Butuh Mitra Kuat untuk Memajukan Pedagang Kelontong
A
A
A
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan
(@Rhenald_Kasali)
SAYA merasa senang melihat geliat semangat dan kegigihan UMKM, namun kadang juga sedih. Senang karena bisa bertemu inang-inang yang menjual bumbu masak khas Batak yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga S2 di luar negeri, atau pedagang batik yang anak-anaknya menjadi mahasiswa saya di Universitas Indonesia (UI).
Mereka hebat, tahan banting, bahkan mengaku tak pernah sakit. Kalaupun sakit mereka mengaku amat cepat sembuh kembali. Maklum, sewa kiosnya dihitung harian, dan kalau sehari saja tutup, bukan saja dapur bisa tidak ngepul, tetapi pelanggan bisa pindah ke orang lain. Mereka sadar betul tentang kesehatan lahir batin. Makanya mereka selalu ceria dan berpikir positif.
Sedihnya kalau bertemu di pameran usaha mikro dan UMKM, kok mengapa saya harus ketemu mereka lagi? Mestinya mereka sudah tidak di sini, tetapi sudah menjadi pengusaha kelas menengah atau besar. Bukankah sebagian besar pengusaha besar kita dulunya juga banyak yang mulai dari lapak di kaki lima? Banyak yang kini sudah naik kelas.
Saya jadi bertanya-tanya, apa yang membuat mereka sulit naik kelas dari pengusaha skala menengah ke pengusaha besar? Begitu pula ke lapis bawahnya, apa yang membuat mereka sulit naik kelas dari pengusaha kecil ke menengah, atau usaha mikro ke usaha kecil?
Tapi baiklah saya ajak Anda melihat bagaimana BUMN menjalankan misi, bukan saja bisnis tetapi juga membangun kemandirian UMKM. Ini menjadi penting karena bank-bank besar swasta dan asing umumnya lebih tertarik dengan nasabah korporat dan prioritas di kota-kota ‘’gemuk’’ seperti Jakarta, Surabaya dan Medan.
Saatnya Mengajarkan Kemandirian
Dalam ilmu manajemen, rasanya sudah sering kita membahas perusahaan-perusahaan asing seperti Kodak, Toyota, General Electric (GE), Nokia, Apple dan Google. Juga sudah biasa kita angkat pengusaha lokal bermerk seperti Sido Muncul dan Mustika Ratu. Kali ini saya ajak Anda berkenalan dengan ibu Hamsinah, pemilik toko kelontong dan alat- alat pancing di kawasan kampung nelayan di Jayapura, Papua.
Bukannya apa-apa, kita baru saja punya bank BUMN yang dihubungkan meggunakan teknologi satelit. Jadi saya ingin tahu apa manfaatnya bagi rakyat kecil.
Sebagai pedagang kelontong, omzet Hamsinah biasanya mencapai Rp10 juta per bulan. Lumayan. Namun, bank BUMN kita, BRI tak ingin menjadikan dia sekadar nasabah. Maka jadilah Hamsinah agen BRILink.
Di sini Hamsinah belajar sedikit soal teknologi yang amat sederhana. Namun di balik alat yang sederhana itu ada elemen teknologi yang rumit dan padat modal. Ini tentu butuh kerja keras dan kewirausahaan tingkat tinggi.
Di luar dugaan, berkat teknologi dan pendekatan ini, bisnis Hamsinah mengalami lompatan. Omzetnya naik 70% menjadi Rp17 juta per bulan. Luar biasa, bukan?
Saya ajak Anda berkenalan lagi dengan pengusaha skala UMKM lainnya. Kali ini seorang bapak, namanya Dinar. Bisnisnya menjual pulsa selular, di Cipondoh, Tangerang. Semula omzet bisnis Dinar hanya Rp2 juta per bulan. Semenjak menjadi agen BRILink, kini omzetnya menjadi Rp8 juta, atau tumbuh 300%!
