Makar di Lorong Konstitusi
A
A
A
Margarito Kamis
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
KALA malam perlahan menghilang dan subuh nan lembut hendak mengantarkan kepergiannya, Kivlan Zein, mayor jenderal (pur) TNI AD, di rumahnya di Kawasan Kelapa Gading kedatangan tamu, tentu tak diundang. Setelah memperlihatkan surat perintah penggeledahan, Pak Kivlan pun mengetahui beliau disangka akan melakukan makar.
Rumahnya pun digeledah oleh tamu, yang tak lain adalah penyidik. Dan, seiring merekahnya fajar, Pak Kivlan dibawa ke Markas Komado (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Pak Kivlan ternyata tak sendirian. Ada Ibu Rachmawati, putri Bung Karno, proklamator kita, yang harum kenegarawanannya mendunia, juga Ibu Ratna, dan Pak Bintang Pamungkas, serta lainnya di pagi nan berawan lembut itu. Seperti Pak Kivlan, mereka juga disangka makar. Mereka pun dibawa ke Mako Brimob dan diperiksa. Akhirnya, sebagian ditetapkan menjadi tersangka dan beberapa di antaranya ditahan.
Titian Sejarah
Makar, harus diakui dihinakan oleh konstitusionalisme, sebuah paham bernegara yang dalam eksistensinya di Barat, memikat dan memukau sejumlah kalangan. Paham ini mengagungkan hukum, tentu bukan hukum khas para tiran, "semau gue", melainkan hukum yang sifat dan hakikatnya merupakan pantulan murni akal budi bersama.
Paham ini, seperti diakui Harold J Berman, penulis Law and Revolution, berutang nilai intrinsiknya pada hukum alam. Tetapi, titian sejarah yang dilaluinya memberitahukan betapa eksistensinya diusahakan, bukan oleh para filosof, ilmuwan bermoral tinggi, berhati mulia, melainkan para pedagang, yang getaran nafasnya berwarna untung-rugi. Mereka ini, begitulah kata Daron Acemoglu di Inggris misalnya, sangat sering menjadi sapi perahan para tiran.
Para tiran, umumnya, memiliki nafsu tanpa ujung. Walau dalam kenyataannya, mereka sehebat apa pun tahtanya selalu memiliki akhir, yang acapkali tragis. Brend Ralph Levis, dalam karyanya yang berjudul Raja dan Ratu Inggris, menyuguhkan, sangat informatif, betapa tidak sedikit raja tiran menemui akhir mengerikan di ujung lintasan kekuasaannya.
Terilhami oleh lumbung sejarah itulah, konstitusionalisme karya kaum pedagang abad ke-17 ini menyuguhkan pembatasan kekuasaan, sandaran pembatasan masa jabatan" tentu melalui hukum. Pembatasan jangkauan dan masa jabatan kelak ditandai sebagai salah satu permata terindahnya. Indah lantaran cara itu berbobot solutif dalam mencegah laku ugal-ugalan penguasa yang meremehkan harkat dan martabat manusia.
Penguasa, entah karena rohaninya gelap segelap malam tanpa bintang, selalu silau terhadap gemerlapnya dunia materil. Kondisi itu tampaknya mengilhami James Madison, penemu sistem pemerintahan presidensial. Dalam Constitutional Convention 1787 di Philadelphia Amerika, James menyuguhkan kalimat bertuahnya "setiap orang bukan malaikat."
Setiap orang, katanya pula, punya ambisi. Ambisi, begitu penilaiannya, harus diadu dengan ambisi dari yang lainnya. Ambisi-ambisi ini harus dipertalikan dengan hak warga serta dikerangkakan dalam konstitusi sehingga yang satu tidak menjadi tiran bagi yang lainnya.
Begitulah konstitusionalisme Barat menilai dan menakar manusia, insan yang dalam alam filsafat para pendiri negara ini, Indonesia, selalu baik dalam esensi dan laku lahiriahnya. Laksana bapak, juga pengayom, pemimpin dalam penilaian mereka selalu welas kasih kepada rakyatnya. Lantaran berpandangan demikian itulah, gagasan pemisahan kekuasaan khas Barat, tidak cukup memikat mereka.
