepakati.
Arti penting kedua, perundingan tiga negara tersebut kemungkinan akan mengamputasi keterlibatan pihak-pihak yang tidak berkepentingan secara langsung terhadap perdamaian di Suriah. Meski demikian, pertemuan tiga negara ini, khususnya Iran dan Turki, jangan dianggap sebagai sudah adanya perdamaian di antara kedua negara.
Kedua negara masih memiliki sejumlah persoalan yang harus diselesaikan seperti kecurigaan Turki tentang kemampuan Iran membuat senjata nuklir, penolakan Iran atas pemasangan Radar Pemantau Senjata Balistik, posisi kedua negara yang masih bertolakbelakang dalam perang di Yaman, atau penolakan Iran atas intervensi Turki di Irak yaitu di Bashiqa, Utara Mosul. Saya berpendapat bahwa Kesepakatan Iran dan Turki di Aleppo hanyalah untuk kepentingan jangka pendek.
Arti penting terakhir dari jatuhnya Aleppo ke tangan pemerintah Suriah telah membuat kredibilitas Rusia semakin positif karena dapat memisahkan kelompok-kelompok pemberontak yang moderat dengan kelompok teroris seperti ISIS, Al-Nusra Front, Al-Qaeda, dan kelompok radikal lainnya.
Selama ini perundingan yang berjalan antara Rusia, Amerika Serikat, PBB, dan kelompok-kelompok lain gagal untuk memisahkan antara kelompok pemberontak yang moderat dengan kelompok yang radikal. Kegagalan itu mengakibatkan upaya mencapai perdamaian atau minimal untuk gencatan senjata agar bantuan kemanusiaan dapat tersalurkan tidak pernah terjadi.
Momen perdamaian yang mungkin hanya singkat ini harus perlu dijaga dan mungkin diperluas ke wilayah-wilayah lain di Suriah. Indonesia tidak memiliki kepentingan secara langsung baik politik maupun ekonomi di kawasan tersebut. Namun sebagai negara yang merdeka, kita harus tetap menyuarakan prinsip, penyelesaian kawasan harus tumbuh dari dalam wilayah kawasan itu sendiri dan tidak dicangkokkan oleh para pihak di luar yang mungkin memiliki kepentingan lain yang bertolakbelakang dengan kepentingan para pihak yang bertikai.
Oleh sebab itu, kita perlu terus menerus dan tanpa lelah mempromosikan perdamaian melalui cara-cara perundingan dan menghindari sejauh mungkin menggunakan kekerasan. Dengan demikian, perdamaian yang dicapai akan lebih stabil dan memiliki dampak positif di masa depan.
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder, Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
PEMBUNUHAN Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrey Karlov, Senin 19 Desember 2016, sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa proses evakuasi yang tengah berlangsung di Aleppo Timur, Suriah akan terganggu. Rusia dan Turki dengan segera mengambil sikap yang konstruktif bahwa pembunuhan tersebut adalah tindakan teroris dan mencoba menganggu kerja sama yang dibangun antara Turki-Rusia-Iran dalam menyelesaikan krisis di Aleppo Timur.
Pembunuhan tersebut tampaknya justru akan semakin menguatkan kerja sama antara negara-negara yang selama ini dikenal saling bertolak belakang dalam kebijakan luar negeri terkait dengan Suriah. Minggu-minggu ke depan terutama saat masa lame duck di Amerika Serikat hingga pelantikan Donald Trump sebagai Presiden di Januari 2017, adalah masa yang kritis bagi penyelesaian masalah di Suriah dan wilayah lain yang saat ini sedang mengalami konflik.
Apabila para pihak di lapangan yang bertikai secara langsung dapat melakukan negosiasi dan menghasilkan keputusan yang dapat diterima semua pihak, kita bisa berharap masalah di Suriah dapat selesai sebelum Presiden baru Amerika Serikat memiliki pertimbangan lain yang dapat menimbulkan ketidakpastian baru di Suriah.