Saya punya beberapa contoh lagi dari sejumlah pengusaha UMKM yang omzetnya meningkat setelah menjadi agen BRILink. Misalnya, ada Sutarno, pengelola toko kelontong di Atambua, daerah yang berbatasan dengan Timor Leste, yangomzetnya naik lebih dari 30%.
Lalu ada UD Farma, berdagang sembako, di Desa Kuala Bangka, Medan, yang bisnisnya tumbuh hingga 130%. Juga, UD Bagus Prima di Gubeng, Surabaya, yang omzetnya melonjak 150%. Dan, masih ada puluhan ribu pengusaha UMKM lainnya yang kalau melihat omzetnya terbukti berhasil naik kelas.
Archipelago Butuh Teknologi
Anda tahu kita hidup di atas dua keunikan besar dunia: di atas cincin api (volcano) dan sekaligus archipelago terpanjang dan terbanyak di dunia. Saingan kita cuma Jepang dan Filipina, tapi itu jauhlah. Jauh lebih sedikit.
Karena itu wajar, negeri ini butuh sentuhan teknologi satelit, bukan cuma pesawat dan kapal laut saja. Untuk Anda ketahui, BRILink adalah produk bank BUMN kita. Bankir-bankir asing yang mengajak saya diskusi mengaku tak akan mampu turun sejauh itu. Mereka sering minta advice karena tahu potensi bisnisnya besar akibat dari volumenya.
Tapi untuk turun sampai ke pelosok-pelosok di bawah, menemui nasabah ‘’gurem’’ itu bagi mereka too costly. Tapi BRI sudah mulai dari puluhan tahun lalu, saat teknologi belum dikenal. Kini, melalui satelit, bank ini mampu merekrut nasabah-nasabahnya yang tersebar di berbagai pelosok daerah untuk menjadi agen-agen dari bank tersebut.
Sang agen ini—entah dia pedagang kelontong, penjual pulsa atau sembako—sambil tetap mengelola bisnisnya, bisa memberikan layanan perbankan ke masyarakat sekitarnya secara real time dan online. Konsep bisnisnya adalah sharing fee.
Agen ini bisa memberikan layanan tarik tunai, menerima dana tabungan dari masyarakat atau menyalurkan kredit skala kecil. Juga, ada jasa berbagai pembayaran, seperti tagihan telepon, PLN, kartu kredit, berbagai cicilan dan bahkan pembelian tiket pesawat.
Selain mesin EDC, melalui aplikasi T-Bank, agen-agen tadi juga menyediakan layanan keuangan digital atau uang elektronik. Untuk bisa memperoleh layanan keuangan ini, masyarakat cukup mendaftarkan nomor ponselnya yang akan menjadi nomor rekening tabungan.
Jadi, bagi yang ingin menabung, mereka tak perlu repot-repot datang ke bank. Itulah “bisnis sampingan” yang dikelola oleh para pengusaha UMKM. Hasilnya?
Anda bisa lihat sendiri, bukan? Omzet mereka meningkat jauh di atas sebelumnya. Bagi saya, hanya tinggal soal waktu bagi para pengusaha UMKM tadi untuk naik kelas.
Sejumlah potret tadi, menurut saya, sekaligus menepis anggapan soal betapa sulitnya pengusaha UMKM kita untuk naik kelas. Memang tidak mudah, dan tidak pernah mudah. Tapi, ada jalannya.
Saya berharap dari mereka-merekalah, lahir pengusaha kelas menengah dan besar yang mandiri. Bukan yang cuma besar karena mampu menggerogoti APBN dengan menjadi mafia tender APBD. Masa itu harusnya sudah kita lewati dan berganti dengan mereka yang kuat karena spirit kewirausahan, kegigihan dan tentu saja didukung partner yang hebat.
Setelah itu mereka baru mendatangkan konsultan manajemen, apalagi kalau anak-anak sudah lulus sekolah dan mau ikut mengelola perusahaan. Itu pasti baik bagi perekonomian kita. Mereka inilah yang sulit digempur kekuatan disruption yang menjadi fenomena besar tahun depan.