Apakah filsafat itu menjadi dasar eksisnya pasal-pasal makar, bikinan penjajah Belanda? Jelas, tidak. Faktanya, pemerintah Republik Indonesia yang masih muda usianya kala itu, hampir saja tenggelam dalam samudra keangkuhan segelintir orang di peristiwa Madiun. Republik kesatuan ini, sedari awal adanya digerogoti van Mook, dan kelak berakhir dengan Sultan Hamid II dituduh dan dihukum melakukan makar.
Hasrat tanpa tepi sekelompok politisi, yang tampak melupakan indahnya musyawarah mufakat, mengakibatkan Bung Karno, presiden, negarawan yang cahaya dan aroma kemanusiaannya memancar hingga nun jauh di sana, berkali-kali diterjang makar. Penembakan di Cikini, juga penembakan di Stadion Matoangin Makassar, pemboman Istana, dan penembakan di Masjid Baiturrahman, sekadar beberapa contoh makar menimpa Bung Karno.
Membolehkan
Bung Karno adalah salah seorang arsitek UUD 1945 asli, sebutan untuk UUD 1945 sebelum diubah yang digunakan Bu Rahma, Pak Kivlan, Bu Ratna, dan Pak Bintang. UUD ini, dengan alasan apa pun, tidak bisa dicap sebagai UUD hasil penetrasi ekstrem alam pikiran Barat.
Sesuai risalahnya, UUD ini merupakan hasil kristalisasi dan adaptasi nilai-nilai sosiokultural khas Indonesia. Nilai-nilai itu, pada fase pertama dirumuskan dalam Pancasila, fondasi pasal demi pasal UUD 1945 itu.
Andai Bu Rahma, Pak Kivlan, Bu Ratna, dan Pak Bintang mengidentifikasi sebagian Pasal UUD 1945 yang telah diubah, disusupi nilai-nilai liberalisme, menghina musyawarah mufakat, sulit menyangkalnya.
Bila teridentifikasi betapa pemilihan presiden langsung, menempatkan para cukong, bandar, persis seperti pemilihan konsul Markus Tulius Cicero, ahli hukum dan negarawan besar Romawi, tahun 106 SM, menentukan pemenangnya, beralasan. Sayangnya, gagasan mereka menghidupkan lagi nilai-nilai itu, tertahan tuduhan serius, makar, kepada pemerintah.
Pemerintah, sebuah konsep tata negara, sesuai UUD 1945 sebelum maupun sesudah diubah adalah presiden, organ pelaksana hukum. Betapapun filsafat para pendiri negara menghasilkan presiden dengan kekuasaan yang luas, manisnya, tak membuat mereka lalai. Seolah tahu bahwa organ ini bukan permata dari surga, mereka memunculkan monster; presiden dapat diberhentikan sebelum akhir masa jabatannya melalui sidang istimewa MPR.
Ikhtiar itu, dalam UUD 1945 sebelum diubah, dirumuskan dengan cara memberi kewenangan kepada MPR menarik mandat dari presiden. Forumnya bernama sidang istimewa. Sama dalam hakikat dengan MPR 1999-2004, UUD 1945 setelah diubah juga mengatur ketentuan dan prosedur pemberhentian presiden sebelum akhir masa jabatannya.
Tetapi, berbeda dengan UUD 1945 asli, alasan pemberhentian menurut UUD 1945 yang telah diubah harus murni hukum, bukan politik, tarik mandat. Prosedurnya, masya Allah, amat sangat rumit.
Andai tak dituduh makar, dan surat-surat mereka disukai dan dikabulkan MPR, tetapi sebagian besar anggota DPR tenggelam dalam samudra politik pemerintah, dan DPD menghilang, masuk ke dalam kegelapan alam politik, maka pupuslah harapan mereka. Sebaliknya bila DPD bergairah, karena melihat selaksa harapan di ujung sana, lalu menghadiri sidang MPR, tetapi kuorum sidang tidak mencapai ke angkasa luarlah harapan mereka.
Meminta MPR menyelenggarakan "sidang istimewa" dengan agenda mengubah UUD 1945, betapapun elok moralitas di relung-relung ruhaninya, sungguh laksana menggendong angin. Mengapa? UUD 1945 saat ini tak lagi mengenal sidang istimewa. Hanya ada empat jenis sidang MPR; (1) meresmikan calon presiden terpilih, (ii) memberhentikan presiden, (iii) memilih wakil presiden baru, dan (iv) mengubah UUD 1945. Itu sebabnya tembakan makar kepada mereka serasa seperti berenang di samudera yang tak bertepi.
