Tanggung Jawab Hakim
A
A
A
Prof Dr Sudjito SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
SIDANG pengadilan kasus penistaan agama oleh Ahok sudah digelar sejak Selasa, 13 Desember 2016, dan akan dilanjutkan hari ini.
Sorotan publik secara tajam mencermati pola pikir, sikap, dan perilaku majelis hakim yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk memeriksa, mengadili, dan memutus kasus tersebut.
Pada dimensi kebangsaan, kasus ini bukan persoalan individu seorang Ahok semata, tetapi telah menjadi kasus nasional, bahkan internasional. Terkait dengan substansi kasusnya, yakni penistaan agama, kasus ini bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga urusan ukhrawi.
Diliputi harap-harap cemas, suasana hati publik mempertanyakan, mampukah majelis hakim mewujudkan keadilan substantif atas kasus ini?
Kita paham bahwa hingga saat ini lembaga pengadilan–tempat para hakim menjalankan profesinya–bukanlah institusi yang berwenang dan berfungsi sebagai pencerah, pengarah, dan penuntun perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara menuju terwujudnya negara hukum substantif.
Wewenang dan fungsi konstitusional itu cenderung didominasi oleh lembaga politik. Lembaga pengadilan cenderung terkooptasi oleh lembaga politik. Sudah tentu banyak faktor bisa diajukan sebagai alasan sehingga konfigurasi hukum dan politik berkembang menjadi seperti itu antara lain pengaruh menguatnya liberalisasi politik di era reformasi; tergerusnya ideologi hukum, karakter kekeluargaan, dan nuansa komunalistik-religius; melemahnya konsistensi pengamalan Pancasila; kecenderungan taqlid kepada hukum warisan kolonial Belanda, yakni KUHP.
Sehubungan dengan tempat dan kedudukan lembaga pengadilan yang subordinated ”di bawah” lembaga politik, publik perlu dipahamkan pentingnya menghormati lembaga pengadilan dan/atau para hakim secara proporsional.
Dalam situasi normal, tanpa ada kasus hukum, biasanya politisi merasa lebih tinggi kedudukan, martabat, dan wewenangnya daripada semua hakim.
Pada situasi demikian, politisi dapat mengatur, membuat skenario, dan menentukan personalia lembaga pengadilan. Siapakah dapat diangkat sebagai hakim agung, atau siapakah dapat diangkat sebagai komisioner pada Komisi Yudisial, hingga saat ini masih didominasi oleh peran lembaga politik.
Dapat diduga peran politik itu dimainkan sedemikian rupa dalam rangka antisipasi bila saat tertentu para kader politiknya tersangkut kasus hukum, lembaga pengadilan melalui para aparatnya dapat direkayasa atau didayagunakan untuk membebaskannya dari jeratan hukum.
Dengan demikian, sebenarnya intervensi proses hukum oleh politisi telah terjadi sejak berlangsungnya seleksi, penunjukan, atau pengangkatan ”orang-orang penting” di dalam berbagai lembaga hukum: baik kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan sebagainya. Melalui ”orang-orang penting” itulah, lebih lanjut skenario peradilan dapat dimainkan, baik pada ranah substansi, prosedur, ataupun personalia yang akan mengoperasionalkan hukum.
Publik selalu berharap agar tidak ada intervensi hukum oleh Presiden, kepolisian, kejaksaan, dan majelis hakim dalam penegakan hukum. Sudah tentu pengharapan demikian wajar, lumrah, dan proporsional.
Persoalannya, sejak kapan intervensi hukum itu ditabukan atau dilarang? Apakah sebatas ketika sebuah kasus sudah dinyatakan sebagai kasus hukum, diselidiki, dan disidik kepolisian, ditangani kejaksaan, diadili oleh pengadilan saja? Dalam perspektif legal-positivistik, sebagaimana KUHP dan KUHAP, memang pelarangan intervensi hukum hanya berada pada ranah penegakan hukum seperti itu.
Intervensi hukum melalui aktivitas politik yang sudah berlangsung jauh hari tidak dapat dikategorikan sebagai intervensi hukum. Persoalannya menjadi lain bila sosiolog hukum digunakan sebagai perspektif. Persoalan subordinasi lembaga hukum terhadap lembaga politik dan segala dinamikanya justru memunculkan pertanyaan, benarkah pengadilan dan para hakimnya independen, netral, dan profesional?
