Makar Ideologis
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
MENGAPA sosok presiden atau wakil presiden kemanapun pergi mesti ada pengawalnya? Jawabannya, khawatir ada bahaya mengancam. Jangan-jangan ada orang jahat yang mau membunuh atau menyakiti.
Jadi, siapapun yang menjadi pemimpin mesti menyadari tidak semua orang senang kepada dirinya. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar juga tantangan yang menghadang.
Ini analog dengan eksistensi Negara Repubik Indonesia. Ada-ada saja orang yang tidak senang pada Indonesia, baik dari dalam maupun luar negeri. Artinya, negara mesti dikawal sebagaimana mengawal presiden karena sangat mungkin ada kekuatan yang mengancam. Dan itulah sebabnya hampir semua negara memiliki pasukan tempur dan intelijen negara.
Salah satu ancaman yang tertuju pada sosok negara dan pemerintah Indonesia saat ini adalah menyangkut posisi ideologi dan hukum. Ada ustaz yang berpidato, sebagai umat beragama hanya pantas tunduk pada hukum agama. Hukum Allah.
Pernyataan itu betul dalam konteks pribadi dan komunalisme keagamaan. Tapi sebagai warga negara, maka hukum yang tertinggi adalah undang-undang produk DPR bersama pemerintah.
Seseorang bisa saja tidak senang pada presidennya atau sistem politik negaranya. Tetapi ketika ketidaksenangannya disampaikan terbuka dan menghasut orang lain untuk ikut membenci negara, atau menggoyangnya, maka dia telah melakukan makar ideologis.
Mengkritik pemerintah itu bagus dan dilindungi undang-undang. Itu satu paket dengan sistem demorasi.
Dalam hal ini ada sekelompok orang yang aneh. Mereka memandang sistem demokrasi itu thaghut. Syaitan yang mesti dilawan, jangan diikuti. Tetapi anehnya mereka sangat menikmati iklim demokrasi dalam menjual gagasannya. Tanpa iklim demokrasi geeakan mereka akan tertindas.
Mereka betah tinggal di negara yang mereka musuhi. Kalau tidak senang mestinya hijrah saja. Begitupun dengan Indonesia. Ada yang agendanya ingin mengagamakan Indonesia menurut versi dan tafsiran mereka sendiri.
Jadi, agendanya untuk merebut dan menaklukkan lalu diganti dengan ideologi pengganti Pancasila. Kalau agenda ini menemukan momentumnya, pasti Indonesia akan pecah. Akibatnya sangat fatal. Sekali sebuah bangsa pecah, sungguh tak terbayangkan untuk bisa bersatu kembali. Lihat saja Korea Utara dan Korea Selatan, meskipun warganya banyak yang masih punya ikatan famili, tetapi dua negara itu tetap berseteru.
Dulu pernah muncul makar ideologis oleh DI/TII Kartosuwiryo. Ada lagi gerakan komunisme. Mestinya sudah cukup itu saja. Tak ada pihak yang diuntungkan.
Jadi, kalau hari gini mau melakukan makar, rasanya tak cukup syarat untuk berhasil. Sepanjang persediaan makan dan bahan bakar tercukupi serta kondisi damai, rakyat sulit diajak berevolusi.
Gejolak politik itu hal biasa dalam sebuah negara demokrasi, utamanya di jajaran elite. Kecuali ada pelanggaran pidana serius yang dilakukan presiden, seorang presiden bisa diturunkan. Tetapi kalau sekadar makar yang bersifat lunak, berupa wacana, maka yang gaduh juga hanya pada level wacana.
Demikianlah yang terjadi, sekarang sedang terjadi perang dingin berupa wacana untuk memengaruhi publik. Para buzzer sedang melancarkan serangannnya terhadap kubu lawan dengan berbagai cara untuk mengecoh masyarakat. Jangan-jangan antara mereka itu dulunya juga teman seperjuangan. Kalau ingin tenang, tak baca koran atau medsos.
Yang kadang membuat kabur adalah ketika motif dan manuver politik diberi bungkus agama. Terjadi politisasi agama. Agama memang punya missi amar ma'ruf, nahi munkar. Menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Tetapi jangan sampai diboncengi agenda politik, sehingga tanpa disadari akan menistakan agama. Yang saya dengar, pemerintah sekarang sedang mempersiaplan penyempurnaan UU Keormasan.
Ormas apapun yang anti-NKRI dan Pancasila akan dilarang tumbuh dan beredar di Indonesia. Karena mereka secara terang-terangan melakukan makar ideologi negara yaitu Pancasila yang menjadi jatidiri dan perekat bangsa.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
MENGAPA sosok presiden atau wakil presiden kemanapun pergi mesti ada pengawalnya? Jawabannya, khawatir ada bahaya mengancam. Jangan-jangan ada orang jahat yang mau membunuh atau menyakiti.