Masa lame duck di Amerika Serikat adalah masa ketika Presiden yang berkuasa saat ini, Barack Obama, sudah tidak dapat mengeluarkan keputusan yang bersifat strategis karena Presiden terpilih hasil pemilu, Donald Trump, belum mendapatkan mandat sampai nanti disumpah sebagai Presiden di Januari nanti. Artinya Presiden Obama tidak dapat mengeluarkan kebijakan terkait perkara politik luar negeri kecuali bila hal itu benar-benar menganggu kepentingan keamanan dan pertahanan dalam negeri Amerika Serikat.
Dalam masa itu, tampak terlihat, Amerika Serikat dan sekutunya, dijauhkan dalam perundingan yang melibatkan Rusia, Turki dan Iran. Bertemunya tiga negara ini adalah sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan, khususnya karena Iran dan Turki, sebagai dua negara yang mendukung langsung para pihak yang berperang di lapangan dan selalu saling menghujat di panggung diplomasi internasional.
Buah dari kerja sama tiga negara ini adalah dikuasainya kembali Aleppo Timur oleh Tentara Arab Suriah. Terdapat dua narasi yang berkembang terkait dengan situasi tersebut. Narasi pertama, pandangan yang menyatakan bahwa penguasaan kembali Aleppo Timur adalah tragedi kemanusiaan karena mengakibatkan korban yang tidak bersalah akibat serangan membabibuta pihak Pemerintah Suriah yang dibantu oleh Rusia dan Iran. Pandangan ini terutama disuarakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya di Barat termasuk PBB.
Narasi kedua, pandangan yang menyatakan sebaliknya bahwa kembalinya Aleppo Timur ke tangan Pemerintah Suriah telah menyelamatkan puluhan ribu orang yang selama ini dipenjara oleh kelompok Radikal seperti ISIS, Jabhat Fatah al-Sham, Al-Nusra Front dan beberapa kelompok radikal lainnya.
Saya tidak mengetahui narasi mana yang lebih mendekati kebenaran, namun saya menyakini bahwa sebuah perang terjadi karena buntunya sebuah perundingan dan sebaliknya, sukses dari perundingan adalah sebuah perdamaian. Hal ini sudah dibuktikan oleh perundingan antara kelompok pemberontak moderat dengan pemerintahan Suriah pada tanggal 15 Desember yang lalu yang saya sebut sementara ini sebagai Perundingan Aleppo.
Isi penting dari Perundingan Aleppo adalah diizinkannya penduduk sipil dan kelompok-kelompok pemberontak di Aleppo Timur yang saat ini terpojok untuk mengungsi ke Provinsi Idlib yang masih dikuasai oleh pemberontak. Sebaliknya, penduduk di Desa Foua and Kefraya yang beraliran Syiah di Provinsi Idlib juga diizinkan untuk mengungsi ke Aleppo atau wilayah lain yang aman. Pertukaran ini diperkirakan mengurangi korban jiwa dari penduduk sipil di Aleppo dan Provinsi Idlib karena mereka dapat berlindung di wilayah-wilayah yang lebih aman.
Secara politik dan militer, perundingan pertukaran ini telah melemahkan kekuatan kelompok radikal yang menolak berpartisipasi dalam perundingan tersebut. BBC, Senin 19 Desember 2016, melaporkan kelompok Jabhat Fatah al-Sham yang berafiliasi ke Nusra Front telah membakar bus-bus sebagai upaya menghambat pengungsian warga sipil. Perundingan pertukaran warga sipil dan pemberontak itu pun telah menyulut peperangan di antara kelompok pemberontak jihad Jabhat Fath al-Sham berhadapan dengan kelompok pemberontak moderat yaitu Islamist Ahrar al-Sham.