Pasal 107 dan 110 KUHP, menempatkan pemerintah sebagai unsur delik, subjek yang dituju dari tindakan makar, bukan MPR, DPR, dan DPD. Sampai kapan pun MPR, DPR, dan DPD tidak dapat dipredikatkan secara konstitusional sebagai pemerintah. Dalam sistem pemerintah parlementer, yang perdana menterinya harus menyandang status anggota parlemen sekalipun, tidak pernah bisa dipredikatkan sebagai pemerintah, apalagi dalam sistem presidensial khas UUD 1945.
Mufakat merobohkan pemerintah yang sah, penanda adanya niat, tetapi terhenti atau tak terlaksana karena sebab yang tak diinginkan sendiri, memang berkualifikasi perbuatan yang telah selesai, makar. Tetapi bermufakat mengusulkan perubahan UUD 1945, termasuk kembali ke UUD 1945 asli, yang dilakukan dengan cara berkirim surat kepada MPR, menurut paham konstitusionalisme, Pasal 37 UUD 1945, sah.
Bersurat kepada MPR agar MPR berkenaan menyelenggarakan sidang mengubah UUD 1945 adalah tindakan yang dalam hakikat dan sifatnya tidak bertentangan dengan asas-asas tata negara. Karena tak bertentangan, maka tindakan itu senafas dengan prinsip actus repugnus non potest in esse produci- tindakan yang berlawanan dengan asas tidak menghasilkan tujuan yang hakiki. Dalam ilmu hukum tata negara juga dikenal prinsip, "bila sebabnya sah, maka hukum dan akibatnya sah.
Tembakan makar kepada Pak Kivlan, Bu Rahma, Bu Ratna, Pak Bintang, dan lainnya, eloknya di-SP3. Tetapi, andai tak bisa, maka peradilan kasus ini, secara hipotetis, akan jadi panggung unjuk kampanye ideologi, Pancasila vs liberalisme paling terbuka, bergemuruh, dan menggetarkan. Peradilan ini, andai berlangsung, adalah panggung terbukanya tabir gempuran liberalisme menjungkirbalikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Doktor Hukum Tata Negara, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
KALA malam perlahan menghilang dan subuh nan lembut hendak mengantarkan kepergiannya, Kivlan Zein, mayor jenderal (pur) TNI AD, di rumahnya di Kawasan Kelapa Gading kedatangan tamu, tentu tak diundang. Setelah memperlihatkan surat perintah penggeledahan, Pak Kivlan pun mengetahui beliau disangka akan melakukan makar.
Rumahnya pun digeledah oleh tamu, yang tak lain adalah penyidik. Dan, seiring merekahnya fajar, Pak Kivlan dibawa ke Markas Komado (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Pak Kivlan ternyata tak sendirian. Ada Ibu Rachmawati, putri Bung Karno, proklamator kita, yang harum kenegarawanannya mendunia, juga Ibu Ratna, dan Pak Bintang Pamungkas, serta lainnya di pagi nan berawan lembut itu. Seperti Pak Kivlan, mereka juga disangka makar. Mereka pun dibawa ke Mako Brimob dan diperiksa. Akhirnya, sebagian ditetapkan menjadi tersangka dan beberapa di antaranya ditahan.
Titian Sejarah
Makar, harus diakui dihinakan oleh konstitusionalisme, sebuah paham bernegara yang dalam eksistensinya di Barat, memikat dan memukau sejumlah kalangan. Paham ini mengagungkan hukum, tentu bukan hukum khas para tiran, "semau gue", melainkan hukum yang sifat dan hakikatnya merupakan pantulan murni akal budi bersama.
Paham ini, seperti diakui Harold J Berman, penulis Law and Revolution, berutang nilai intrinsiknya pada hukum alam. Tetapi, titian sejarah yang dilaluinya memberitahukan betapa eksistensinya diusahakan, bukan oleh para filosof, ilmuwan bermoral tinggi, berhati mulia, melainkan para pedagang, yang getaran nafasnya berwarna untung-rugi. Mereka ini, begitulah kata Daron Acemoglu di Inggris misalnya, sangat sering menjadi sapi perahan para tiran.