Pendiri Rumah Perubahan
(@Rhenald_Kasali)
SAYA merasa senang melihat geliat semangat dan kegigihan UMKM, namun kadang juga sedih. Senang karena bisa bertemu inang-inang yang menjual bumbu masak khas Batak yang berhasil menyekolahkan anaknya hingga S2 di luar negeri, atau pedagang batik yang anak-anaknya menjadi mahasiswa saya di Universitas Indonesia (UI).
Mereka hebat, tahan banting, bahkan mengaku tak pernah sakit. Kalaupun sakit mereka mengaku amat cepat sembuh kembali. Maklum, sewa kiosnya dihitung harian, dan kalau sehari saja tutup, bukan saja dapur bisa tidak ngepul, tetapi pelanggan bisa pindah ke orang lain. Mereka sadar betul tentang kesehatan lahir batin. Makanya mereka selalu ceria dan berpikir positif.
Sedihnya kalau bertemu di pameran usaha mikro dan UMKM, kok mengapa saya harus ketemu mereka lagi? Mestinya mereka sudah tidak di sini, tetapi sudah menjadi pengusaha kelas menengah atau besar. Bukankah sebagian besar pengusaha besar kita dulunya juga banyak yang mulai dari lapak di kaki lima? Banyak yang kini sudah naik kelas.
Saya jadi bertanya-tanya, apa yang membuat mereka sulit naik kelas dari pengusaha skala menengah ke pengusaha besar? Begitu pula ke lapis bawahnya, apa yang membuat mereka sulit naik kelas dari pengusaha kecil ke menengah, atau usaha mikro ke usaha kecil?
Tapi baiklah saya ajak Anda melihat bagaimana BUMN menjalankan misi, bukan saja bisnis tetapi juga membangun kemandirian UMKM. Ini menjadi penting karena bank-bank besar swasta dan asing umumnya lebih tertarik dengan nasabah korporat dan prioritas di kota-kota ‘’gemuk’’ seperti Jakarta, Surabaya dan Medan.
Saatnya Mengajarkan Kemandirian
Dalam ilmu manajemen, rasanya sudah sering kita membahas perusahaan-perusahaan asing seperti Kodak, Toyota, General Electric (GE), Nokia, Apple dan Google. Juga sudah biasa kita angkat pengusaha lokal bermerk seperti Sido Muncul dan Mustika Ratu. Kali ini saya ajak Anda berkenalan dengan ibu Hamsinah, pemilik toko kelontong dan alat- alat pancing di kawasan kampung nelayan di Jayapura, Papua.
Bukannya apa-apa, kita baru saja punya bank BUMN yang dihubungkan meggunakan teknologi satelit. Jadi saya ingin tahu apa manfaatnya bagi rakyat kecil.
Sebagai pedagang kelontong, omzet Hamsinah biasanya mencapai Rp10 juta per bulan. Lumayan. Namun, bank BUMN kita, BRI tak ingin menjadikan dia sekadar nasabah. Maka jadilah Hamsinah agen BRILink.
Di sini Hamsinah belajar sedikit soal teknologi yang amat sederhana. Namun di balik alat yang sederhana itu ada elemen teknologi yang rumit dan padat modal. Ini tentu butuh kerja keras dan kewirausahaan tingkat tinggi.
Di luar dugaan, berkat teknologi dan pendekatan ini, bisnis Hamsinah mengalami lompatan. Omzetnya naik 70% menjadi Rp17 juta per bulan. Luar biasa, bukan?
Saya ajak Anda berkenalan lagi dengan pengusaha skala UMKM lainnya. Kali ini seorang bapak, namanya Dinar. Bisnisnya menjual pulsa selular, di Cipondoh, Tangerang. Semula omzet bisnis Dinar hanya Rp2 juta per bulan. Semenjak menjadi agen BRILink, kini omzetnya menjadi Rp8 juta, atau tumbuh 300%!