Jadi, siapapun yang menjadi pemimpin mesti menyadari tidak semua orang senang kepada dirinya. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar juga tantangan yang menghadang.
Ini analog dengan eksistensi Negara Repubik Indonesia. Ada-ada saja orang yang tidak senang pada Indonesia, baik dari dalam maupun luar negeri. Artinya, negara mesti dikawal sebagaimana mengawal presiden karena sangat mungkin ada kekuatan yang mengancam. Dan itulah sebabnya hampir semua negara memiliki pasukan tempur dan intelijen negara.
Salah satu ancaman yang tertuju pada sosok negara dan pemerintah Indonesia saat ini adalah menyangkut posisi ideologi dan hukum. Ada ustaz yang berpidato, sebagai umat beragama hanya pantas tunduk pada hukum agama. Hukum Allah.
Pernyataan itu betul dalam konteks pribadi dan komunalisme keagamaan. Tapi sebagai warga negara, maka hukum yang tertinggi adalah undang-undang produk DPR bersama pemerintah.
Seseorang bisa saja tidak senang pada presidennya atau sistem politik negaranya. Tetapi ketika ketidaksenangannya disampaikan terbuka dan menghasut orang lain untuk ikut membenci negara, atau menggoyangnya, maka dia telah melakukan makar ideologis.
Mengkritik pemerintah itu bagus dan dilindungi undang-undang. Itu satu paket dengan sistem demorasi.
Dalam hal ini ada sekelompok orang yang aneh. Mereka memandang sistem demokrasi itu thaghut. Syaitan yang mesti dilawan, jangan diikuti. Tetapi anehnya mereka sangat menikmati iklim demokrasi dalam menjual gagasannya. Tanpa iklim demokrasi geeakan mereka akan tertindas.
Mereka betah tinggal di negara yang mereka musuhi. Kalau tidak senang mestinya hijrah saja. Begitupun dengan Indonesia. Ada yang agendanya ingin mengagamakan Indonesia menurut versi dan tafsiran mereka sendiri.
Jadi, agendanya untuk merebut dan menaklukkan lalu diganti dengan ideologi pengganti Pancasila. Kalau agenda ini menemukan momentumnya, pasti Indonesia akan pecah. Akibatnya sangat fatal. Sekali sebuah bangsa pecah, sungguh tak terbayangkan untuk bisa bersatu kembali. Lihat saja Korea Utara dan Korea Selatan, meskipun warganya banyak yang masih punya ikatan famili, tetapi dua negara itu tetap berseteru.
Dulu pernah muncul makar ideologis oleh DI/TII Kartosuwiryo. Ada lagi gerakan komunisme. Mestinya sudah cukup itu saja. Tak ada pihak yang diuntungkan.
Jadi, kalau hari gini mau melakukan makar, rasanya tak cukup syarat untuk berhasil. Sepanjang persediaan makan dan bahan bakar tercukupi serta kondisi damai, rakyat sulit diajak berevolusi.
Gejolak politik itu hal biasa dalam sebuah negara demokrasi, utamanya di jajaran elite. Kecuali ada pelanggaran pidana serius yang dilakukan presiden, seorang presiden bisa diturunkan. Tetapi kalau sekadar makar yang bersifat lunak, berupa wacana, maka yang gaduh juga hanya pada level wacana.
Demikianlah yang terjadi, sekarang sedang terjadi perang dingin berupa wacana untuk memengaruhi publik. Para buzzer sedang melancarkan serangannnya terhadap kubu lawan dengan berbagai cara untuk mengecoh masyarakat. Jangan-jangan antara mereka itu dulunya juga teman seperjuangan. Kalau ingin tenang, tak baca koran atau medsos.
Yang kadang membuat kabur adalah ketika motif dan manuver politik diberi bungkus agama. Terjadi politisasi agama. Agama memang punya missi amar ma'ruf, nahi munkar. Menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Tetapi jangan sampai diboncengi agenda politik, sehingga tanpa disadari akan menistakan agama. Yang saya dengar, pemerintah sekarang sedang mempersiaplan penyempurnaan UU Keormasan.
Ormas apapun yang anti-NKRI dan Pancasila akan dilarang tumbuh dan beredar di Indonesia. Karena mereka secara terang-terangan melakukan makar ideologi negara yaitu Pancasila yang menjadi jatidiri dan perekat bangsa.
(poe)