Para tiran, umumnya, memiliki nafsu tanpa ujung. Walau dalam kenyataannya, mereka sehebat apa pun tahtanya selalu memiliki akhir, yang acapkali tragis. Brend Ralph Levis, dalam karyanya yang berjudul Raja dan Ratu Inggris, menyuguhkan, sangat informatif, betapa tidak sedikit raja tiran menemui akhir mengerikan di ujung lintasan kekuasaannya.
Terilhami oleh lumbung sejarah itulah, konstitusionalisme karya kaum pedagang abad ke-17 ini menyuguhkan pembatasan kekuasaan, sandaran pembatasan masa jabatan" tentu melalui hukum. Pembatasan jangkauan dan masa jabatan kelak ditandai sebagai salah satu permata terindahnya. Indah lantaran cara itu berbobot solutif dalam mencegah laku ugal-ugalan penguasa yang meremehkan harkat dan martabat manusia.
Penguasa, entah karena rohaninya gelap segelap malam tanpa bintang, selalu silau terhadap gemerlapnya dunia materil. Kondisi itu tampaknya mengilhami James Madison, penemu sistem pemerintahan presidensial. Dalam Constitutional Convention 1787 di Philadelphia Amerika, James menyuguhkan kalimat bertuahnya "setiap orang bukan malaikat."
Setiap orang, katanya pula, punya ambisi. Ambisi, begitu penilaiannya, harus diadu dengan ambisi dari yang lainnya. Ambisi-ambisi ini harus dipertalikan dengan hak warga serta dikerangkakan dalam konstitusi sehingga yang satu tidak menjadi tiran bagi yang lainnya.
Begitulah konstitusionalisme Barat menilai dan menakar manusia, insan yang dalam alam filsafat para pendiri negara ini, Indonesia, selalu baik dalam esensi dan laku lahiriahnya. Laksana bapak, juga pengayom, pemimpin dalam penilaian mereka selalu welas kasih kepada rakyatnya. Lantaran berpandangan demikian itulah, gagasan pemisahan kekuasaan khas Barat, tidak cukup memikat mereka.
Apakah filsafat itu menjadi dasar eksisnya pasal-pasal makar, bikinan penjajah Belanda? Jelas, tidak. Faktanya, pemerintah Republik Indonesia yang masih muda usianya kala itu, hampir saja tenggelam dalam samudra keangkuhan segelintir orang di peristiwa Madiun. Republik kesatuan ini, sedari awal adanya digerogoti van Mook, dan kelak berakhir dengan Sultan Hamid II dituduh dan dihukum melakukan makar.
Hasrat tanpa tepi sekelompok politisi, yang tampak melupakan indahnya musyawarah mufakat, mengakibatkan Bung Karno, presiden, negarawan yang cahaya dan aroma kemanusiaannya memancar hingga nun jauh di sana, berkali-kali diterjang makar. Penembakan di Cikini, juga penembakan di Stadion Matoangin Makassar, pemboman Istana, dan penembakan di Masjid Baiturrahman, sekadar beberapa contoh makar menimpa Bung Karno.
Membolehkan
Bung Karno adalah salah seorang arsitek UUD 1945 asli, sebutan untuk UUD 1945 sebelum diubah yang digunakan Bu Rahma, Pak Kivlan, Bu Ratna, dan Pak Bintang. UUD ini, dengan alasan apa pun, tidak bisa dicap sebagai UUD hasil penetrasi ekstrem alam pikiran Barat.
Sesuai risalahnya, UUD ini merupakan hasil kristalisasi dan adaptasi nilai-nilai sosiokultural khas Indonesia. Nilai-nilai itu, pada fase pertama dirumuskan dalam Pancasila, fondasi pasal demi pasal UUD 1945 itu.
Andai Bu Rahma, Pak Kivlan, Bu Ratna, dan Pak Bintang mengidentifikasi sebagian Pasal UUD 1945 yang telah diubah, disusupi nilai-nilai liberalisme, menghina musyawarah mufakat, sulit menyangkalnya.
Bila teridentifikasi betapa pemilihan presiden langsung, menempatkan para cukong, bandar, persis seperti pemilihan konsul Markus Tulius Cicero, ahli hukum dan negarawan besar Romawi, tahun 106 SM, menentukan pemenangnya, beralasan. Sayangnya, gagasan mereka menghidupkan lagi nilai-nilai itu, tertahan tuduhan serius, makar, kepada pemerintah.