Saya punya beberapa contoh lagi dari sejumlah pengusaha UMKM yang omzetnya meningkat setelah menjadi agen BRILink. Misalnya, ada Sutarno, pengelola toko kelontong di Atambua, daerah yang berbatasan dengan Timor Leste, yangomzetnya naik lebih dari 30%.
Lalu ada UD Farma, berdagang sembako, di Desa Kuala Bangka, Medan, yang bisnisnya tumbuh hingga 130%. Juga, UD Bagus Prima di Gubeng, Surabaya, yang omzetnya melonjak 150%. Dan, masih ada puluhan ribu pengusaha UMKM lainnya yang kalau melihat omzetnya terbukti berhasil naik kelas.
Archipelago Butuh Teknologi
Anda tahu kita hidup di atas dua keunikan besar dunia: di atas cincin api (volcano) dan sekaligus archipelago terpanjang dan terbanyak di dunia. Saingan kita cuma Jepang dan Filipina, tapi itu jauhlah. Jauh lebih sedikit.
Karena itu wajar, negeri ini butuh sentuhan teknologi satelit, bukan cuma pesawat dan kapal laut saja. Untuk Anda ketahui, BRILink adalah produk bank BUMN kita. Bankir-bankir asing yang mengajak saya diskusi mengaku tak akan mampu turun sejauh itu. Mereka sering minta advice karena tahu potensi bisnisnya besar akibat dari volumenya.
Tapi untuk turun sampai ke pelosok-pelosok di bawah, menemui nasabah ‘’gurem’’ itu bagi mereka too costly. Tapi BRI sudah mulai dari puluhan tahun lalu, saat teknologi belum dikenal. Kini, melalui satelit, bank ini mampu merekrut nasabah-nasabahnya yang tersebar di berbagai pelosok daerah untuk menjadi agen-agen dari bank tersebut.
Sang agen ini—entah dia pedagang kelontong, penjual pulsa atau sembako—sambil tetap mengelola bisnisnya, bisa memberikan layanan perbankan ke masyarakat sekitarnya secara real time dan online. Konsep bisnisnya adalah sharing fee.
Agen ini bisa memberikan layanan tarik tunai, menerima dana tabungan dari masyarakat atau menyalurkan kredit skala kecil. Juga, ada jasa berbagai pembayaran, seperti tagihan telepon, PLN, kartu kredit, berbagai cicilan dan bahkan pembelian tiket pesawat.
Selain mesin EDC, melalui aplikasi T-Bank, agen-agen tadi juga menyediakan layanan keuangan digital atau uang elektronik. Untuk bisa memperoleh layanan keuangan ini, masyarakat cukup mendaftarkan nomor ponselnya yang akan menjadi nomor rekening tabungan.
Jadi, bagi yang ingin menabung, mereka tak perlu repot-repot datang ke bank. Itulah “bisnis sampingan” yang dikelola oleh para pengusaha UMKM. Hasilnya?
Anda bisa lihat sendiri, bukan? Omzet mereka meningkat jauh di atas sebelumnya. Bagi saya, hanya tinggal soal waktu bagi para pengusaha UMKM tadi untuk naik kelas.
Sejumlah potret tadi, menurut saya, sekaligus menepis anggapan soal betapa sulitnya pengusaha UMKM kita untuk naik kelas. Memang tidak mudah, dan tidak pernah mudah. Tapi, ada jalannya.
Saya berharap dari mereka-merekalah, lahir pengusaha kelas menengah dan besar yang mandiri. Bukan yang cuma besar karena mampu menggerogoti APBN dengan menjadi mafia tender APBD. Masa itu harusnya sudah kita lewati dan berganti dengan mereka yang kuat karena spirit kewirausahan, kegigihan dan tentu saja didukung partner yang hebat.
Setelah itu mereka baru mendatangkan konsultan manajemen, apalagi kalau anak-anak sudah lulus sekolah dan mau ikut mengelola perusahaan. Itu pasti baik bagi perekonomian kita. Mereka inilah yang sulit digempur kekuatan disruption yang menjadi fenomena besar tahun depan.
(poe)