Perlu diingat bahwa secara yuridis-normatif, hakim merupakan ”makhluk istimewa” karena dipandang steril, lepas dari afiliasi, dan pengaruh lingkungan. Namun, kajian sosiologi hukum menunjukkan bahwa acapkali hakim-hakim di Indonesia menjadi ”tawanan” undang-undang.
Benar, ada sejumlah hakim kesohor yang mampu melepaskan diri dari ”tawanan” undang-undang, tetapi sebagian besar justru merasa nyaman dan aman ketika bekerja atas dasar undang-undang semata; dan sebagian lainnya bekerja dalam tekanan kekuasaan politik.
Satjipto Rahardjo (1996) pernah membuat dua golongan hakim di Indonesia. Pertama, hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati-nuraninya atau mendengarkan putusan hati-nuraninya, dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut.
Kedua, hakim yang apabila memutus perkara, terlebih dulu ”berkonsultasi” dengan kepentingan perutnya, dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap ”putusan perutnya” itu.
Hakim tipe kedua ini umumnya suka melakukan tindakan tidak terpuji untuk memperkaya diri sendiri. Tudingan ada kolusi, kongkalikong, suap-menyuap, dagang perkara, mafia peradilan, dan kejahatan peradilan lain senantiasa tertuju kepada hakim tipe kedua itu.
Pada saat ”perut sudah kenyang”, tetapi iman sangat lemah, sementara tekanan kekuasaan dan kekuatan politik sedemikian tinggi, kiranya layak dimasuk golongan hakim ketiga, yakni hakim sebagai alat kekuasaan.
Hakim tipe ini telah kehilangan martabat dan watak kemanusiaannya, serta-merta berubah menjadi alat, mesin, program, yang berada dalam dominasi dan hegemoni kekuasaan politik. Dihadapkan pada supremasi politik, ”anomali” kekuasaan kehakiman dan kuatnya arus globalisasi, tanggung jawab hakim menjadi semakin berat.
Kecenderungan untuk terperangkap sebagai hakim tipe kedua atau ketiga sangat tinggi. Karena itu, publik perlu mengawal proses peradilan kasus penistaan agama oleh Ahok secara sungguh-sungguh agar proses peradilan berjalan fair sampai akhirnya majelis hakim mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
SIDANG pengadilan kasus penistaan agama oleh Ahok sudah digelar sejak Selasa, 13 Desember 2016, dan akan dilanjutkan hari ini.
Sorotan publik secara tajam mencermati pola pikir, sikap, dan perilaku majelis hakim yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk memeriksa, mengadili, dan memutus kasus tersebut.
Pada dimensi kebangsaan, kasus ini bukan persoalan individu seorang Ahok semata, tetapi telah menjadi kasus nasional, bahkan internasional. Terkait dengan substansi kasusnya, yakni penistaan agama, kasus ini bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga urusan ukhrawi.
Diliputi harap-harap cemas, suasana hati publik mempertanyakan, mampukah majelis hakim mewujudkan keadilan substantif atas kasus ini?
Kita paham bahwa hingga saat ini lembaga pengadilan–tempat para hakim menjalankan profesinya–bukanlah institusi yang berwenang dan berfungsi sebagai pencerah, pengarah, dan penuntun perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara menuju terwujudnya negara hukum substantif.
Wewenang dan fungsi konstitusional itu cenderung didominasi oleh lembaga politik. Lembaga pengadilan cenderung terkooptasi oleh lembaga politik. Sudah tentu banyak faktor bisa diajukan sebagai alasan sehingga konfigurasi hukum dan politik berkembang menjadi seperti itu antara lain pengaruh menguatnya liberalisasi politik di era reformasi; tergerusnya ideologi hukum, karakter kekeluargaan, dan nuansa komunalistik-religius; melemahnya konsistensi pengamalan Pancasila; kecenderungan taqlid kepada hukum warisan kolonial Belanda, yakni KUHP.
Sehubungan dengan tempat dan kedudukan lembaga pengadilan yang subordinated ”di bawah” lembaga politik, publik perlu dipahamkan pentingnya menghormati lembaga pengadilan dan/atau para hakim secara proporsional.
Dalam situasi normal, tanpa ada kasus hukum, biasanya politisi merasa lebih tinggi kedudukan, martabat, dan wewenangnya daripada semua hakim.