Pemerintah, sebuah konsep tata negara, sesuai UUD 1945 sebelum maupun sesudah diubah adalah presiden, organ pelaksana hukum. Betapapun filsafat para pendiri negara menghasilkan presiden dengan kekuasaan yang luas, manisnya, tak membuat mereka lalai. Seolah tahu bahwa organ ini bukan permata dari surga, mereka memunculkan monster; presiden dapat diberhentikan sebelum akhir masa jabatannya melalui sidang istimewa MPR.
Ikhtiar itu, dalam UUD 1945 sebelum diubah, dirumuskan dengan cara memberi kewenangan kepada MPR menarik mandat dari presiden. Forumnya bernama sidang istimewa. Sama dalam hakikat dengan MPR 1999-2004, UUD 1945 setelah diubah juga mengatur ketentuan dan prosedur pemberhentian presiden sebelum akhir masa jabatannya.
Tetapi, berbeda dengan UUD 1945 asli, alasan pemberhentian menurut UUD 1945 yang telah diubah harus murni hukum, bukan politik, tarik mandat. Prosedurnya, masya Allah, amat sangat rumit.
Andai tak dituduh makar, dan surat-surat mereka disukai dan dikabulkan MPR, tetapi sebagian besar anggota DPR tenggelam dalam samudra politik pemerintah, dan DPD menghilang, masuk ke dalam kegelapan alam politik, maka pupuslah harapan mereka. Sebaliknya bila DPD bergairah, karena melihat selaksa harapan di ujung sana, lalu menghadiri sidang MPR, tetapi kuorum sidang tidak mencapai ke angkasa luarlah harapan mereka.
Meminta MPR menyelenggarakan "sidang istimewa" dengan agenda mengubah UUD 1945, betapapun elok moralitas di relung-relung ruhaninya, sungguh laksana menggendong angin. Mengapa? UUD 1945 saat ini tak lagi mengenal sidang istimewa. Hanya ada empat jenis sidang MPR; (1) meresmikan calon presiden terpilih, (ii) memberhentikan presiden, (iii) memilih wakil presiden baru, dan (iv) mengubah UUD 1945. Itu sebabnya tembakan makar kepada mereka serasa seperti berenang di samudera yang tak bertepi.
Pasal 107 dan 110 KUHP, menempatkan pemerintah sebagai unsur delik, subjek yang dituju dari tindakan makar, bukan MPR, DPR, dan DPD. Sampai kapan pun MPR, DPR, dan DPD tidak dapat dipredikatkan secara konstitusional sebagai pemerintah. Dalam sistem pemerintah parlementer, yang perdana menterinya harus menyandang status anggota parlemen sekalipun, tidak pernah bisa dipredikatkan sebagai pemerintah, apalagi dalam sistem presidensial khas UUD 1945.
Mufakat merobohkan pemerintah yang sah, penanda adanya niat, tetapi terhenti atau tak terlaksana karena sebab yang tak diinginkan sendiri, memang berkualifikasi perbuatan yang telah selesai, makar. Tetapi bermufakat mengusulkan perubahan UUD 1945, termasuk kembali ke UUD 1945 asli, yang dilakukan dengan cara berkirim surat kepada MPR, menurut paham konstitusionalisme, Pasal 37 UUD 1945, sah.
Bersurat kepada MPR agar MPR berkenaan menyelenggarakan sidang mengubah UUD 1945 adalah tindakan yang dalam hakikat dan sifatnya tidak bertentangan dengan asas-asas tata negara. Karena tak bertentangan, maka tindakan itu senafas dengan prinsip actus repugnus non potest in esse produci- tindakan yang berlawanan dengan asas tidak menghasilkan tujuan yang hakiki. Dalam ilmu hukum tata negara juga dikenal prinsip, "bila sebabnya sah, maka hukum dan akibatnya sah.
Tembakan makar kepada Pak Kivlan, Bu Rahma, Bu Ratna, Pak Bintang, dan lainnya, eloknya di-SP3. Tetapi, andai tak bisa, maka peradilan kasus ini, secara hipotetis, akan jadi panggung unjuk kampanye ideologi, Pancasila vs liberalisme paling terbuka, bergemuruh, dan menggetarkan. Peradilan ini, andai berlangsung, adalah panggung terbukanya tabir gempuran liberalisme menjungkirbalikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
(poe)