Gempa Aceh dan Solidaritas

Rabu, 14 Desember 2016 - 12:53 WIB
Gempa Aceh dan Solidaritas
Gempa Aceh dan Solidaritas
A A A
M Nasir Djamil
Anggota DPR RI Daerah Pemilihan Aceh

RABU, 7 Desember 2016 lalu, menjelang matahari menyibak gelapnya malam, menjadi tragedi kelam bagi masyarakat yang berdomisili di Pidie Jaya dan Samalanga. Kedua daerah itu terletak di Aceh.

Gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter telah merusak mimpi indah dan merobohkan tiang, dinding, dan atap rumah; toko, masjid, pesantren, bangunan sekolah serta meretakkan jalan yang sehari-hari mereka lintasi. Saya yang saat terjadi gempa sedang berada di Banda Aceh juga terbangun saat azan subuh mengumandang dan merasakan guncangan beberapa menit.

Selang dua hari, Presiden Joko Widodo pun cepat tanggap dan hadir di sana bersama sejumlah menteri. Di hari kejadian, saya pun hadir di sana dan melihat warga yang dirawat serta bangunan yang roboh.

Kini, hampir sepekan setelah gempa, publik disuguhi data di mana ratusan kehilangan nyawa, luka berat dan ringan. Ribuan jiwa menjadi pengungsi dan kehilangan tempat tinggal. Mereka kini menanti asa dan ingin hidup normal kembali. Trauma gempa susulan dan tsunami sebagaimana pada 2014 seakan-akan kembali dalam ingatan mereka.

Aceh memang akrab dengan potensi gempa. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, Pidie Jaya atau Aceh secara keseluruhan,sejak dahulu memang sudah masuk dalam zona merah gempa. Di ujung barat Indonesia ini tersebar sejumlah sesar aktif, baik di daratan maupun lautan.

Di daratan, tercatat ada segmen sesar aktif seperti segmen Aceh, Seulimeum, dan Tripa. Tak cuma itu, tercatat juga ada sesar Lhokseumawe serta sesar Samalanga dan Sipopoh yang kini mendera Pidie Jaya.

Lalu di dasar laut, Aceh menjadi kawasan seismik aktif yang kompleks. Sebabnya ada aktivitas subduksi lempeng di Samudra Hindia dan sistem sesar Sumatera (Sumatra Fault Zone) yang berada di daratan.

Namun Aceh tidak sendiri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat risiko gempa akan dialami sekitar 148 juta orang Indonesia yang tersebar membujur dari Aceh hingga Papua. Bahkan Badan Dunia untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR) menahbiskan Indonesia sebagai negara dengan risiko dan dampak bencana alam tertinggi di dunia.

Bencana alam mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor hingga kekeringan dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia.

Seperti diketahui, ancaman bahaya alam merupakan proses atau fenomena alam yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa, cedera atau dampak-dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda, hilangnya penghidupan dan ekonomi atau kerusakan lingkungan. Meski bencana alam terjadi silih berganti, kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana berikutnya yang mungkin akan kembali terjadi masih harus terus dipertanyakan.

Mitigasi Bencana
Seperti diketahui, UNESCO pernah memuji Indonesia lantaran Indonesia sudah mengembangkan mitigasi bencana dengan sistem peringatan dini tsunami terbaik di dunia. Sejak kejadian tsunami 2004, sangat disayangkan dalam beberapa kejadian sistem itu tak bekerja dengan baik. Masih banyak kelemahan, terutama mengenai soal kesiapan manusia dan dimensi sosial budaya meski harus diakui kemajuan infrastruktur telah dibuat.

Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia mulai dibangun pertengahan 2005, lalu diresmikan pada 2008 dengan nama Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS). Sistem itu dibangun pemerintah dengan melibatkan 18 institusi, didukung secara finansial dan teknologi oleh lima negara donor, yakni Jerman, Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, dan Prancis.

Begitu ada gempa, ratusan seismograf BMKG diharapkan segera menentukan lokasi dan kekuatannya. Jika analisis mengendus gempa memenuhi kriteria tsunami (lokasi di laut, kedalaman kurang dari 70 km, dan kekuatan lebih dari M7), peringatan tsunami segera dikirim ke sejumlah instansi antara (interface) seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), polisi, dan militer, termasuk media massa. Informasi juga akan dikirim ke operator sirene tsunami di sejumlah pesisir.

Peringatan itu lalu divalidasi sensor di lautan (buoy) dan pantai (tide gauge), apakah tsunami benar terjadi atau tidak? Beberapa uji coba sukses, tetapi itu hanya teori.