Pada situasi demikian, politisi dapat mengatur, membuat skenario, dan menentukan personalia lembaga pengadilan. Siapakah dapat diangkat sebagai hakim agung, atau siapakah dapat diangkat sebagai komisioner pada Komisi Yudisial, hingga saat ini masih didominasi oleh peran lembaga politik.
Dapat diduga peran politik itu dimainkan sedemikian rupa dalam rangka antisipasi bila saat tertentu para kader politiknya tersangkut kasus hukum, lembaga pengadilan melalui para aparatnya dapat direkayasa atau didayagunakan untuk membebaskannya dari jeratan hukum.
Dengan demikian, sebenarnya intervensi proses hukum oleh politisi telah terjadi sejak berlangsungnya seleksi, penunjukan, atau pengangkatan ”orang-orang penting” di dalam berbagai lembaga hukum: baik kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan sebagainya. Melalui ”orang-orang penting” itulah, lebih lanjut skenario peradilan dapat dimainkan, baik pada ranah substansi, prosedur, ataupun personalia yang akan mengoperasionalkan hukum.
Publik selalu berharap agar tidak ada intervensi hukum oleh Presiden, kepolisian, kejaksaan, dan majelis hakim dalam penegakan hukum. Sudah tentu pengharapan demikian wajar, lumrah, dan proporsional.
Persoalannya, sejak kapan intervensi hukum itu ditabukan atau dilarang? Apakah sebatas ketika sebuah kasus sudah dinyatakan sebagai kasus hukum, diselidiki, dan disidik kepolisian, ditangani kejaksaan, diadili oleh pengadilan saja? Dalam perspektif legal-positivistik, sebagaimana KUHP dan KUHAP, memang pelarangan intervensi hukum hanya berada pada ranah penegakan hukum seperti itu.
Intervensi hukum melalui aktivitas politik yang sudah berlangsung jauh hari tidak dapat dikategorikan sebagai intervensi hukum. Persoalannya menjadi lain bila sosiolog hukum digunakan sebagai perspektif. Persoalan subordinasi lembaga hukum terhadap lembaga politik dan segala dinamikanya justru memunculkan pertanyaan, benarkah pengadilan dan para hakimnya independen, netral, dan profesional?
Perlu diingat bahwa secara yuridis-normatif, hakim merupakan ”makhluk istimewa” karena dipandang steril, lepas dari afiliasi, dan pengaruh lingkungan. Namun, kajian sosiologi hukum menunjukkan bahwa acapkali hakim-hakim di Indonesia menjadi ”tawanan” undang-undang.
Benar, ada sejumlah hakim kesohor yang mampu melepaskan diri dari ”tawanan” undang-undang, tetapi sebagian besar justru merasa nyaman dan aman ketika bekerja atas dasar undang-undang semata; dan sebagian lainnya bekerja dalam tekanan kekuasaan politik.
Satjipto Rahardjo (1996) pernah membuat dua golongan hakim di Indonesia. Pertama, hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati-nuraninya atau mendengarkan putusan hati-nuraninya, dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut.
Kedua, hakim yang apabila memutus perkara, terlebih dulu ”berkonsultasi” dengan kepentingan perutnya, dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap ”putusan perutnya” itu.
Hakim tipe kedua ini umumnya suka melakukan tindakan tidak terpuji untuk memperkaya diri sendiri. Tudingan ada kolusi, kongkalikong, suap-menyuap, dagang perkara, mafia peradilan, dan kejahatan peradilan lain senantiasa tertuju kepada hakim tipe kedua itu.
Pada saat ”perut sudah kenyang”, tetapi iman sangat lemah, sementara tekanan kekuasaan dan kekuatan politik sedemikian tinggi, kiranya layak dimasuk golongan hakim ketiga, yakni hakim sebagai alat kekuasaan.
Hakim tipe ini telah kehilangan martabat dan watak kemanusiaannya, serta-merta berubah menjadi alat, mesin, program, yang berada dalam dominasi dan hegemoni kekuasaan politik. Dihadapkan pada supremasi politik, ”anomali” kekuasaan kehakiman dan kuatnya arus globalisasi, tanggung jawab hakim menjadi semakin berat.
Kecenderungan untuk terperangkap sebagai hakim tipe kedua atau ketiga sangat tinggi. Karena itu, publik perlu mengawal proses peradilan kasus penistaan agama oleh Ahok secara sungguh-sungguh agar proses peradilan berjalan fair sampai akhirnya majelis hakim mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Wallahualam.
(dam)