Dengan kata lain, perjanjian evakuasi ini dapat gagal sewaktu-waktu apabila kelompok radikal tetap terus melakukan sabotase dengan melalukan pembakaran dan penyerangan. Saat ini Turki mengatakan sudah lebih dari 20.000 orang yang terdiri atas kelompok pemberontak dan warga sipil telah tiba dengan selamat di Provinsi Idlib dan masih ada sekitar 30.000 orang lain yang menunggu untuk diungsikan. Sementara Utusan Khusus PBB Staffan de Mistura memperkirakan 50.000 orang di mana 10.000 di antaranya adalah pemberontak, terjebak di 4 dari 5 wilayah yang masih dikuasai kelompok pemberontak.
Perjanjian evakuasi antarpenduduk yang menyebabkan kembalinya Aleppo kepada Pemerintah Suriah memiliki dua implikasi diplomasi internasional. Pertama bahwa perundingan tiga negara, Rusia, Turki dan Iran dapat menjadi alternatif dari perundingan yang selama ini melibatkan negara-negara lain yang tidak berkepentingan langsung dengan stabilitas politik regional.
Banyak negara dan pihak justru membuat kepentingan para pihak yang bertikai menjadi tenggelam oleh kepentingan negara dan pihak-pihak lain. Akibatnya tidak ada jalan keluar yang dapat disepakati.
Arti penting kedua, perundingan tiga negara tersebut kemungkinan akan mengamputasi keterlibatan pihak-pihak yang tidak berkepentingan secara langsung terhadap perdamaian di Suriah. Meski demikian, pertemuan tiga negara ini, khususnya Iran dan Turki, jangan dianggap sebagai sudah adanya perdamaian di antara kedua negara.
Kedua negara masih memiliki sejumlah persoalan yang harus diselesaikan seperti kecurigaan Turki tentang kemampuan Iran membuat senjata nuklir, penolakan Iran atas pemasangan Radar Pemantau Senjata Balistik, posisi kedua negara yang masih bertolakbelakang dalam perang di Yaman, atau penolakan Iran atas intervensi Turki di Irak yaitu di Bashiqa, Utara Mosul. Saya berpendapat bahwa Kesepakatan Iran dan Turki di Aleppo hanyalah untuk kepentingan jangka pendek.
Arti penting terakhir dari jatuhnya Aleppo ke tangan pemerintah Suriah telah membuat kredibilitas Rusia semakin positif karena dapat memisahkan kelompok-kelompok pemberontak yang moderat dengan kelompok teroris seperti ISIS, Al-Nusra Front, Al-Qaeda, dan kelompok radikal lainnya.
Selama ini perundingan yang berjalan antara Rusia, Amerika Serikat, PBB, dan kelompok-kelompok lain gagal untuk memisahkan antara kelompok pemberontak yang moderat dengan kelompok yang radikal. Kegagalan itu mengakibatkan upaya mencapai perdamaian atau minimal untuk gencatan senjata agar bantuan kemanusiaan dapat tersalurkan tidak pernah terjadi.
Momen perdamaian yang mungkin hanya singkat ini harus perlu dijaga dan mungkin diperluas ke wilayah-wilayah lain di Suriah. Indonesia tidak memiliki kepentingan secara langsung baik politik maupun ekonomi di kawasan tersebut. Namun sebagai negara yang merdeka, kita harus tetap menyuarakan prinsip, penyelesaian kawasan harus tumbuh dari dalam wilayah kawasan itu sendiri dan tidak dicangkokkan oleh para pihak di luar yang mungkin memiliki kepentingan lain yang bertolakbelakang dengan kepentingan para pihak yang bertikai.
Oleh sebab itu, kita perlu terus menerus dan tanpa lelah mempromosikan perdamaian melalui cara-cara perundingan dan menghindari sejauh mungkin menggunakan kekerasan. Dengan demikian, perdamaian yang dicapai akan lebih stabil dan memiliki dampak positif di masa depan.
(poe)