Sistem itu seolah lumpuh saat gempa bermagnitudo 8,5 SR mengguncang Samudra Hindia pada 11 April 2012. Sirene tsunami membisu, baik karena listrik padam maupun petugas meninggalkan pos. Kepanikan melanda. Kemacetan terjadi di jalanan, mulai dari Aceh, Padang hingga Bengkulu.

BMKG memang cepat mendeteksi gempa itu. Namun diseminasi informasi ke masyarakat bermasalah. Beruntung saat itu tak terjadi tsunami.

Solidaritas Inklusif
Namun ada satu hikmah di saat potensi bencana begitu kuat menghantui warga Aceh. Potensi itu adalah budaya kebersamaan yang erat. Banyak warga saling menolong meski mereka juga korban gempa.

Budaya positif seperti itu pun terus terjaga, bahkan menular secara meluas ke beberapa wilayah di Indonesia. Maka tak mengherankan jika dalam sepekan ke depan ditemukan sejumlah kegiatan sosial yang mengatasnamakan bantuan kemanusiaan untuk korban gempa di Aceh.

Kini ada ribuan relawan yang lintas suku, agama dan profesi plus TNI dan Polri hadir mendirikan posko-posko untuk meringankan beban pemerintah dan masyarakat korban gempa. Solidaritas kemanusiaan didistribusikan tanpa mengenal lelah.

Enam langkah
Untuk mengurangi risiko tersebut, ada enam langkah yang harus ditempuh. Pertama, memaksimalkan sistem peringatan dini yang terdiri atas empat elemen kunci: pengetahuan tentang risiko, pemantauan, analisis dan deteksi ancaman bahaya berupa komunikasi atau penyebaran pesan siaga serta peringatan dan kemampuan masyarakat setempat untuk merespons peringatan yang diterima.

Kedua, reformulasi aturan mendirikan bangunan. Diperlukan aturan-aturan mendirikan bangunan yang mencakup standar-standar teknis yang harus memasukan sejumlah pembelajaran dari pengalaman internasional dan disesuaikan dengan situasi nasional dan daerah. Pemerintah juga dapat menginisiasi lahirnya regulasi yang mengatur pemberian insentif dan subsidi khusus bagi warga yang akan membangun rumahnya dengan konstruksi tahan gempa.

Ketiga, pengurangan degradasi lingkungan. Menurunnya kapasitas lingkungan kerap kali menjadi faktor kerentanan masyarakat dalam menghadapi intensitas ancaman bahaya alam. Sejumlah degradasi lingkungan justru disebabkan ulah manusia, di antaranya penyalahgunaan lahan, erosi, penggundulan hutan, menipisnya ozon dan sebagainya.

Keempat, pembangunan fasilitas-fasilitas penting. Diperlukan pembangunan fasilitas-fasilitas penting dan operasional yang dapat menunjang kebutuhan masyarakat yang rentan bencana alam. Termasuk dalam fasilitas-fasilitas ini adalah sistem transportasi, pelabuhan udara dan laut, listrik, air dan sistem komunikasi, rumah sakit dan klinik kesehatan, pemadam kebakaran, polisi dan layanan administrasi publik. Selain itu diperlukan upaya peremajaan atas fasilitas-fasilitas tersebut agar lebih tanggap dan tangguh terhadap dampak-dampak merusak yang ditimbulkan ancaman bencana.

Kelima, peningkatan kapasitas dan kesadaran publik. Kapasitas individu dan masyarakat untuk bertahan memerlukan kesadaran terus menerus sehingga kapasitas bertahan berperan dalam pengurangan risiko bencana.

Selain itu tingkat pengetahuan masyarakat tentang risiko dan faktor bencana merupakan salah satu faktor utama dalam pengurangan risiko bencana yang efektif. Model ini dapat dikembangkan melalui media dan saluran pendidikan serta pembentukan pusat-pusat informasi.

Keenam, reviu perencanaan tata guna lahan. Diperlukan upaya untuk mengevaluasi dan memutuskan pola pemanfaatan lahan dalam jangka panjang. Perencanaan tata guna lahan berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan.

Perencanaan tata guna lahan dapat membantu meredam bencana dan mengurangi risiko dengan cara menghambat permukiman dan pembangunan instalasi-instalasi kunci di wilayah-wilayah yang rawan ancaman bahaya, termasuk pertimbangan-pertimbangan tentang rute-rute layanan pengangkutan, listrik, air, saluran limbah dan fasilitas- fasilitas penting lain.

Mudah-mudahan masa tanggap darurat yang akan berlangsung sampai 20 Desember diharapkan mampu mengeluarkan korban gempa dari “darurat gempa” dan meyakinkan mereka bahwa negara dan pemerintah hadir untuk menormalkan dan meningkatkan kualitas kehidupan mereka sehingga menjadi masyarakat yang sadar dan tanggap bencana.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9538 seconds (0.1#10.140)